Dunia Baru Ibu

Nastiti
Chapter #7

BAB #7

BAB 7.

 

Dari hari ke hari aktivitas Ibu kian bertambah. Tawaran mengajar berdatangan tak hanya dari berbagai universitas di Kota S, tetapi juga kota-kota kecil di sekitarnya. Tumpukan kertas di ruang kerjanya menggunung. Dari pagi hingga malam keberadaannya nyaris hanya di dua tempat: luar rumah atau kamar kerjanya. Ibu keluar rumah tak hanya untuk urusan pekerjaan tapi juga arisan, pengajian dan kegiatan berkumpul lain di lingkungan kami. Ia selalu berusaha hadir dan terlibat pada urusan apapun baik yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai dosen maupun keberadaannya sebagai warga di lingkungan di mana kami tinggal. Ibu menjadi jarang berkumpul dengan keluarga. Tapi toh aku, Kakak, dan Ayah tak kalah sibuknya dengan Ibu. Aku sibuk dengan dunia baruku di perkuliahan dan Kakak dengan segala aktivitas di kota pelajarnya. Sementara Ayah yang senantiasa menambah jumlah kolega itu membuat jadwal perjalanan ke luar kotanya kian padat. Aktivitas Ibu dan Ayah mendatangkan tamu dengan beragam bingkisan. Aku menikmati saat di mana Ayah atau Ibu membuka bingkisan-bingkisan tersebut lalu bersama kami akan mengatakan ‘wah’ sebagai tanda bahwa apapun isi bingkisan itu, kami bersyukur dan senang mendapatkannya. Ibu yang mengajarkan hal itu pada anak-anaknya. Kalau bingkisan itu berupa makanan, kami akan diminta mencicipinya satu per satu. Hal semacam itu menurutnya adalah bentuk rasa syukur. Bahkan saat kami kenyang, Ibu akan memaksa kami melakukannya. Saat bingkisan itu berupa hiasan ataupun pakaian, Ibu akan memajangnya agar kami semua melihat dan mengetahuinya sebelum kemudian ia simpan di dalam lemari. Kebiasaan itu membuat kami selalu menanyakan setiap barang baru di rumah kami sebagai ‘pemberian siapa’ dan tak pernah sebagai ‘beli di mana’ karena sejatinya kami memang hampir tidak pernah lagi perlu membeli barang-barang kebutuhan kami.

Aktivitas Ibu rupanya tak hanya membuat hidupnya makin bersemangat tetapi juga membuat ketakutannya kian bertambah. Ia cemas setiap kali teringat pekerjaannya sebagai dosen saat ia sibuk membantu tetangga yang sedang mempersiapkan acara hajatan. Sebaliknya, ia pun memikirkan apakah dirinya sedang melewatkan acara di RT kami saat sedang menerima tamu seorang mahasiswa yang ingin berkonsultasi ataupun di tengah kegiatannya mengajar. Padaku, ia kerap mengomel tak karuan saat curiga kalau aku tak mengindahkan makan sayur dan buah setiap harinya. Gelar yang didapatnya di Kota J berhubungan sangat erat dengan nutrisi makanan. Ia juga mencemaskan keadaan Kakak di Kota Y yang tak jarang menyulut pertengkaran tidak hanya dengan Kakak tapi juga dengan Ayah. Ibu menikmati kecemasannya seperti seseorang yang hobi makan makanan pedas. Tiap kali rasa pedas yang menyulut api di tenggorokan dan perut mereda, ia akan kembali ketagihan merasakan sensasi yang sama. Dari sekian banyak kecemasan yang Ibu miliki, tinggal di rumah seharian menduduki peringkat pertama. Seluruh kecemasan yang ada dalam dirinya akan muncul, berkumpul di kepalanya, kemudian siap ditumpahkan serupa lahar gunung berapi. Dan diantara aku, Kakak dan Ayah, akulah yang paling sering berada di rumah saat lahar itu telah berkumpul di kepala Ibu. Ada kalanya aku mampu menghindari lahar tersebut dengan beralasan mengerjakan tugas di rumah teman atau ada keperluan membeli sesuatu yang waktunya kubuat sepanjang mungkin. Tapi lama-kelamaan aku tak mungkin menghindarinya. Kesibukan Ibu membuat kian banyak pekerjaan rumah harus kukerjakan. Karenanya, meninggalkan rumah akan membuat pekerjaan rumah itu menumpuk dan membuatku tak bisa menyelesaikan pe er kuliahku tepat waktu. Setelah mencoba menghadapi lahar di kepala Ibu beberapa kali demi tuntasnya kewajibanku di rumah dan kampus, ternyata mendengar kecemasan Ibu tak semengerikan yang kuduga. Lambat laun aku menikmati kecemasan Ibu sebagai sikap yang memang layaknya dimiliki semua ibu di muka bumi ini.

