Dunia Baru Ibu

Nastiti
Chapter #6

BAB #6

BAB 6.

 

Kalau saja bukan karena artikel tanya jawab di majalah wanita yang diperoleh Ibu entah dari mana itu, aku tak akan meluangkan waktuku begitu lama di depan cermin hampir setiap hari. Cermin yang ditempelkan di dinding kamar mandi itu sedikit lebih rendah dari tinggi badanku yang melebihi 160 sentimeter. Dengan panjang hanya sekitar dua kali panjang telapak tangan, ia hanya mampu memantulkan bayangan tubuhku mulai dari mata hingga dada bagian atas. Untuk memperoleh pantulan wajahku secara utuh aku harus sedikit merendahkan tubuhku hingga dahi bagian atas tampak di cermin.

Setelah mandi pagi dan sore aku mengamati bagian-bagian wajahku tanpa mengenal waktu. Aku jarang menggunakan handuk untuk mengeringkan tubuh sehabis mandi karena dengan berlama-lama di depan cermin air di tubuhku akan mengering dengan sendirinya. Hanya teriakan Kakak atau Ibu yang mampu membangunkanku dari lelapnya mengamati bagian wajah tersebut. 

Aku tidak menyukai mataku yang tidak simetri, alisku yang lebar dan hidungku yang tidak mancung. Dengan memalingkan kepala ke kanan dan kiri, kupingku yang berukuran sedang dengan anting mungil menggantung padanya tampak biasa saja. Menurut majalah wanita Ibu, bentuk telinga seperti itu melambangkan kepribadian yang baik, karir yang tidak buruk namun bukan yang sukses, serta kehidupan percintaan yang hangat. Ramalan itu tak berpengaruh apa-apa padaku. Aku hanya peduli pada bentuk. Apa yang menjadikan bagian-bagian wajah menunjang sebuah kecantikan tak dijelaskan di majalah itu. Tapi tetap saja aku dibuat penasaran dengan wajahku karena aku tak menyangka sama sekali kalau ternyata tiap bagian wajah manusia mendapat perhatian begitu serius hingga menentukan masa depan pemiliknya.

Dari seluruh bagian tubuh di kepala, hanya bibirku yang menurutku indah. Ia tidak tebal, ataupun tipis. Bibir atas dan bawah menangkup dengan sempurna seperti sepasang benda yang sejak awal mula ditakdirkan bersama membentuk harmoninya sendiri. Bentuk bibir seperti milikku tidak ada dalam kategori manapun menurut majalah Ibu. Aku telah membolak-balik bagian yang membahas bibir dengan seksama. Tak satupun mirip dengan bibirku. Aku makin senang. Itu artinya ia adalah bagian wajah yang tak melambangkan masa depan apapun. Setidaknya masa depan menurut versi majalah Ibu.

 

 *

 

Ibu meninggalkan sebagian koleksi lipstiknya di meja rias di kamarnya. Ia hanya membawa dua buah yang paling sering dipakai ke Kota J. Selebihnya, yang dibiarkan tergeletak di kamarnya, adalah barang jarahan paling menarik bagiku. Saat Ibu tidak di rumah aku akan memilih satu atau dua yang warnanya tidak terlalu menyolok, lalu membawanya ke depan cermin kamar mandi. Ritual memandangi bibir kemudian meningkat dengan mengoleskan lipstik Ibu terlebih dulu. Hasilnya sungguh membuatku terpukau dan sulit mempercayai bahwa bibir yang di hadapanku adalah bibirku. Aku mengumpulkan beberapa majalah wanita Ibu, membawanya ke dekat kamar mandi lalu mengamati bibir para model yang menghiasi kaver majalah. Bibirku tak jauh berbeda dengan mereka setelah dipoles lipstik. Untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa aku berhak menyandang gelar cantik.

Sayangnya, tepat saat rasa percaya diriku meningkat setelah membandingkan bibir berpoles lipstikku dengan bibir foto model majalah, kisah cintaku justru kandas berkali-kali. Teman pria yang kusukai tak menyukai aku, sebaliknya teman pria yang tak kusukai menganggapku bisa menjadi kekasihnya. Singkat cerita, lingkaran suka menyukai ini tak pernah berujung pada romantisme layaknya teman-teman lain yang menginginkan mempunyai kekasih dan mendapatkannya semudah memungut daun di halaman sekolah. Meski demikian aku tak lantas menganggap diriku tak cantik. Cermin kamar mandi di rumah adalah saksi bisu kecantikan itu. Kecantikan yang dibentuk oleh bibir yang indah. Yang dikagumi pemiliknya sendiri. Aku yakin suatu saat nanti akan bertemu dengan teman pria yang melayang di udara serupa daun lalu jatuh tepat di dekat kakiku. Dengan mudah aku akan memungutnya lalu menjadikan fotonya hiasan di dalam dompet. Sebagaimana dilakukan teman-temanku yang lain di sekolah menengah atas.

