Dunia Baru Ibu

Nastiti
Chapter #1

BAB #1

BAB 1.

 

Apa yang akan Kau katakan saat melihat langit bersepuh emas kemerahan seperti ini? Ibu menjentikkan telunjuknya ke ujung rok selututnya seolah membersihkan debu yang tak tampak olehku. Gerakan jarinya mengesankan ia mendengar kata-kata yang meluncur dari bibirku meski aku tak begitu yakin. Seperti menyadari keraguanku ia mengalihkan telunjuknya ke langit sambil tersenyum. Sayangnya, dalam waktu singkat senyumnya pudar. Lengkung bibir berubah datar diikuti kelopak mata yang turun perlahan. Aku benci kesunyian seperti ini. Aku harus mengatakan sesuatu.

“Apa maksud Ibu?” ucapku setengah berteriak.

Langit bersepuh emas rapuh lalu berubah bentuk. Emasnya retak menjadi kepingan yang bergerak dan menyilaukan. Aku tak mampu menatapnya. Lalu Ibu hilang. Tidak di tempatnya duduk tadi, tidak di langit, tidak di mana-mana. Kukira mataku menyerah pada kemilau langit. Kusatukan gambar-gambar kabur yang tertangkap mataku. Ibu tak juga kembali. Aku ingin mencarinya tapi tak mungkin. Ruang di mana aku dan Ibu berada tak punya arah. Satu hal yang kusimpan dengan baik saat itu hanyalah kenangan bahwa aku tak pernah mampu mengerti keinginan Ibu.

 

***

 

Langit-Langit di Dalam Gelas

 

Aku menandai Minggu pagi di kota M melalui bunyi lonceng gereja yang hanya berhenti saat lelapku menyerah padanya. Nyanyian pujian mengalun merdu terbawa angin pagi. Dunia mimpiku kemudian terseret ke atas alas tidur berupa kasur kapuk yang dengan rutin dijemur saat memadat. Udara segar menghambur ke dalam kamar melalui jendela kayu tinggi tanpa teralis. Ibu selalu membuka jendela dengan dua daun itu lebar-lebar, memastikan penahannya tersangkut dengan baik agar tak menutup saat terdorong angin, lalu merapatkan kembali jendela bagian dalam yang berukuran kurang dari separuh jendela luar. Demikian jendela kamar tempat tinggalku dulu. Terdiri dari dua lapis dengan bagian luar yang tinggi dan bagian dalam yang rendah yang aku tak pernah tahu fungsinya. Tapi bila kau pernah bertandang ke rumah peninggalan zaman Belanda, mungkin tak sulit membayangkannya. 

Kebahagiaan Minggu pagiku bukan deretan rencana berlibur atau berbelanja melainkan mengalkulasi perolehanku dan saudaraku dalam sebuah lomba yang kami adakan tiap malam sebelum tidur. Lomba siapa yang paling cepat mencapai kasur kapuk kami dan meloncat paling tinggi. Lomba ini menjadi ajang yang mendebarkan mengingat kasur kami memiliki ketinggian yang memadai untuk anak seusia 5 tahun berlatih loncat tinggi serta terbuat dari besi yang senantiasa berderit seolah tak mampu menahan injakan kaki kami. Dan itu membuat aktivitas meloncat kian mengasyikkan. Setelahnya, kami akan meraih buku gambar masing-masing dan mulai menggambar apa saja yang kami mau. Tak jarang pula buku-buku Ibu kami jadikan pengganti buku gambar yang kami lupa meletakkannya di mana. Buku-buku Ibu tersebut adalah buku panduan merajut atau buku-buku pengetahuan lain yang Ibu koleksi yang bagian belakangnya menyisakan beberapa lembaran kosong. Jangan tanyakan padaku mengapa ia malah begitu bahagia buku-bukunya penuh coretan tangan dua orang anaknya. Itu terjadi begitu saja, membekas di benakku tanpa pernah kutanyakan padanya.

Bukankah segala hal yang terjadi dan kita terima semasa kecil adalah anugerah yang tak perlu dipertanyakan? Bukankah mempertanyakannya akan menjauhkan kita dari kenikmatan tanpa akhir masa-masa yang seringkali disebut sebagai “era keemasan”.

Minggu pagi di Kota M adalah juga pagi yang dingin dengan embun yang tak segera lenyap karena sinar matahari menyapanya perlahan. Udara yang menyapu kelopak bunga membuatnya mekar sempurna. Langkah-langkah kaki yang menjejak di pijakannya tanpa terburu-buru. Tanah yang kesuburannya dilindungi kehangatan bumi yang ditumpahkan lewat mulut Merapi. Melodi kehidupan yang membuat penghuninya merasa tak perlu lagi menjelajah ke penjuru bumi yang lain karena segala yang tersedia di tempat ini telah mencukupi.

Hidup itu secukupnya saja, tidak perlu bersusah-payah.