Sejak saat itu aku lebih sering melihat banyak hal sebagai akibat dari ketidakpatuhan seorang anak pada ibunya. Saat kudengar berita seorang teman drop out kuliah aku mencari tahu apakah ia seorang anak yang patuh pada ibunya. Apa yang telah ia langgar dari nasihat ibunya hingga ia harus mengalami drop out. Seorang teman yang ketahuan hamil di luar nikah mengingatkanku akan larangan ibu pulang malam, bergaul dengan teman lelaki, dan berpakaian ketat. Aku mengonfirmasi hal-hal itu pada teman yang lain dan kami kemudian terlibat pada diskusi panjang yang berujung ke satu muara, yaitu karma yang harus dialami oleh orang yang tak mengindahkan larangan-larangan ibunya. Bahkan saat kudengar kalau seorang anak kecil nyaris dimakan kuda nil di sebuah kebun binatang saat ingin memberi makan kuanggap sebagai hukuman karena ia telah berlari meninggalkan ibunya yang sedang dengan sabar menyuapinya nasi.

Meski sering menemani Ibu aku tetap menyempatkan diri mengunjungi pusat perbelanjaan sekedar berbelanja minuman atau kosmetik yang kulakukan bersama teman. Pada sebuah kesempatan, seorang spg kosmetik membujukku mengikuti sebuah kontes kecantikan dengan alasan tinggi badan, usia, warna kulit, dan perhatianku pada penampilan wajah. Ia memuji-mujiku dan aku termakan pujiannya. Bersama seorang teman aku mendaftarkan diriku pada ajang tersebut. Kami tak ingin kemenangan. Kami hanya ingin menimba pengalaman dan bersenang-senang siapa tahu keikutsertaan kami bisa dipamerkan ke teman-teman yang lain. Mendapat sertifikat sebagai peserta saja sudah cukup. Kalau beruntung, mungkin kami bisa mendapat penghasilan tambahan dari menjadi model kecil-kecilan. Aku mengkhayalkan kemungkinan itu sambil berjanji kalau penghasilan tambahan itu kudapatkan, aku akan berhenti meminta uang saku pada Ibu. Lalu saat sudah lulus kuliah aku akan mudah memperoleh pekerjaan karena pengalamanku ini dan juga berbagai sertifikat keikutsertaan kontes kecantikan. Aku akan merantau ke Kota J karena di sanalah jenis pekerjaan dengan penghasilan tak terbatas bisa diraih. Aku dan temanku saling memberi semangat. Kami tak menunggu lama untuk tancap gas ke persewaan pakaian dan make up yang nantinya akan kami pakai saat kontes.

Sesampai di rumah aku mereka-reka kalimat apa yang pas untuk menyampaikan hal ini pada Ibu. Ia seperti biasa selalu sedang sibuk mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya hingga aku menunda niatku terlebih dulu. Tanpa kusadari satu hari berlalu, kemudian hari kedua, ketiga dan genap seminggu sejak aku mendaftar kontes, Ibu belum juga aku beri tahu. Hingga akhirnya sehari sebelum kontes aku teringat kalau aku akan pulang larut karena acara dimulai malam hari. Saat itu juga, di tengah kesibukan Ibu di kamar kerjanya kusampaikan padanya tentang acara yang aku ikuti besok malam. Ia tampak mendengarkan dengan serius sambil membagi perhatiannya pada kertas-kertas di hadapannya. Pulpen di tangan kanannya sesekali memberi tanda pada kertas-kertas tersebut. Ibu tak mengangguk tidak juga menggeleng. Ia bertanya apakah aku telah mempunyai cukup persiapan dan kujawab ya. Lalu kuserahkan undangan untuknya karena tiap peserta berhak mendapat sebuah undangan gratis, Ibu mencermatinya sebentar, memastikan tanggal dan jamnya lalu menyelipkannya ke dalam tas. “Kalau lupa dibawa ngga boleh masuk nanti,” katanya.

