Dunia Baru Ibu

Nastiti
Chapter #5

BAB #5

BAB 5

 

Terbangun dari kematian terasa begitu menyenangkan. Segala yang terjadi sebelumnya telah terkubur rapi jauh di bawah tanah sementara aku yang baru akan melangkah di atas kemungkinan yang belum aku kenal sebelumnya. Itulah yang kurasakan tiap kali aku bangun tidur di pagi hari.

Kakiku menginjak lantai teraso yang tak sedingin lantai rumahku yang dulu. Rumah yang telah mengajakku berkenalan dengan harapan-harapan kecil yang menyatu menjadi mimpi bahwa suatu saat nanti aku akan tinggal di rumah dengan lantai teraso. Bukan lantai buatan zaman Belanda yang dingin dan muram. Aku yang baru adalah Napoleon Bonaparte yang datang untuk menang. Slogan masa lalu yang kupilih di usiaku yang ke-15. Kata-kata yang mengapung di aliran deras sungai jernih kepalaku sejak aku menginjakkan kaki di Kota S dan menyadari bahwa kehidupan di Kota M tinggallah kenangan.

 *

 

"Lekaslah bersiap kalau ingin jalan-jalan," ujar Ayah.

Ia mengatakan padaku sambil melesakkan tangannya ke dalam saku celana, memasukkan dompet yang di dalamnya terdapat sejumlah uang untuk menraktirku membeli sesuatu. Aku melangkah riang menuju mobil sedan berwarna putih yang dibeli Ayah dari seseorang saat kami masih tinggal di Kota M. Berbeda dengan udara Kota M yang segar dan dingin, Kota S di mana kami sekarang tinggal terasa kering dan panas. Hanya dalam waktu sekian menit dari waktu aku selesai mandi, tubuhku kembali basah oleh keringat hingga aku harus membubuhkan bedak ke wajahku berulang kali. Di Kota S keringat sangat cepat menyerap bedak seperti pasir hisap yang berbahaya itu. Aku butuh berdiri di depan cermin lebih lama ketimbang saat tinggal di Kota M. Saat mobil sedan putih kami meninggalkan garasi rumah, terik matahari kian menyengat.

Sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara. Demikian memang adanya yang terjadi dari waktu ke waktu. Aku tak mengerti mesti mengobrol apa dengan Ayah, begitu pula sebaliknya. Ada kalanya, di kehidupanku sebelum dan sebelumnya lagi, Ayah seperti ingin mengajakku mengobrol dengan bercerita tentang masa kecilnya yang sarat dengan kegiatan mengaji yang diajarkan oleh ayahnya, yaitu Kakek. Rumahnya yang bersebelahan dengan masjid menjadi tempat bermain sekaligus menimba ilmu mengaji. Ayah dan kedelapan saudara kandungnya secara bergiliran membaca Quran sebagaimana diajarkan oleh Kakek dan terkadang anak-anak Kakek terkena hukuman entah karena tak kunjung bisa membaca dengan benar atau bermain di waktu seharusnya belajar, atau berbagai alasan lain yang membuat Ayah mengingat hukuman Kakek lebih daripada ia mengingat yang lain. Ayah juga pernah bercerita tentang film-film yang ditontonnya. Ia menyukai film perang dan kisah itulah yang diceritakannya pada anak-anaknya. Mungkin karena ia tentara. Mungkin pula karena film yang diputar waktu itu tak sebanyak sekarang karenanya pilihan selain film perang nyaris tidak ada. Selain dua hal itu, ingatanku buruk pada hal-hal lain yang bisa jadi dikisahkan Ayah padaku sebab aku yang telah mati itu ada kalanya tak mau bekerjasama dengan aku yang sekarang. Karenanya beberapa kisah—seandainya memang ada—terkubur begitu saja.