Ibu rupanya menyadari rasa sukaku pada lawan jenis tak kunjung membuahkan hasil. Ia tak berkomentar apa-apa, selain sesekali menyebutkan nama teman yang kusukai atau yang menyukaiku tapi tak kusukai dalam olok-oloknya. Aku menyimpan kekesalan dalam hati. Bagiku olok-oloknya tidak lucu sama sekali. Meski demikian Ibu tak lantas memintaku berdandan agar lebih mudah mendapat kekasih yang aku sukai. Ibu memanglah bukan wanita yang pandai berdandan. Alih-alih menggunakan maskara atau memoles pipi, Ibu lebih sering mengusapkan bedak secara tidak merata ke wajahnya, memilih warna lipstik yang tak sesuai dengan warna pakaian, ataupun pemulas mata dengan kombinasi warna yang sungguh merusak pemandangan. Aku tak pernah bertanya dari mana ia belajar tentang semua itu. Yang pasti ia selalu tampak terburu-buru dalam berdandan. Alhasil, bedak di wajahnya begitu cepat lenyap diserap keringat yang tak henti membasahi. Ditambah aktivitasnya yang membuatnya mesti naik turun kendaraan umum, Ibu kian tidak menampakkan wajah wanita sebagaimana digambarkan oleh televisi dan majalah. Terkadang terlintas di benakku akankah aku seperti Ibu nantinya? Aku tak berani menduga. Aku memilih untuk tetap berada di depan cermin dan mengagumi bibir indahku dan tak membiarkan Ibu mengetahuinya. Dari caranya memperlakukan wajahnya, aku khawatir ia tidak setuju dengan tingkahku itu. Aku menutup kebiasaanku rapat-rapat dengan berbagai alasan yang dapat ia terima tentang mengapa aku seringkali mengunci diri di kamar mandi.

Meski tak mahir berdandan, bagiku Ibu adalah wanita yang sangat pandai. Ibu menuntaskan teka teki silang yang ada di surat kabar maupun majalah. Satu hal yang tak pernah kutemukan pada diri Ayah. Apalagi aku dan Kakak. Kata-kata disusun ke atas, ke bawah dalam kotak-kotak yang harus diisi sedemikian rupa sehingga jawaban atas sebuah pertanyaan menuntun pada jawaban atas pertanyaan lain bagiku sungguh menyiksa. Tapi Ibu menyukai kerumitan tersebut. Kemampuannya mendongeng dan menghadirkan dunia di luar pulau dan kota yang kami huni membuatku tak habis pikir berapa banyak buku yang telah dilahapnya habis. Belum lagi kalau bicara tentang ilmu kesehatan yang sedang dipelajarinya di Kota J saat ini. Seringkali aku tenggelam dalam samudera dongeng Ibu yang tak berujung. Sayangnya, makin pandai Ibu, makin sering pertengkaran terjadi antara dirinya dengan Ayah. Sebagai pengamat yang miskin keberanian, aku lebih sering pura-pura tak mengerti pertikaian yang makin sering terjadi antara mereka berdua. Aku tenggelam dalam sunyiku sendiri sambil berandai-andai samudera dongeng Ibu menelanku cepat. Melumat tubuhku hingga tak menyisakan sedikitpun daging dan tulang. Kemudian menyusun bubur dari lumatan tersebut menjadi anak sekolah menengah baru dengan segudang piranti berdandan yang membuat alis di wajahnya melengkung sempurna, kedua matanya simetri dibingkai bulu mata panjang nan melengkung, dan bibir indah tanpa pemulas bibir. Samudera dongeng memang membuat gila.

Obsesi pada wajah ini merembet ke rambut. Urusan yang satu ini mengundang kegilaan yang lain. Aku terus memikirkan bagaimana mendapatkan rambut seperti para foto model majalah dengan modal rambut bergelombang, tebal dan sulit diatur ini. Kota S menyediakan cukup banyak salon yang mampu mengubah rambut sesulit itu menjadi mudah diatur dan indah. Tapi keindahan tak ada yang gratis. Dan obsesi ini terus mendorongku membayar harganya, apapun resikonya. Itulah kali kedua sejak peristiwa mencuri uang Ibu di Kota M untuk menyewa video terulang. Ibu yang tak pernah curiga padaku kerap terlihat menyelipkan tangannya ke dalam salah satu sudut di lemari pakaiannya untuk meraih amplop berisi uang.