Tak lama setelah kontes yang seperti dugaanku semula menjadi perkenalan pertamaku pada dunia modeling itu, sebuah tawaran datang padaku. Tawaran tersebut datang dari agensi yang biasa mengurus promosi merk terkenal skala nasional. Dan benar adanya, yang ia tawarkan padaku adalah untuk menjadi figuran dalam sebuah ajang promosi salah satu merk kosmetika terkenal yang sedang digemari anak muda kala itu. Aku kegirangan bukan main. Kubayangkan diriku suatu saat nanti akan menjadi bintang iklannya. Wajahku akan muncul tak hanya di majalah, tapi juga di televisi. Kesempatanku berkarir di Kota J akan datang dengan sendirinya. Aku tak perlu lagi tinggal dengan Ayah dan Ibu karena aku mampu membeli rumah sendiri. Rumah yang aku idam-idamkan; yang lantainya dingin dan kamarnya berisi kasur super empuk, bantal bulu angsa yang juga senantiasa dingin karena pendingin ruangan. Garasi rumahku berisi setidaknya sebuah mobil keluaran terbaru. Aku bebas pergi dan berbelanja sesuka hatiku. Aku akan mendedikasikan sebuah kamar khusus untuk perlengkapan make up dan pakaian serta sepatu model terkini. Aku kembali membuka majalah wanita Ibu yang mulai menumpuk entah karena pemberian teman Ibu ataupun ia beli sendiri. Kupilih beberapa jenis pakaian dan sepatu yang kusukai lalu kusimpan dalam kepalaku agar saat bayangan akan kehidupan baruku muncul, dengan mudah kuselipkan benda-benda itu sebagai penutup tubuhku.

Tanpa menunggu satu hari sekalipun, aku menghampiri Ibu yang sedang makan malam untuk memberinya kabar gembira ini. Belakangan kulihat Ibu sedang tidak sesibuk biasanya. Ia bahkan tampak mengunyah makanan di mulutnya dengan santai sambil sesekali mengajakku mengobrol. Saat waktuku bicara tiba kusampaikan dengan penuh rasa bangga padanya kalau aku dipercaya oleh merk terkenal. Ia mengangguk menanti kelanjutan ceritaku. Lalu kuceritakan mulai dari bagaimana agensi tersebut menghubungiku, produk apa yang akan kupromosikan, sebagai apa aku nantinya di atas panggung, dan tentu bahwa semua itu adalah sebuah kegiatan berbayar. Ibu tampak terkejut, meletakkan alat makannya dilanjutkan dengan mencuci tangannya di wastafel. Ia segera mengelap tangannya hingga kering dan lalu berdiri di sampingku. Aku menanti pelukan hangatnya dengan penuh rasa syukur dan haru. Hanya saja, alih-alih memelukku, ia bertanya sejauh apa aku mengetahui keberadaan agensi ini. Kujawab tentu saja belum lama. Ibu melanjutkan pertanyaannya dengan apakah aku mengetahui seluk beluk dunia modelling, apa saja yang dilakukan agensi terhadap modelnya, berapa penghasilan sekali tampil, dan apa saja yang mesti diperhatikan sebelum menerima tawaran mewakili sebuah produk. Aku ingin menggeleng saja untuk setiap pertanyaan. Tapi aku tahu tidak mungkin. Aku hafal betul kapan Ibu benar-benar bertanya dan kapan ia menggunakan kalimat tanya untuk memastikan bahwa aku betul-betul tidak mengerti akan suatu hal. Karenanya aku memilih mengarang cerita berdasarkan apa saja yang pernah aku baca atau gunjingkan dengan teman-teman dalam menjawab pertanyaan Ibu. Keraguan jawabanku terbaca oleh Ibu. Sontak wajahnya memerah disusul kemarahan yang meledak. Ia mengatakan aku tak tahu apa-apa tentang dunia yang model. Mataku telah dibutakan oleh gemerlap yang akan mendorongku ke dalan jurang yang gelap. Ia mengatakan aku belum siap dan tak akan pernah siap sampai ia mengizinkan. Ia mengaku sangat sedih saat mendengar niatku untuk serius di dunia model. Penghasilan dapat diperoleh dari banyak pekerjaan lain di luar itu. Dari sekian jumlah model yang berhasil, lebih banyak yang tidak berhasil dan terjerumus di dunia kelam. Dunia prostitusi! Ibu tak memintaku menimbang lagi. Ia memintaku menolak saja tawaran itu.

