Dunia Baru Ibu

Nastiti
Chapter #8

BAB #8

BAB 8.

 

Jauh sebelum belajar mengaji, aku telah diperkenalkan oleh orangtuaku tentang keberadaan Tuhan Pencipta Alam Semesta. Ia begitu hebat dan berkuasa. Ia menyayangi dan mengasihi umatnya tanpa peduli berbalas atau tidak. Ia tak dapat dilihat tapi keberadaannya mampu dirasakan. Suatu keadaan yang sangat sulit kubayangkan saat itu, saat usiaku belum genap 6 tahun. Hal yang aku ketahui masih sebatas benda-benda yang tampak. Aku belajar mengenal barang-barang yang melekat di tubuhku, yang terlihat di kamar kami, dan yang mampu dirasa oleh lidahku. Tuhan bukan satu di antara mereka, karena ia tak tampak. Meski demikian kata hebat, berkuasa, dan menyayangi yang aku pahami adalah sesuatu yang dimiliki orang dewasa. Orang dewasa identik dengan tubuh yang besar dan kuat. Karenanya aku membayangkan bahwa Tuhan bertubuh besar dan kuat. Ia tak mungkin takut gelap seperti aku, atau berlari tiap melihat binatang yang bernama kecoak. Otakku terus memikirkan bentuk yang tak tampak itu. Benarkah Tuhan tidak tampak, atau saking besarnya maka kami manusia tak mampu melihat wajahnya yang berada jauh dari bumi. Aku teringat teman Ayah yang tubuhnya menjulang tinggi nyaris menyentuh atap. Tiap kali ia bicara aku harus mendongakkan kepala agar dapat melihat gerak bibirnya. Terkadang ia yang menundukkan badan menyamakan tingginya denganku sebelum menanyakan namaku, umurku, apakah aku sudah sekolah atau belum. Saking penasarannya, pernah satu kali kuumpamakan bahwa Tuhan adalah gorila yang sangat besar. Gorila adalah makhluk terbesar yang kutahu saat itu. Gorila juga tampak sangat perkasa. Ia duduk di singgasana yang lebih besar dari tubuhnya. Ia tinggal di istana yang terletak di langit dan memiliki banyak pengawal yang semuanya berujud manusia. Saat mulai mengenal kata malaikat, aku mulai menggantikan gambaran manusia di istana raja gorila menjadi manusia bersayap dengan tongkat peri sebagaimana gambaran malaikat di film dan buku dongeng. Istana itu berwarna putih bersaput biru seperti langit yang bersih. Segala hal yang kuyakini sebagai kebaikan kuasosiasikan selalu dengan warna putih. Putih adalah bersih, putih adalah kasih sayang, putih adalah kekuatan melawan kejahatan dan malapetaka. Semua bayangan itu kusimpan sendiri hingga perlahan kekuatan-kekuatan besar dari Sang Maha kurasakan sebagai pengalaman batin yang sulit dijelaskan. Saat kesedihan dan kebimbangan mendera, kekuatan itu datang dalam bentuk keinginan merapal tasbih hingga perlahan rasa takut yang menguasai pikiranku tak mengambil alih keberanianku menghadapi masalah. Tanpa benar-benar memahami apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhku, aku menyelesaikan persoalan yang kuhadapi dengan tenang. Ia memiliki caranya sendiri dalam meyakinkanku bahwa banyak hal yang tak kumengerti di saat aku menganggap kehidupan di sekitarku tak berjalan seperti yang kuinginkan.

Saat menemani Ibu berbaring di atas tempat tidur setelah dokter menyatakan kanker stadium tiga bersarang di tubuhnya, aku kembali mencari Tuhan. Tuhanku yang dulu. Yang hebat dan berkuasa. Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Bukan yang membingungkanku dengan perhitungan matematis pahala dan dosa. Aku tak menemukannya di mana-mana. Bahkan di ingatanku yang paling absurd sekalipun.

Jauh sebelum diagnosa dokter, Ibu telah menganggap bahwa cepat atau lambat dirinya akan dikuasai kanker. Alasannya adalah karena ayahnya pun tumbang oleh penyakit yang sama sekian puluh tahun yang lalu. Waktu Ibu masih duduk di kelas 6 SD. Penyakit itu menyelesaikan tugas ayahnya di bumi sebagai dokter. Apa yang terjadi pada ayahnya menjadi motivasi Ibu untuk mengabdikan diri juga sebagai dokter. Motivasi yang awalnya bahan bakar itu rupanya di satu titik di hidup Ibu berubah ujud menjadi kekhawatiran. Hanya butuh satu gelar master di bidang nutrisi untuk mengubah pendirian Ibu dari penyuka beragam makanan menjadi orang nomor satu di hidup keluarganya yang gamang pada tiap jenis makanan. Seiring kegemarannya membaca Ibu menemukan banyak hal yang menunjukkan bahwa zat-zat yang seharusnya tak ada dalam makanan diproduksi secara besar-besaran demi menekan biaya dan mengejar keuntungan maksimal. Kekhawatiran Ibu mendapatkan tempat untuk tumbuh dengan subur. Hasil penelitian, fakta-fakta, serta eksploitasi alam yang tak kunjung henti mendatangi Ibu dalam berbagai bentuk. Jika selesai kuliah ia mendapatkannya dalam bentuk bacaan yang didukung oleh referensi dunia kedokteran, dalam waktu singkat telepon genggam di tangannya memberinya banjir informasi dalam bentuk yang lain. Ibu yang percaya bahwa penelitian ilmiah adalah landasan teori yang mutlak sebelum siapapun ingin membagikan pendapatnya, tak pelak tunduk pada video-video siapa saja yang mengaku mengerti tentang kesehatan dan membagikannya lewat akun sosial media. Apalah arti beragam jurnal dengan berbagai catatan kaki yang ukurannya bahkan lebih kecil dari seekor semut itu dibandingkan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan dalam video-video itu.