 

*

Apa yang terjadi pada tubuh orang dewasa kupikir sebagian besar dibentuk oleh kebiasaannya sejak kecil. Seperti halnya aku yang kesulitan memahami bagaimana seseorang dapat memiliki lambung yang tak mampu diisi oleh susu sapi. Sejak pertama kali memahami bahwa makan diperlukan untuk mengisi perut yang kosong, aku terbiasa meminum segelas susu sapi yang dipesan Ibu dari tetangga yang tinggal sekitar 200 meter saja jaraknya dari tempat tinggal kami. Tiap pagi, saat terdengar pintu garasi digedor bersamaan dengan bunyi botol kaca beradu, itu berarti sebotol dua botol susu segar pesanan Ibu datang. Terkadang Ibu yang menjemput susu segar tersebut ke penjualnya. Tiap pagi pula segelas susu segar disediakan Ibu untukku dan kakakku. Aku tak meyukai susu segar itu untuk berbagai alasan. Pertama karena sebentuk lapisan mengapung yang disebut Ibu "langit-langit" bagiku adalah benda asing yang tak seharusnya ikut terminum. Tetapi menurut Ibu aku tak perlu menghindarinya karena ia tak kalah membawa manfaat yang berguna bagi tubuhku layaknya cairan di bawahnya. Kedua karena rasanya yang hambar, berbeda dengan susu kemasan. Ketiga karena meminum susu di pagi hari adalah sebentuk rutinitas yang dipaksakan Ibu padaku tanpa bertanya terlebih dulu apakah aku menyukainya. Seiring waktu aku menyadari bahwa tak semua anak seusiaku meminum susu. Menurut Ibu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan tentang manfaat susu segar selain ketidakmampuan membelinya. Sesaat aku merasa istimewa. Ibu meyakinkanku melalui berbagai contoh tentang manfaat susu segar. Dan bahwa makanan yang tidak kusukai akan kuketahui manfaatnya kalau aku sudah lebih besar nanti. Ibu juga membacakanku buku-buku dengan gambar yang menceritakan manfaat meminum susu. Aku mendengarkan sambil melamun. Sulit bagiku membayangkan cairan tidak enak tersebut berguna bagi tubuh dan otakku kelak. Ibu juga menghadirkan contoh berupa anak teman atau kenalannya yang ia anggap menunjukkan tanda-tanda tidak sehat atau sering sakit lalu ia kaitkan keadaan tersebut dengan kebiasaan tidak meminum susu. Aku terpana oleh bukti-bukti tersebut. Namun hal itu tidak lantas mengubah susu segarku menjadi lebih enak dan langit-langit yang mengapung di atasnya hilang. Meski demikian aku menjadi lebih percaya diri meminumnya sampai habis. Setidaknya untuk membuat Ibu senang.

Waktu itu belum ada iklan di televisi. Anjuran meminum susu hanya berupa ajakan yang datang dari para orangtua dan kemudian para guru di sekolah. Andai sudah ada, tentu iklan susu menjadi salah satu iklan yang paling sering diputar. Bagaimana tidak, menurut Ibu, susu adalah salah satu kunci utama pertumbuhan otak. Kalau otak tidak tumbuh artinya anak tidak akan menjadi pintar. Kalau tidak pintar tidak bisa lulus sekolah. Bangsa ini membutuhkan anak-anak yang lulus sekolah untuk maju. Tanpa anak-anak yang lulus sekolah bangsa ini akan kembali dijajah. Gambaran tentang dijajah telah menjadi keadaan terburuk yang aku ketahui dari foto-foto dan film yang belum kumengerti jalan ceritanya. Yang pasti, tiap kali sekelompok tentara berseragam bergerombol, menembakkan senjata, lalu ada yang mati, orangtuaku akan memberikan narasi tentang penjajahan. Foto tentang rakyat miskin bertelanjang dada yang tampak tulang iganya juga memberikan gambaran tentang penjajahan. Bedanya, yang berseragam lengkap adalah penjajah, yang tanpa pakaian adalah yang dijajah. Kemudian ditutup dengan kalimat ‘dan bangsa kita adalah yang dijajah’. Sontak aku takut keadaan semacam itu kembali terjadi di sekelilingku. Aku belum pernah melihat orang bertelanjang dada dengan tulang rusuk yang sangat menonjol. Mbah Min yang terkadang memperbaiki atap rumah atau pagar tak pernah bertelanjang dada seperti itu walaupun penutup kepalanya mirip dengan orang-orang bangsa yang dijajah seperti di film. Aku juga belum pernah melihat orang mati. Apalagi karena ditembak. Aku bahkan belum mengerti kalau orang bisa mati karena ditembak. Aku berharap televisi tidak sering memutar film tentang penjajahan. Ketiadaan iklan di televisi memudahkan Ibu membujukku untuk tetap setia meminum susu segar dengan langit-langit. Bukan yang lain. Sebab, di kemudian hari, saat tiba masanya televisi dibanjiri iklan, tak satupun iklan susu yang diputar mempromosikan susu segar yang dikemas dalam botol kaca dan dijual berkeliling dengan sepeda seperti susu yang kuminum.

Lihat selengkapnya