Ayah menghentikan sedan putih di pinggir jalan yang berisi deretan toko. Aku senang bukan main karena tak lama lagi ia akan setidaknya membeli makanan untuk kami makan siang. Pandanganku menjelajah area padat di Kota S itu dengan lebih teliti. Selain toko, pedagang kaki lima menjual ragam barang mulai dari kacamata hingga peralatan memasak. Ayah menyuruhku tinggal di dalam mobil. Aku kesal tapi diam saja. Mungkin Ayah ingin memastikan alamat toko yang ingin ia datangi. Biasanya Ayah dan Ibu memintaku tinggal di dalam mobil untuk alasan tersebut. Sambil menunggu aku menghidupkan radio yang tak benar-benar aku dengarkan siarannya sebab terlalu banyak iklan. Aku mencari kaset berisi lagu-lagu lalu memutarnya. Menghabiskan waktu sambil bernyanyi seringkali menyenangkan. Saat pendingin mobil menghangat karena matahari terlalu lama menyinarinya Ayah belum juga tampak dari tempatku duduk. Mataku mengarah ke kaca spion di bagian kiri mobil. Darinya aku memperoleh pemandangan yang tak jauh berbeda dari apa yang kulihat melalui kaca depan mobil, yaitu deretan pedagang dan orang-orang yang lalu lalang di hadapannya. Kualihkan kembali pandanganku ke depan saat kusadari seseorang membuka pintu supir.

“Ayah ke mana saja? Aku mau ikut!” kataku memohon pada Ayah yang tiba-tiba telah berada di kursi supir. Ia tampak mencari sesuatu dan belum akan mengajakku pulang. Ia tak menjawab pertanyaanku hingga akhirnya keluar mobil dan menutup pintunya kembali. Kali ini ia tak pergi jauh. Mataku mengikuti langkahnya yang hanya menyeberang jalan di mana mobil kami terparkir. Ia menghampiri seorang pria yang duduk di teras sebuah toko. Di hadapan pria itu sebuah etalase mungil tampak kosong. Mataku terus mengikuti gerak gerik Ayah. Ternyata ia hanya duduk di sebelah pria itu lalu mengobrol. Aku tak habis pikir mengapa Ayah tak mengajakku membeli apapun. Ia-hanya-duduk-mengobrol. Sejak kapan Ayah menyuruhku duduk di dalam mobil sambil menyaksikan dirinya mengobrol dengan entah siapa yang tampak tak menjual apapun itu. Pertanyaan di benakku memudar seiring pria di samping Ayah mengeluarkan benda yang kukenal, yaitu timbangan emas. Disusul gerakan tangan Ayah merogoh saku dan mengeluarkan emas yang ia bawa sedari tadi. Perhiasan yang aku tak menyangka disimpan di dalam sakunya. Benda-benda yang kukira akan abadi di dalam kotak perhiasan Ayah dan Ibu karena akan selalu dipakai untuk acara istimewa. Aku memicingkan mata agar dapat menangkap perhiasan apa saja yang ada di tangan Ayah. Setidaknya dua buah gelang milik Ibu dan sebuah cincin berukuran besar, mungkin milik Ayah. Mengapa Ayah ingin menjualnya? Mampukah ia membelinya kembali? Apa yang akan ia dan Ibu kenakan sebagai hiasan di acara perayaan istimewa? Tahukah Ibu bahwa Ayah menjual perhiasan-perhiasan tersebut? Apa yang membuatnya merelakan benda-benda itu begitu saja? Ayah memperlihatkan cincin di tangannya pada pria di sebelahnya yang kemudian menimang sebelum meletakkannya di atas timbangan. Lalu tak kuperhatikan lagi apa yang terjadi. Kualihkan pandanganku ke kaca mobil depan. Aku berharap dugaanku keliru.

Kota M mengajarkanku bahwa memiliki orangtua yang keduanya dokter adalah kehidupan yang nyaris sempurna. Seorang dokter saja sudah lebih dari cukup. Apalagi dua. Belum lagi nenek yang mewarisi rumah sangat luas dan terletak di jalan utama. Aku kerap merasa memiliki separuh Kota M. Separuhnya lagi dimiliki oleh entah berapa ratus atau ribu orang yang bahkan tak merasakan seperempat dari kenyamanan yang aku rasakan. Keluargaku dihormati karena bangunan yang melindungi kami, pekerjaan yang didambakan hampir semua orang, belum lagi warisan nama besar Kakek. Kepindahan Ayah dan Ibu ke Kota S adalah untuk mengejar kehidupan yang lebih baik lagi ketimbang di Kota M. Karenanya aku kerap membayangkan hal-hal besar akan terjadi pada keluargaku di Kota S. Menurut Ibu Kota S memberikan peluang bagi dirinya dan Ayah untuk lebih maju.