Aku menangis sambil menelungkupkan wajah di atas bantalku. Kubiarkan bantalku basah, mengering, lalu basah lagi. Aku tak mengira reaksi Ibu setajam itu. Aku mengenalnya sebagai perempuan berwawasan luas yang dalam banyak hal memiliki cara pandang yang berbeda dengan rata-rata perempuan di usianya. Aku mengira ia akan memberiku kesempatan melakukan apa yang kuanggap baik. Aku mengira ia akan membesarkan hatiku untuk melakukan hal baru serta mendukungku dengan menunjukkan rasa percayanya padaku. Dan bukannya menganggapku anak kecil yang tak malu mempertontonkan tubuhnya untuk orang lain, yang tak mengerti bagaimana menjaga dirinya sendiri, dan masih harus diberitahu bagaimana organ reproduksi manusia bekerja. Selama menemani Ibu dan kecemasannya, dalam banyak hal aku telah menelan mentah-mentah segala yang ia anggap tabu. Aku mematuhinya tanpa bertanya sebab aku tak ingin menambah beban pikirannya. Tapi kali ini aku tak mampu menolak keinginanku akan hal-hal yang kuanggap menantang dan mampu kutaklukkan. Aku ingin menunjukkan kebolehanku setelah nilai-nilai sekolah tak mampu lagi diandalkan. Aku ingin Ibu bangga, bukan ingin menentangnya. Aku tak mengira Ibu menganggap keinginanku hal yang bodoh dan tak patut dibanggakan. Selang dua hari, setelah seluruh air mata tumpah, aku memberanikan diri mengambil keputusan yang bertentangan dengan Ibu. Aku akan melakukan apa yang kuinginkan terlepas dari Ibu mengizinkan atau tidak. Aku tak harus selalu menyerah. Sekalipun karma menantiku.

Aku tampil di atas panggung dengan separuh hati. Separuhnya lagi, bayang-bayang kemarahan Ibu terus menghantui. Sekuat apapun upayaku menghapusnya, ia terus menggelayuti hati dan pikiranku. Di luar kegalauan itu, tekatku membuktikan kalau aku mampu berdiri di atas pendirianku sendiri tak surut. Saat tiba mendapatkan imbalan di dalam sebuah amplop putih, kututup amplop itu dengan lem dan kusimpan di dalam lemariku. Aku akan menyimpannya sebagai monumen kemenangan.

