Dunia Baru Ibu

Nastiti
Chapter #3

BAB #3

BAB 3

 

Dari tempatku berada Ibu tampak seperti mainan yang tangannya bergerak-gerak. Mungkin ia sedang melambaikan tangannya padaku sebagai pengganti ucapan selamat tinggal. Atau bisa juga ia sedang panik dan berharap seseorang membantuku turun dari langit yang terus menghisapku. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku mulai menikmati penerbangan ini. Ia tak perlu mengkhawatirkanku. Perutku penuh makanan dan awan-awan di sekitarku tampak siap menjagaku dari segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Dengan perut tambun aku mencoba membalikkan badan. Sedari tadi aku bertahan hanya dengan kepala yang kuputar menghadap ke bawah supaya bisa melihat Ibu. Aku rasa kini aku perlu membalikkan tubuh agar leherku tidak sakit.

Langit tak lagi tampak keemasan. Ketinggian memengaruhi warnanya. Emasnya memudar disaput putih menjadi kecokelatan. Persis seperti tas Ibu. Aku tak terlalu ingat warna tas yang saat ini dikepitnya di ketiak. Yang aku tahu, sebagian besar tas miliknya warnanya memang berwarna cokelat. Andai ia punya yang berwarna merah, atau hijau, atau hitam, itu kebetulan saja dan jarang menemaninya ke mana-mana. Tapi itu dulu. Waktu mengubah segalanya.

Aku menikmati benturan-benturan kecil awan di sekitarku. Ternyata awan bukanlah benda yang lembut seperti yang kubayangkan selama ini. Sebuah awan tipis seperti lapisan susu diembus angin kencang di hadapanku. Ia seperti sekelompok pasukan yang kocar-kacir tak tentu arah sebelum menghilang. Segumpal awan abu-abu yang tampak kokoh membentur sesamanya. Mereka seperti sedang marah dan berusaha menjatuhkan satu sama lain. Aku terpaku pada drama-drama yang terjadi di langit. Mereka adalah hiburan yang tak bisa kulihat kecuali dengan keadaanku saat ini. Aku pastikan Ibu mendengar kisahku tentang awan-awan ini. Apakah ia akan suka? Itu bukan urusanku. Yang pasti aku punya oleh-oleh yang kubawa pulang untuknya.

Aku terus melayang tanpa peduli lagi apakah Ibu masih tampak atau tidak. Selain terbaring kini aku bisa duduk seperti Aladin di atas karpet ajaib. Dengan tangan kuraih gumpalan awan, lalu kuletakkan di pangkuanku. Mereka yang diam di pangkuanku kuelus seperti kucing-kucing penurut nan manja. Sementara sebagian yang kabur kubiarkan meninggalkanku. Aku tak ingin memaksa mereka pergi bersamaku. Tiap gumpalan tentu punya keinginannya masing-masing. Dan aku hanyalah satu dari sekian banyak kemungkinan.

Tiba giliran pangkuanku dipenuhi gumpalan kecil awan, dua buah awan besar berwarna abu-abu menaungiku. Aku menoleh padanya dan berusaha beramah-tamah. Namun rupanya mereka acuh. Warnanya justru kian gelap. Aku menjadi waspada. Kuhadapkan telapak tanganku yang penuh awan kecil pada awan besar abu-abu sambil berharap mereka mengerti bahwa awan-awan kecil tersebut baik-baik saja tak kurang apapun. Adakah mereka orangtua anak-anak awan? Marahkan mereka karena khawatir aku membawa pergi anak-anaknya?

Lalu mereka menjatuhkan sesuatu. Aku menunduk ketakutan. Awan-awan yang kukira bisa menjadi perisai pelindungku menghilang. Menyisakan aku, dua awan abu-abu yang kian gelap, serta sedikit gumpalan awan mungil di pangkuanku. Aku hanya bisa menunduk dan berharap angin membawaku pergi. Isak tangis mengiringi rasa takutku. Tubuhku basah perlahan. Butiran air membentuk jarum dan berlomba menghunjam bagian tubuhku satu per satu. Mulai dari kepala, bahu, tangan, paha, betis. Lalu dadaku terasa sesak. Jarum-jarum itu tentu menginginkanku mati. Kubiarkan tubuhku dirajam olehnya. Oleh tajam ujungnya, oleh kehangatan tiap tetes yang mengalir di sekelilingnya, oleh kebekuan yang tercipta setelahnya.

Seorang lelaki berdiri di samping Ibu. Usianya tampak jauh lebih muda. Ia mengatakan sesuatu yang tak dapat kudengar. Aku baru ingat beberapa saat setelahnya kalau mayat sepertiku tak akan mampu mendengar apa-apa. Tangannya kemudian bergerak. Menarik kain penutup tubuhku. Ia akan menutupkannya sampai bagian atas kepala karena memang demikian yang terjadi pada yang sudah mati.

“Demam, Bu.”

“Oh, cuma demam…Lalu kenapa dia jadi suka sekali makan sebelumnya?”

“Semua bisa demam dengan atau tanpa suka sekali makan sebelumnya.”

“Dokter ngga mengerti. Dia juga sempat melayang sampai langit…”

“Dia demam karena kehujanan, Bu.”

Lelaki di samping Ibu hanya menutupkan kain sampai leherku. Mataku menutup oleh serangan kantuk yang tiba-tiba.

Percakapan antara Ibu dan lelaki itu Ibu ceritakan padaku setelah kami kembali berada di rumah makan di mana kami berpisah.

“Kadang kita perlu percaya pada diri kita sendiri,” katanya membuka percakapan. “Bukan pada orang lain seperti dokter misalnya..”

“Kenapa?” sahutku.

“Karena bukan mereka yang memiliki tubuh kita. Setiap pemilik tubuh harus mengerti apa yang terjadi padanya. Mereka bisa belajar dari gejala yang timbul, dari membaca, dari mana saja. Dokter sebaiknya hanya membantu,” timpalnya penuh keyakinan. “Mestinya, semua orang, di usia tertentu, tahu itu…hmm, usiamu sekarang berapa?”

“Menurut Ibu?”

Lihat selengkapnya