Kemudian siang itu, di dalam mobil sedan putih kami, aku mendapati pemandangan yang ingin kusangkal demi kedamaian batinku. Aku harus segera menanyakan pada Ibu benarkan Ayah menjual perhiasan yang mereka miliki. Harusnya kutanyakan langsung pada Ayah. Tapi lidahku kaku. Aku tak terbiasa mengobrol dengannya. Percakapan kami hanyalah seputar tanya jawab rutin yang berulang dari waktu ke waktu, yang tak membuka kemungkinan lain selain hal yang mampu diprediksi oleh Ayah. Lain dari itu Aku memilih bertanya pada Ibu.

 *

Ingatan di kepalaku kerap berlarian tak tentu arah. Ada kalanya ia meloncat, di lain waktu ia berhenti di satu titik dan tak mau kembali. Aku meletakkan kepala di tempat tidur. Kemudian tubuhku, sambil berharap ingatan yang berhenti di satu titik kali ini tak membuatku enggan berganti pakaian. Setelan piyama berwarna kuning kesayanganku terkulai di dekat kakiku yang menggantung di ujung tempat tidur. Aku mencoba menutup mata dan mengosongkan pikiran. Gagal. Mungkin tertidur lebih baik. Sayangnya ternyata tak mudah mengingat metode membuat mengantuk selain dengan menghitung jumlah biri-biri yang membayangkan bentuknya pun tak mudah untukku. Alih-alih, biri-biri dalam pikiranku menjadi keping emas berkilauan. Emas itu, yang berada di tangan Ayah, benarkah begitu besar hingga menyita perhatianku dengan kilaunya? Telingaku mendengar pintu garasi berbunyi. Ibu mungkin. Lalu tiba-tiba mataku berhasil mengalahkan pikiranku. Aku limbung, tubuhku jatuh di atas sebuah benda. Aku mencoba berteriak meski tahu berapa kalipun usahaku kali ini, akan berakhir sama dengan sebelumnya: gagal.

Kakiku melangkah pada ingatan yang berhenti. Sekali melangkah lalu tak berlanjut. Ia membuatku terdiam. Ingatan itu, ingatan yang tak pernah memberiku kesempatan memilih mana yang pantas disimpan dan mana yang tidak.

“Sekali saja, aku mohon. Kau akan mengerti mengapa aku harus mengaturmu sekali waktu,” kataku pada tempat di mana langkahku terhenti.

“Aku tak memilihkannya untukmu. Kau yang melakukannya sendiri,” balas suara yang terasa berasal dari telapak kakiku.

Sejurus kulihat kakiku tak lagi telanjang. Ia ditutup kaus kaki bermotif garis-garis tebal serta sepatu berwarna putih. Aku tak ingat pernah memiliki penutup kaki dengan kombinasi semacam itu. Mungkinkah Ayah memintaku menunggunya di dalam mobil karena sepatuku tampak aneh? Tapi ini tak hanya aneh, ini seperti sepatu anak SD. Sepatu anak SD dengan model sangat kuno.

Lantai yang kupijak beralih rupa. Bukan lagi lantai teraso. Ia berwarna abu, persis seperti ingatan masa lalu. Di hadapanku kaki Ibu memanjang ke atas. Lenganku ada di genggamannya.

“Ibu harus pergi. Kamu baik-baik di rumah dengan Kakak,” katanya saat mataku bersitatap dengan matanya.

Aku menggelengkan kepala.

“Jangan khawatir, Ibu akan pulang tiap 2 minggu sekali.”

Aku lalu mengangguk. Aku tak mengerti waktu. Tak mampu berhitung. Isi kepalaku terasa kosong. Itu sebabnya aku mengiyakan. Aku percaya Ibu tak akan meninggalkanku. Aku percaya itu. Lalu genggamannya lepas. Aku terkejut dan mencoba meraih rok selututnya yang ia kenakan. Rok bermotif bunga. Tapi gerakan Ibu terlalu cepat. Aku tak menyerah. Sebagian bunga di roknya tertangkap olehku.