Sementara Ibu bertahan dengan kecemasannya, aku mulai mampu memilah bagian mana dari kehidupanku bersama Ibu yang akan aku pertahankan dan bagian mana yang tidak. Aku sungguh-sungguh tak ingin berbohong pada Ibu semenjak keinginan mencari tambahan penghasilan sendiri muncul di kepalaku. Hal itu aku buktikan dengan berhenti mengutil simpanannya di dalam lemari pakaian. Hanya saja, Ibu sering tidak memberiku kesempatan. Ia memilih menghalangiku bekerja dengan berbagai alasan. Alasan yang paling sering ia sebut adalah karena aku perempuan, sebaiknya aku sangat selektif memilih pekerjaan. Sebagai perempuan bekerja, ia mengharuskan aku meneladaninya. ‘Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada suami kita’ ucapnya berkali-kali saat ingin menegaskan betapa pentingnya perempuan bekerja. Tetapi dalam kenyataannya Ibu sangat sulit melihatku melakukan hal lain selain belajar untuk kepentingan kuliah. ‘Kesempatan itu akan datang bila waktunya tepat nanti. Bersabarlah dulu’ pesannya selalu. Aku bosan dengan petuahnya yang tak kumengerti. Namun aku bertahan dengan menenggelamkan diri dalam novel-novel yang dengan senang hati Ibu belikan untukku. Kesukaanku pada kisah-kisah kerajaan di Tiongkok yang biasa kutonton dalam film silat berlanjut. Aku melahap habis karya-karya Pearl S. Buck. Selain itu, novel detektif juga menjadi pilihanku. Aku menikmati kisah Hercule Poirot tokoh utama dalam karya-karya Agatha Christie. Kegemaranku pada dongeng dan bacaan yang telah tertanam sejak kecil muncul kembali. Aku senang membicarakan kisah-kisah yang kubaca bersama Ibu. Begitupun sebaliknya. Kesukaan Ibu pada kisah kriminal yang terdapat di majalah bulanan Intisari adalah kail yang selalu ditangkap oleh pikiran-pikiranku tentang kasus yang dihadapi Hercule Poirot. Kami menjadi sepasang pengamat kisah detektif. Sebelum menuntaskan membaca sebuah novel detektif aku kerap membagi kisahnya pada Ibu dan meminta pendapatnya tentang siapa menurutnya pelaku kejahatan yang sesungguhnya. Lewat logika detektifnya ia akan menjelaskan padaku runut logika yang paling mungkin dan pada siapa aku mesti curiga. Dalam banyak hal, tebakannya benar. Kepiawaian Ibu mengurai kasus begitu mengagumkan. Sesaat aku melupakan keinginanku memilah bagian mana dari hidupku yang akan kuberi jarak dari idealisme yang ditanamkan Ibu selama ini. Aku menikmati kebersamaanku dengannya melalui kisah-kisah dalam novel yang kubaca.

Kedekatanku dengan Ibu menumbuhkan harapan baru bahwa suatu saat nanti ia mau melihat aku sebagai individu yang berbeda dengan dirinya, dan bahwa aku berhak atas hidupku sendiri. Ia akan memberiku ruang untuk menyukai drama televisi yang ia benci karena menurutnya tidak mendidik, atau membolehkanku memakan makanan ringan yang menurutnya akan merusak tubuhku. Aku ingin sesekali merasakan, mungkin terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak Ibu sukai kemudian bangkit kembali menjadi diriku yang baru. Tanpa itu semua aku akan menjadi zombi penurut yang meski bersikap malaikat sesungguhnya tetaplah zombi yang isi kepalanya kosong.

Tapi Ibu membutuhkanku menjadi zombi. Bersama zombinya ia akan mampu menghabiskan waktu tanpa harus berurusan terlalu banyak dengan Ayah. Zombi kesayangannya akan selalu bisa dijadikan alasan mengapa ia tak bisa memenuhi keinginan Ayah; mulai dari menemaninya di rumah maupun di luar rumah hingga menyisihkan sebagian gajinya untuk menutup pengeluaran rumah tangga karena Ayah membelanjakan uangnya entah ke mana. Ibu telah membuat daftar apa saja yang dibutuhkan zombi kesayangannya dalam waktu dekat setiap bulannya. Hal itu membuat Ayah tak sanggup lari dari kenyataan bahwa ia harus lebih disiplin dalam membelanjakan uangnya. Kalau tidak, keluarganya tak bisa makan. Ada kalanya zombi kesayangan mampu berpikir bahwa jika uang Ayah banyak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, itu artinya ia juga lebih banyak memakan harta hasil memeras orang lain. Zombi kebingungan dan menganggap harus ada penyelesaian untuk masalah yang satu ini. Karenanya ia mengadu pada Kakaknya yang mengatakan dengan terus terang bahwa penyelesaian terbaik adalah merelakan Ibu dan Ayah berpisah.