Ibu, aku ingin cantik seperti foto model lalu mengarungi samudera dongengmu sebab di sana aku dapat menjadi tuan puteri. Aku ingin menjadi tuan puteri dan melihatmu duduk di singgasana sebagai permaisuri. Raja duduk di sampingmu dalam diam, tanpa sepatah kata yang mungkin menyinggungmu dan membuatmu marah. Aku benci raja pemarah karena ia akan melukaimu. Aku akan menjadi seseorang yang selalu cantik dan pendiam. Seperti siapa, aku tak tahu. Yang kutahu hanya aku ingin.

 

Aku menulisnya di secarik kertas lalu membuangnya setelah membaca berulang-ulang. Aku ingin meminta ijin Ibu untuk menjadi cantik. Tapi sepertinya keinginanku terlalu naif. Kubatalkan keinginanku menuliskan alasan mencuri uang Ibu dan langsung mengambil beberapa lembar yang kiranya cukup untuk biaya mengubah rambutku menjadi indah.

Tak pernah sedikitpun terlintas di pikiranku untuk tidak menjadi cantik. Nilai-nilaiku di sekolah perlahan menurun seiring dengan terpenuhinya keinginan menjadi cantik. Aku tak peduli. Cantik adalah nilai tersendiri, persetan dengan mata pelajaran di sekolah. Tak satupun majalah wanita yang kubaca menyebutkan nilai rapor di sekolah para foto modelnya. Toh mereka tetap baik-baik saja. Tetap cantik dan memiliki kehidupan yang normal. Setidaknya seperti itu yang kutahu. Sayangnya tidak demikian bagi Ibu.

Ibu tak pernah peduli pada penampilan. Ia hanya akan berdandan saat ada undangan perkawinan atau acara penting yang memintanya untuk berdandan. Cara berdandannya pun bagiku tak ada apa-apanya bila dibandingkan perempuan lain di usianya. Kekesalanku memuncak saat ia datang ke sekolah untuk mengambil raporku dengan sepatu olah raga usangnya yang berwarna putih kelabu karena jarang dicuci serta atasan kaus berkerah yang dikenakannya dengan serampangan. Celana panjang yang dipakainya memperlihatkan perutnya yang mulai membuncit karena usia. Acara pengambilan rapor bagiku adalah acara penting di mana tiap orangtua siswa akan saling menyapa, berkenalan, lalu berbagi pengalaman tentang anak-anak dan pekerjaannya. Para orangtua tersebut akan berpakaian rapi agar menimbulkan kesan di hadapan wali kelas bahwa mereka orangtua yang baik dan memperhatikan perkembangan anak-anaknya. Kalau Ibu bekerja dan mempunyai lingkungan yang terpelajar, tidakkah ia ingin dirinya dipandang sebagai orangtua yang memiliki perhatian khusus pada pendidikan di sekolah anaknya dengan berpakaian rapi dan pantas? Tidakkah ia ingin cantik layaknya wanita yang lain? Kapankah ia akan menyadari bahwa menjadi orangtua siswa di sekolah nomor 1 di Kota S sebaiknya memberi perhatian pada penampilan? Aku kesal dan malu pada Ibu. Kutinggalkan sekolah saat kutahu ia datang dengan angkutan umum ke sekolah, rambut seperti tidak disisir, dan pakaian yang menurutku tak pantas itu.

Aku mengadukan perbuatan Ibu pada cermin di kamar mandi. Di pagi yang dingin itu Ibu masih tertidur kelelahan karena sesampainya di Kota S ia harus menemani Ayah ke luar kota. Kulihat sebatang lipstik miliknya tergeletak di tepi bak mandi. Mungkin ia lupa mengembalikannya. Kuoles bibirku dengan lipstik tersebut. Setelah sempurna menempel, kukatakan pada cermin di hadapanku semua yang aku inginkan dari Ibu; aku ingin Ibu membeli pakaian yang indah untuknya bepergian, aku ingin ia sering pergi ke salon membenahi rambut dan berdandan hingga warna mata dan bibirnya menyala, kuingin ia memelihara tubuhnya hingga senantiasa langsing. Usai mengomel aku menyadari bagaimana Ibu mampu melakukannya kalau uang simpanannya saja aku curi.