Aku bangun dalam keadaan menggigil. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Aku berlari mencari Ibu di seputar rumah. Tapi tak kutemui seorangpun. Kulihat bungkusan makanan di atas meja makan. Waktu kudekati meja, suara dari kamar mandi mengejutkanku.

“Yang rasa cokelat bagi dua!”

Deru nafasku melambat. Suara Kakak menenangkan pikiranku. Sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk ia memberitahuku kalau kue di atas meja adalah jatah arisan Ibu yang diantar tetangga untuk kami.

Ah, Ibu…

“Tadi Ibu telpon waktu kamu masih tidur,” sambung Kakak.

“Oya? Kenapa nggak dibangunin?” sahutku kesal.

“Ibu ga bisa lama-lama. Katanya ngobrolnya besok malam aja di atas jam 9. Tadi cuma nanyain uang arisan.”

‘Oh’ ku kali ini penuh tanda tanya. Apakah waktu Ibu menelpon tadi bersamaan dengan mimpiku bertemu dengannya? Apakah Ibu menelpon karena aku memanggilnya melalui mimpi? Dadaku terasa perih.

Keesokan harinya, sepulang sekolah, aku menanti jam dinding menunjukkan angka 9. Waktu di mana tarif telepon melambat. Saat yang tepat bagi setiap orang yang ingin melakukan telepon jarak jauh. Menjelang maghrib telepon berdering tapi tak kuangkat. Kakak yang kamarnya lebih jauh dari telepon bergeming mengharapkan reaksiku. Ayah yang sedang berada di garasi entah tak mendengar atau tak peduli atau mengharapkan anak-anaknya yang bereaksi. Dan aku tetap mematung hingga deringnya kelelahan memukul telingaku. Kami tahu itu bukan dari Ibu.

Waktu Ibu akhirnya menelpon, penantianku telah mengering. Aku hanya menjawab seadanya waktu ia bertanya apakah pembantu paruh waktu kami mengerjakan tugasnya dengan baik, apakah ia mengepel lantai dengan bersih, mengingatkan kembali kalau pakaian yang tidak boleh disetrika jangan diserahkan padanya, dan juga tentang menu catering harian kami. Ia menanyakan hal yang sama pada Kakak. Tapi Kakak selalu mampu menjawab dengan berbagai kisah yang rupanya membuat Ibu berhenti bertanya dan berakhir mendengarkan kisah-kisah tersebut. Sementara Ayah mengabarkan hal-hal yang tak kumengerti pada Ibu. Aku menguping tiap pembicaraan hingga telepon ditutup. Tak satupun membicarakan soal menjual perhiasan.

 

Saat Ibu akhirnya pulang dengan kereta api Senja Utama, aku terbangun lebih pagi dari biasanya. Aku tahu kereta tersebut akan tiba di stasiun dini hari dan Ibu akan naik becak dari stasiun ke rumah. Dalam kesenyapan pagi tak sulit mendengar derit roda becak yang dikayuh kaki di gang rumah kami. Sesayup apapun itu akan membuat mataku terbuka dan tak bisa tidur lagi.

Ibu datang!

 

Ibu memutuskan menimba ilmu S2-nya di Kota J yang sangat jarang kami kunjungi. Selain karena jarak, kami merasa asing dengan kehidupan di sana. Begitu berwarna, begitu gemerlap, dengan kebiasaan orang-orangnya yang berbicara lantang, tertawa kencang, dan tak malu mengungkapkan sesuatu yang dianggap tabu oleh kami. Menurut Ibu, kendaraan juga sangat banyak. Jalanannya semrawut dengan tumpukan sampah di berbagai tempat. Kendaraan umum yang Ibu biasa naiki untuk ke kampus tak ada di Kota S apalagi Kota M. Meski demikian Ibu tampak bahagia tiap kali bercerita tentang teman-temannya yang berasal dari berbagai negara. Mereka saling membandingkan keadaan negaranya dan berbagi oleh-oleh. Sekali waktu Ibu membawa tas rajut dari Thailand, atau permen dari Singapura. Tak ketinggalan syal dari Malaysia serta gantungan kunci dari Jepang. Kota J ternyata tak hanya ramai oleh pendatang, namun juga menawarkan banyak kesempatan yang tak ada di kota lain.

Lihat selengkapnya