BAB 4.
Ibu memperlihatkan perolehannya padaku: dua buah karet rambut berwarna biru, dua buah berwarna oranye dengan aksen garis-garis hitam, dua buah berwarna kelabu dengan hiasan rumbai manik-manik. Seleranya tak serunyam dulu. Tapi tetap saja aku tahu tak akan sanggup memperlihatkannya pada anak-anakku. Ia berpesan untuk membungkusnya terlebih dulu dengan kertas kado sebelum menyerahkannya pada “anak-anak”.
“Kotak perhiasan juga bisa. Lebih indah,” katanya. Aku mengiyakan. Setelah perdebatan singkat tentang perlu tidaknya “anak-anak” tersebut dibelikan karet rambut, Ibu seperti masih ingin mengeluarkan barang-barang dari tasnya. Ia memasukkan tangannya ke dalam tas yang seperti tak memiliki dasar. Kulihat tangannya masuk kian dalam, melesak dan terus melesak seolah merogoh sumur seukuran tangan. Tas kepit miliknya tak pernah kehabisan penghuni. Mereka tinggal berdesakan di rumah susun yang Ibu bangun untuknya. Aku lebih banyak khawatir ketimbang bahagia tiap melihatnya mengorek-orek isi tasnya.
“Masih ada yang lain?”
Aku mencoba menghitung waktu antara keberangkatanku ke langit hingga aku dinyatakan demam karena kehujanan sambil bertanya-tanya apakah selama itu Ibu kembali ke pasar dan membeli barang-barang lagi?
“Yah, nggak ada…” ucapnya sambil mendesah.
“Hilang?”
“Belum tentu. Mungkin memang Ibu cuma beli itu. Ibu lupa.”
Astaga. Dalam hal ini aku yang lupa kalau ibuku terlalu sering merasa melakukan sesuatu yang tidak ia lakukan.
“Biasanya Ibu catat apa saja yang sudah dan akan dibeli,” lanjutnya. Bagian yang ini pun aku tak yakin ia melakukannya. Matanya menerawang ke depan sementara kedua tangannya cekatan menutup ritsleting tas dan merapikan letaknya di pangkuannya.
“Jadi sekarang Ibu mesti mencari catatannya?” sahutku bangga mengingat bagaimana carut-marut ingatannya berkumpul menjadi satu. Ia menggeleng.
“Kalau begitu kita ke sana lagi…” lanjutnya.
“Ke mana?”
“Ke meja itu lagi.”
Aduh.
“Jangan khawatir, Ibu tidak ingin membeli apa-apa.”
“Lalu?”
“Ibu mau memperlihatkan padamu kalau di bawah meja penjual itu ada naga.”
Oh, tidak.
“Benar, Ibu melihatnya.” Ia seperti bisa membaca pikiranku. Tapi ia tak perlu membaca pikiran siapapun untuk mengetahui bahwa yang sedang diajak bicara tak akan percaya pada yang ia katakan barusan. Hal itu normal. Dan Ibu menyukai sesuatu yang normal. Itu menurutnya.
Ia tak lagi menggamit tanganku untuk mengikuti langkahnya. Kaki, tangan, dan seluruh bagian tubuhku selain isi kepala telah menjadi miliknya. Mereka tak lagi mempertanyakan hal-hal yang Ibu ucapkan. Sementara mereka bergerak mengikuti Ibu, isi kepalaku yang berbeda pendapat tak mampu melepaskan diri darinya.
Sesampai di tempat yang dituju aku benar-benar melihat makhluk itu. Makhluk yang keberadaannya sempat kuragukan. Ia bertengger di atas meja, bukan di bawah meja. Ia menempel sebagai sulaman indah pada sebuah tas wanita. Berwarna emas seperti langit yang menaungi kami. Pendar keemasannya bahkan mampu ditangkap mataku dari kejauhan. Aku menengok ke arah Ibu yang berdiri di sebelah kananku. Ia juga menengok ke arahku. Kami saling berhadapan, tersenyum, seperti pemburu harta karun yang berhasil menemukan apa yang dicarinya. Hanya saja, ternyata kami tersenyum untuk alasan yang berbeda.
Saat kami menghentikan langkah, Ibu menunjuk ke bawah meja dan mengatakan naga yang dimaksud sedang tidur. Lucu sekali katanya. Aku tak melihat apa-apa di bawah meja. Tapi aku takut keliru. Kucoba memandang sulaman naga yang menempel pada sebuah tas di atas meja. Lalu mataku kualihkan ke bawah meja. Berharap mataku memiliki kekuatan menangkap benda di atas meja lalu memindahkannya ke bawah meja. Gagal. Sulaman naga tak bergerak. Ia tetap diposisinya. Meliuk memperlihatkan keindahan tubuhnya sambil membuka sedikit mulutnya agar taringnya terlihat. Sekali lagi kucoba. Tetap tak bisa. Apa yang kulihat di atas meja selamanya di atas meja, tak mampu berpindah. Aku tak ingin berbohong pada Ibu dengan mengatakan melihat sementara sebenarnya tidak. Aku ingin melihat apa yang ia lihat tanpa perlu berbohong. Aku sempat tak percaya pada apa yang ia katakan tentang naga. Kemudian rasa percaya mulai muncul sebab ia memang ada meski menempel di sebuah benda dan bukan di bawah meja. Selanjutnya rasa percayaku tumbuh menjadi semacam keinginan untuk membahagiakan Ibu. Tapi sebelumnya, pesan Ibu untuk tidak berbohong tak mungkin kuabaikan.
Aku pernah mendengar tentang sebutan “white lies” yang konon diperbolehkan karena berbeda dengan bohong yang dilarang Ibu. Apakah kalau aku berkata melihat naga yang ia maksud dapat disebut white lies? Apakah Ibu bahagia kalau aku memiliki pendapat yang sama dengannya meski itu berarti berbohong?
Kebohongan selamanya adalah kebohongan. Ia akan memakan tubuh pelakunya bisa saatnya tiba nanti.
Kudengar suara yang datang entah dari mana. Aku ketakutan. Kututup telingaku dengan kedua tangan. Lalu kucoba menggapai tangan Ibu. Aku ingin mengajaknya berlari menjauh dari tempat kami berdiri. Tapi Ibu tidak ada di mana-mana.
***