“Ibu punya pekerjaan tetap, tak ada alasan ia tak bisa hidup tanpa Ayah,” katanya.

“Lalu bagaimana dengan kita?” sahut zombi penasaran.

“Ga gimana-gimana. Kita tetap anak mereka,” tandas Kakak zombi.

Zombi terdiam meski bukan berarti setuju. Ia tak bisa membayangkan seperti apa hidupnya jika Ibu dan Ayah berpisah sebagaimana ia juga tak habis berpikir mengapa Ibu mempertahankan pernikahan yang membuatnya terus-menerus bersembunyi dari kenyataan pahit. Tapi zombi tetaplah zombi. Di kepalanya hanya ada dunia yang ia mengerti dan rasakan selama ini. Ia takut pada perubahan meski pertengkaran ayah dan ibunya kian menguat dari hari ke hari. Ayah menuduh Ibu tak memperhatikan keadaan rumah dengan baik, terlalu sibuk di luar rumah, serta kerap menghasut anak-anak untuk membenci ayahnya sementara Ibu menganggap Ayah lemah dalam memimpin keluarganya dan tidak jujur dalam bekerja. Meski demikian, dunia di luar melihat bahwa Ibu adalah pengajar yang berdedikasi tinggi dan rela berkorban untuk siswa-siswanya serta Ayah adalah dokter tentara yang ramah dan memiliki banyak teman. Zombi kesayangan merasa cukup kiranya ia mengisi kepalanya dengan hal-hal yang diketahui orang luar saja. Karena dengan demikian ia merasa aman.

 

 *

 

 Ibu duduk di dekat pusara mungil dengan penanda lahir dan meninggal yang hanya selisih bulan. Noda tanah memberi warna kusam pada sepatu dan ujung rok yang Ibu pakai. Ia tak peduli pada noda yang biasanya mengganggunya. Ibu tenggelam dalam rangkaian doa. Aku dan Kakak berada di posisi yang sama setiap tahunnya, yaitu di sebelah kanan dan kiri Ibu. Menanti Ibu menuntaskan doanya adalah menahan sengatan sinar matahari di kulit sambil menghitung bunga kamboja yang jatuh di sekeliling pusara tersebut. Sesekali bisikan Ibu merapal doa terdengar. Kali ini ia berdoa lebih lama dari biasa. Langit berubah mendung waktu akhirnya Ibu menutup doanya dengan menangkupkan kedua telapak tangan di wajah. Aku dan Kakak bernafas lega. Deretan pengemis menyambut kami dengan tengadah tangan di pintu keluar makam. Warna langit yang menandai datangnya hujan tak lantas menyurutkan keinginan mereka untuk mendapatkan sedekah pengunjung makam.

Rumah Kakek dan Nenek di Kota Y lengang saat kami melangkahkan kaki memasukinya. Keheningan seperti enggan pergi meski waktu menunjukkan saatnya makan siang. Satu per satu dari kami melepas sandal dan membiarkannya menyatu dalam lautan benda yang sama di anak tangga paling bawah. Ibu tampak kesulitan melepas sepatu ketsnya sementara aku melepas pengait sepatu di pergelangan kaki. Sepatu model terbaru ini sedikit menyulitkan pemakainya saat ingin melepas. Kulihat Ibu menungguku. Kaki kami lalu bersama memasuki kesunyian ruang makan orangtua Ayah.

Kesunyian adalah milik mereka yang mencarinya, tulis sebuah kutipan dalam buku yang sudah tak kuingat lagi judulnya. Aku mencoba mencari pemecah kesunyian yang kurasakan kali ini, yang mungkin tak dirasakan oleh yang lain. Kulihat Ibu terduduk dengan punggung melengkung di tepi tempat tidur kamar yang disediakan untuk kami. Bedak di wajahnya luntur di beberapa bagian. Menampakkan garis wajah di dahi dan ujung kedua matanya. Aku tak tahan melihatnya. Tas berisi pakaian yang kami bawa dari Kota S teronggok di samping Ibu. Biasanya dengan cekatan Ibu merapikan tas-tas tersebut di sudut kamar, mengeluarkan oleh-oleh yang kami bawa lalu menyambut siapa saja yang ia temui sambil mengajaknya mengobrol. Tapi kali ini ada yang mencengkeram tubuhnya. Sebuah benda tajam yang membelah hatinya menjadi beberapa bagian telah membuatnya tertancap di satu masa yang tak pernah ia inginkan. Masa yang telah ia kunci rapat-rapat. Masa yang tanpa sengaja kubuka tanpa mengerti bahwa ratusan pisau siap menghunjam Ibu. Aku tak pernah ingin mengawalinya, maka aku pun tak tahu bagaimana mengakhirinya.

