BAB 2.
Ibu meraih lenganku dan meminta bergegas. Sejak langit yang keemasan retak dan menjadi kepingan berkilauan, ia tak pernah berubah gelap. Awalnya aku mengira Ibu mengajak ke suatu tempat di mana langit berujud sebagaimana langit yang kukenal. Berwarna putih kebiruan serta berubah gelap untuk menggenapi separuh hari yang dilaluinya.
“Ibu tadi dari mana?”
“Ibu di sini. Di sampingmu terus.”
“Bohong…”
“Sekarang kamu ikut Ibu dulu. Ada yang penting.”
Aku mempercepat langkah kaki mengikuti Ibu. Meski pegangan tangannya telah ia lepaskan dari tanganku, kakiku tak mau berhenti mengikutinya. Ia seolah lebih menurut pada perintah Ibu ketimbang kata hati pemiliknya yang diliputi ragu.
“Ada yang jual karet rambut di sana.” Tangannya menunjuk sebuah arah. Waktu kulayangkan pandanganku ke tempat tersebut, kulihat sebuah meja yang nyaris menempel pada sudut yang dibentuk dari dua buah dinding berwarna kuning. Seorang wanita berdiri di sampingnya tampak sibuk menata barang-barang di atas meja.
“Untuk apa karet rambut?” sahutku gusar. Tak terbayang olehku di bawah langit keemasan ini Ibu masih saja berurusan dengan hal semacam karet rambut. Yang lebih mengherankan lagi, benda tersebut mencuat begitu saja di hadapan kami lengkap dengan penjualnya yang seolah-olah diciptakan hanya untuk kami berdua.
“Untuk anakmu. Mereka memerlukannya.” Ibu berkata tanpa menoleh padaku yang terus menatapnya sambil berjalan.
“Anak-anak sudah besar. Mereka bisa membeli apa yang mereka perlukan…”
“Perlu,” jawabnya cepat dan datar.
“Ibu!” Aku menghentikan langkahku agar ia juga menghentikan langkahnya. Tapi ia tidak berhenti. Ia terus melangkah. Langkahnya lebar-lebar.
Aku dan Ibu berada di depan meja dengan beragam hiasan rambut. Wanita di belakang meja yang awalnya tampak sibuk melayangkan senyum saat menatap kami. Tanpa berkata ia seperti mengerti keinginan Ibu.
“Ini model terbaru. Karetnya ringan, tidak sakit kalau dipakai tapi tetap mengikat kuat. Kalau sedang tidak dipakai bisa dijadikan gelang…”
“Sudah punya yang seperti itu,” sahutku cepat.
“Nah, kalau yang ini kualitasnya sama dengan yang tadi, kuat juga, dan…” Wanita penjual karet rambut memasukkan jemarinya ke dalam lingakaran karet, meregangnya, lalu ‘plop!’ karet menjadi lebih tebal dan siap menghias kepala pemakainya menjadi lebih indah. Hiasan serupa mawar berjajar di sepanjang lingkaran karet.
“Saya mau yang seperti itu 4.” Suara Ibu memecah kesunyian. Sebelum aku mampu menolak pembelian itu, wanita penjual telah memasukkan 4 buah karet ajaib itu ke dalam plastik transparan. Ia juga memilih warna-warna yang berbeda untuk Ibu.
Ibu memasukkan belanja pertamanya ke dalam tas yang digantung di lengan kanannya. Tas yang tampak baru karena aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Entah dari mana ia mendapatkan tas tersebut. Aku enggan menanyakannya karena terlanjur kesal dengan paksaannya padaku.
“Nanti kalau meja rias di rumah udah penuh Ibu bawa saja karetnya. Punya anak-anak sudah cukup.”
“Bisa ditaruh di tempat lain. Nggak harus di meja rias. Di tas anak-anak juga bisa.”
“Kapan Ibu mau dengar aku?” sahutku cepat.
“Ibu nggak akan beli kalau bukan karena anak-anakmu yang minta.”
“Kapan sih anak-anak nggak minta? Kan Ibu bisa bilang sudah cukup, lebih baik beli barang lain yang memang dibutuhkan…lagi pula, nggak mungkin anak-anak minta ke Ibu. Mereka hanya mau minta ke aku, ibunya.”
“Sudah dibeli ini…” ujarnya penuh rasa percaya diri. Darahku naik ke ubun-ubun.
Tak jauh dari penjual karet rambut, seorang lelaki tampak sedang melukis. Ia melukis sambil berdiri. Kanvasnya membelakangi kami. Sesekali ia melirik ke arah kami yang tampak sedang beradu argumen. Aku tak terbiasa dipandangi saat sedang kesal. Kukatakan padanya kalau ia ingin melukis aku atau Ibu, ia harus meminta izin terlebih dahulu. Ia mencibir tanpa berkata apapun. Bibirnya mengulas ejekan untukku sambil memutar kanvasnya hingga aku mampu melihat bentuk apa yang sedang dilukisnya. Seekor harimau yang sedang menyeringai. Gigi taringnya tampak jelas. Lukisan yang menampakkan detail dengan baik hingga ia terasa begitu hidup. Perlahan bunyi auman terdengar di telingaku. Awalnya lirih, lalu menjadi jelas dan lantang. Kupejamkan mataku berharap ini hanya mimpi. Aku tahu tak seorangpun mendengarnya kecuali aku. Andai bukan di bawah langit keemasan, tentu ketakutanku berubah bulir keringat dingin di dahi. Tapi kali ini tak menyisakan apa-apa kecuali melemahnya suara auman seiring dengan pulihnya kesadaranku yang sempat hilang. Kugerakkan perlahan jemari tanganku. Kurasakan jemari Ibu yang ada di genggamanku. Kugenggam lebih erat.
“Ibu masih di sini?” bisikku padanya.
Ia mendehem. Telapak tangannya hangat di genggamanku.
Tubuhku terasa diguyur air es. Dingin dan menenangkan.
*