 

 *

 

Setelah lebih dari 3 tahun hidup kami dinaungi awan gelap karena praktik gigi Ayah yang nasibnya tak kunjung membaik sementara Ibu masih harus bolak balik ke Kota J, pada suatu pagi awan-awan tersebut meninggalkan kami dan membiarkan cahaya terang menggantikannya. Akhirnya Ibu menyelesaikan kuliahnya di Kota J dan Ayah mendapat penempatan baru di Kota Y, kota di mana ia lahir dan dibesarkan. Penempatan baru tersebut memberinya penghasilan lebih baik serta fasilitas yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya, yaitu mobil dinas beserta sopirnya! Setelah sekian lama kami menganggap Kota Y sebagai kota wisata biasa yang mendapat sebutan kota pelajar, kini rupanya ia meningkat menjadi kota harapan bagi kami. Setidaknya bagi Ayah yang begitu bangga dan bahagia dengan posisi barunya di sebuah rumah sakit tentara di sana.

Kehidupan kami sontak berubah drastis. Sate ayam bukan lagi menu istimewa di meja makan, kami mampu membeli pakaian dan sepatu baru selain di hari lebaran, dan yang paling penting adalah mobil dinas beserta sopirnya. Tak pernah sekalipun terbersit di benakku akan duduk di kursi bagian tengah di dalam mobil dengan seorang sopir yang siap mengantar ke mana saja kami mau. Rasanya seperti mendapat mainan baru. Bagi Ayah hal ini berdampak sangat besar. Ia jadi lebih sering tersenyum dan tak terlalu cepat marah saat berbeda pendapat dengan Ibu. Ia juga lebih sering bercerita tentang pengalamannya memimpin sebuah rumah sakit di Kota Y. Ia ditemani sopir pribadinya itu sering melakukan perjalanan ke pelosok Kota Y lalu pulang membawa oleh-oleh. Aku dan Kakak menjadi lebih mengenal makanan khas daerah pinggiran Kota Y. Selain makanan, Ayah dan Ibu juga sering mendapat kiriman bingkisan yang berisi hiasan dinding, ataupun kain batik untuk dijahit. Orang-orang yang bertamu ke rumah kami berubah dari sekedar menyapa dan bercerita menjadi berbicara penuh hormat dan rasa sungkan. Berat badan Ayah bertambah secara signifikan mengakibatkan sebagian besar pakaiannya tak lagi muat. Kulitnya tampak lebih bersih dan terang karena daging di dalamnya bertambah dan meregangkan kulit gelapnya. Ia tampak lebih tampan. Ia juga lebih sering mencukur cambang dan rambutnya secara teratur. Sepatunya mengkilap serta hiasan logam yang menempel di seragamnya berkilauan tertimpa cahaya. Awalnya aku menikmati perubahan pada diri Ayah dengan bangga. Andai saja Ibu tak mengatakan kalau apa yang Ayah raih adalah hasil dari memeras orang lain. 

Apa sih sulitnya menikmati hidup tanpa mempersoalkan ini itu? Kalimat itu menggantung di benakku saat Ibu dengan tegas mengatakan padaku tentang ‘kehidupan baru’ Ayah. Aku ingin percaya sepenuhnya pada perkataan Ibu. Aku ingin menikmati pendapatnya seperti aku menikmati dongeng-dongeng pengantar tidurnya dulu. Tetapi telingaku menolak. Telingaku jenuh dengan segala hal yang dikatakannya ketika kami menonton televisi. Segala sumpah serapah pada pemerintah dan hal lain yang menurutnya bodoh dan keliru. Telingaku juga hanya diam saat ia mengatakan kekurangan pembantu rumah tangga kami yang datang dan pergi seiring dengan komentar Ibu tentang pekerjaan mereka. Telingaku ingin teriak namun bahkan ia tak sanggup mengajak bibirku membantunya. Bibirku yang membuat pemiliknya cantik dan anggun. Bibir yang tak ingin menodai keanggunan serta kecantikan dengan hal lain selain yang indah. Dalam lelah, aku memilih menari sendirian sambil mendengarkan lagu kesukaanku di dalam kamar. Sembari bergerak aku mencoba berkonsentrasi pada hal lain selain sikap Ibu. Aku mencoba memikirkan tentang percintaanku yang bertepuk sebelah tangan, nilai-nilaiku di sekolah yang tak kunjung membaik, serta kamarku yang berantakan karena aku menggantungkan kebersihannya pada pembantu yang datang dan pergi kapan saja mereka mau. Aku menikmatinya sebagai keindahan yang sulit dijelaskan. Gerakanku mengikuti irama yang kuputar lagi dan lagi. Aku menikmati berputarnya pita kaset dari kiri ke kanan seperti menonton komedi putar ukuran mini, lalu saat berhenti aku harus membalik posisi kaset agar pitanya dapat kembali diputar dengan menekan tombol ‘play’.