Dua hari sebelum keberangkatan kami ke Kota Y untuk mengunjungi makam, aku terlibat pertengkaran sengit dengan Ibu. Pasalnya bukan lagi soal izin menjadi model, pulang malam, ataupun hal lain yang berkaitan dengan kecemasan Ibu yang seringkali membuncah itu. Kali ini Ibu dibuat teramat sangat malu karena aku dan teman lelakiku dilaporkan oleh warga di mana temanku itu tinggal bahwa kami melakukan aktivitas tidak senonoh. Aku tak tahu siapa yang melaporkan. Mungkinkah aku mengganggunya dengan datang ke kos temanku itu dan mengobrol di kamar hingga ia melaporkan kami? Oh, tentu mengobrol di dalam kamar juga bagian dari kesalahan. Bahkan saat teman lelakiku itu mengizinkanku untuk masuk ke kamarnya saja sudah merupakan kejahatan berencana. Bagaimana aku bisa melupakan hal-hal penting semacam itu, aku tak tahu. Mungkin karena aku menyukainya, dan ia menyukaiku, dan martabak yang kami beli untuk dimakan bersama membuat obrolan kami tak habis-habis. Atau ada kebencian yang mengakar pada salah satu dari kami hingga kemudian seorang teman menganggap perbuatan kami perlu dilaporkan. Demikian skenario yang tersusun di kepalaku, sementara di kepala Ibu hanya ada satu skenario, yaitu aku dengan sengaja melakukan dosa dan mencemarkan nama baiknya maka aku layak mendapatkan hukuman baik di dunia maupun di akhirat nanti. Ibu menghakimi aku sebagai anak yang tidak mendengarkan nasihat orangtua, penyebar aib, dan tentunya generasi yang tidak memikirkan masa depan. Mestinya aku terima saja semua tuduhan itu. Atau bisa juga kutimpakan kesalahan itu pada seorang teman yang sayangnya belum kuketahui identitasnya saat itu. Sayangnya, tak satupun aku pilih. Aku memilih diam, menangis di kamar, lalu dalam kemarahan yang tak terbendung membalas kata-kata Ibu dengan luapan yang menjadi-jadi.

“Ibu selalu memilih mendengar kata orang lain!”

Ia menanggapi kata-kataku dengan dingin.

“Begitu? Bisa sebutkan contohnya?”

Sambil menahan amarah sulit bagiku mengingat seandainya ada. Kekesalanku memuncak. Ia mencari cara meluapkannya dengan berbagai cara.

“Kalau aku ngga bisa sebut contohnya apa itu berarti Ibu selalu benar?”

“Kamu barusan yang bilang, bukan Ibu…” sahutnya. Nada bicara Ibu mulai tak seperti biasa. Ia tampaknya mulai kesal dan aku menyukainya.

“Jadi Ibu selalu benar? Lalu mengapa Ibu memilih Ayah yang suka memeras orang lain dan tidak bisa membedakan baik dan buruk lalu tidak dapat dijadikan contoh bagi anak-anaknya, terus tidak bisa mengatur keuangan dan tak punya masa depan yang baik? Itu yang dimaksud selalu benar?”

Wajah Ibu memerah. Meski emosinya terpancing ia tampak menjaga perkataannya dengan baik. Ia mengerti yang dihadapinya adalah zombi kesayangan yang selama ini lebih banyak diam.

“Jangan melantur. Kita tidak sedang membicarakan Ayah!”

“Ya tapi tetap saja…”

Lihat selengkapnya