Aku tak mengidolakan jenis musik tertentu. Begitu pula penyanyinya. Musik bagiku semacam teman yang bisa diajak bicara kapan saja aku mau. Meski demikian seiring waktu aku memilih lagu-lagu yang diciptakan dan dibawakan oleh David Foster, Chrisye, dan Dewa 19. Selain itu adalah lagu-lagu yang mereka ciptakan namun dibawakan penyanyi lain, seperti Peter Cetera yang senantiasa membawakan karya David Foster. Atau Reza Artamevia membawakan ciptaan Dewa 19, serta grup music rock Godbless yang ternyata mampu membawakan lagu-lagu karya Chrisye dengan melankolianya sendiri. Beberapa lagu tersebut kuingat secara keliru karena aku terlalu menikmati iramanya sambil menari. Love Theme from St. Elmo’s Fire yang dibawakan secara instrumentalia oleh David Foster kuingat sebagai Winter’s Game yang mengiringi Olimpiade Musim Dingin tahun 1988. Tiap mendengar Love Theme from St. Elmo’s Fire, khayalanku melambung pada sebuah musim dingin di mana aku menari di atas es dan seorang pianis mengiringi di sampingnya. Bayangan yang keliru itu bertahan hingga bertahun-tahun berikutnya. Makin lama makin banyak lagu berbahasa Inggris yang kusukai. Dibantu Kakak aku mencoba menulis liriknya agar bisa menyanyikannya dengan baik. Tiap kali berkutat dengan lirik lagu yang membuatku penasaran, aku terbebas dari tumpah ruah kekesalan Ibu pada Ayah.

Sejujurnya, sejak kata ‘hasil dari memeras orang lain’ mampir di telingaku, aku ketakutan setengah mati bahwa segala yang kumakan dan kupakai akan membuatku celaka dan bergelimang dosa. Dosa di dunia dan di akhirat. Segala yang tidak memberi berkah akan menyebabkan petaka yang dapat terjadi di kedua tempat tersebut: dunia dan akhirat. Aku harus bertanya pada guru agamaku di sekolah, ‘Pak, Bu, bagaimana kalau Ayah saya memberi saya makan dan pakaian dari hasil…’, ah, tak sanggup aku bahkan hanya untuk merencanakannya. Terbayang di kepalaku tatap mata penuh curiga bapak dan ibu guruku itu padaku. Mereka akan berpikir kalau aku berkata melantur karena membenci Ayahku atau aku adalah produk laknat hasil dari harta haram, keduanya sama-sama berakhir pada penghakiman yang menakutkan. Segala kemungkinan melemparku kembali pada kamar di mana aku menghabiskan waktu mendengarkan musik sambil menari. Terkadang aku menari hingga larut malam dan jatuh tertidur. Pada suatu malam, tepat sebelum tertidur sayup-sayup kudengar irama musik yang tak asing di telingaku. Rekaman musik di otakku terkadang muncul di saat yang tak bisa diduga. Tak sanggup menahan kantuk aku tertidur dengan irama yang terus mengalun di kepalaku. Pagi harinya kudendangkan perlahan sambil memutar kaset-kaset yang berserakan satu per satu di lantai kamar hingga akhirnya kutemukan judul lagu tersebut adalah And When She Danced karya David Foster yang dinyanyikan berduet dengan seorang wanita dan merupakan lagu latar sebuah film. Aku mulai memutar berulang-ulang seperti nabi yang sedang menuliskan wahyu yang diterimanya selagi tidur.

…you go back in time to a … in your mind-to the one who knew a part of you-that you just couldn’t find.

If you ask me to choose between a memory or two-when it said and…-I’ll take the one whose love I had to lose.

Cause when she danced I lost my inner sense-I love her danced-I always will.

She left with me-but still with me-a … memory.

Kemampuanku menulis lirik yang belum sempurna itu dihentikan oleh waktu bersiap-siap ke sekolah. Aku berjanji akan meminta bantuan Kakak menuntaskannya. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi bila tidak tuntas aku tahu ia akan menghantui tidurku terus-menerus.

Keesokan hari dan hingga sekian hari setelahnya aku menyibukkan diri dengan melamun sambil memutar And When She Danced. Tanpa Kakak di sampingku aku membiarkan khayalanku melambung seiring melodi lagu tersebut mengalun alih-alih melengkapi liriknya. Saat kami bersama, kalimat demi kalimat kemudian dapat kami susun dengan baik.

 

Can you go back in time to a place in your mind

To the one who knew a part of you

That you just couldn't find

If you ask me to choose between a memory or two

When it's said and done

I'll take the one who's love i had to lose

Lihat selengkapnya