Memuncaknya kekhawatiran Ibu kukira berawal dari tahun1998 saat hampir semua produk makanan tiba-tiba mengalami perubahan ukuran dan kemasan. Setahun sebelumnya, entah dari mana, Ibu telah mendapat prediksi bahwa tahun 1998 akan terjadi kenaikan harga semua barang secara besar-besaran. Ia membisikiku bahwa tempat tidur kami hendaknya segera diganti yang berbahan spring bed. “Sebentar lagi kita nggak bakalan bisa beli. Jadi mesti sekarang!” ucapnya suatu hari di tahun 1997. Ia melanjutkan kalimatnya dengan kata ‘krisis moneter’, yang mana makin jauh dari pengetahuanku yang malas mempelajari perekonomian. Aku menganggap Ibu sedang berhalusinasi. Kecemasannya tentang bahan makanan memang berkembang ke hal yang lain. Tak heran jika ia membayangkan hal buruk lebih sering ketimbang yang baik. Meski demikian, aku tetap memperjuangkan apa yang ia minta untuk alasan kenyamananku sendiri saja.

Saat kecemasan Ibu tentang harga barang benar-benar terjadi setahun kemudian, aku telah lupa pada apa yang ia katakan. Aku tetap melihat swalayan menjual barang-barang yang biasa kulihat. Tanpa kusadari bahwa mereka dikemas dengan ukuran yang berbeda namun dijual dengan harga yang sama. Spring bed yang Ibu inginkan hanya dijual di toko khusus yang tak pernah lagi kukunjungi. Karenanya aku pun tak peduli apakah harganya benar-benar naik. Ketimbang kenaikan harga perhatianku lebih banyak tersedot pada peristiwa mengerikan yang belum pernah kutahu sebelumnya, yaitu berita tentang tertembaknya mahasiswa yang sedang berdemo di Kota J. Kenyataan bahwa ia bukan tertembak tapi dengan sengaja ditembak meremukkan perasaanku. Hari-hari berikutnya kami sekeluarga tak sekalipun melepaskan diri dari kelanjutan peristiwa naas itu. Demonstrasi besar-besaran terjadi di jantung Kota J. Memporak-porandakan beberapa wilayah pertokoan penting, membelah masyarakat menjadi pribumi dan non-pribumi, hingga kemudian ditutup dengan turunnya pemimpin negara yang telah berkuasa selama 30 tahun. Aku hanya melihat sang pemimpin negara tersebut di foto dan siaran televisi. Kalau kuingat-ingat, rasanya sepanjang aku sekolah hingga lulus kuliah, orangnya sama. Hanya tampak makin tua saja. Ia selalu tampil penuh senyum, gemar mengajak orang lain berjabat tangan, dan sering menandatangani batu prasasti. Itulah yang tertangkap mataku. Sementara telinga dan kepalaku dipenuhi protes dan kritik keras terhadapnya yang datang dari surat kabar. Konon ia culas meski rajin tersenyum. Sebagai seorang angkatan bersenjata ia kerap memanfaatkan kekuasaannya secara kejam, serta melakukan korupsi besar-besaran terhadap keuangan negara. Seluruh keluarganya layak dihukum karena berkolusi dalam bisnis yang mereka geluti hingga merugikan negara. Aku mencoba mengingat keluarganya. Kucocokkan ingatanku satu per satu dengan wajah-wajah yang sering muncul di surat kabar bersama dengan nama perusahaan yang dimilikinya dan jumlah kerugian negara yang diderita. Mereka semua cantik dan tampan. Dan tentu juga murah senyum. 

Kegelisahan Ibu berlipat-lipat saat itu. Di antara kenaikan harga barang ada rasa kecewa yang tak bisa ia kendalikan terhadap pemerintah pusat, ketakutan akan terjadinya pemberontakan lain sesudah peristiwa naas yang menewaskan mahasiswa, serta keraguan pada pemerintahan baru yang menggantikan sang pemimpin 30 tahun. Ia menganggap kami harus bersiap-siap pada kelangkaan bahan makanan. Sayangnya, kecemasannya tak mungkin terpenuhi mengingat kami secara finansial tak memungkinkan menumpuk bahan makanan. Aku yang baru menapaki dunia kerja tak ambil pusing pada kemungkinan bahwa bisa jadi bahan makanan kami mendadak hilang di pasaran. Aku hanyut di kehidupan baruku di tempat kerja. Kesempatanku bertemu Ibu berkurang. Atau lebih tepatnya seringkali sengaja aku kurangi agar ia tak selalu menggunakan keberadaanku untuk menghindar dari Ayah. Ayah yang hampir pensiun tak kunjung menampakkan keinginan melepas praktik pemerasan yang menurutnya diterima sebagai hal yang lumrah di tempat kerjanya. Sementara Ibu makin teguh dengan idealismenya tentang menjadi warga negara yang baik, jujur, dan senantiasa mengabdi pada negara. Berada di tengah dua kepentingan orangtuaku adalah sebuah usaha mati-matian menjadi orang lain yang mampu menelan mentah pendapat dua kubu yang nyaris tak pernah berhasil menahan keinginannya berperang. Karenanya, kesempatan berada di luar rumah selalu kumanfaatkan sebaik-baiknya.

Ruang makan rumah kami menyimpan energi yang luar biasa. Ia sanggup mengubah cuaca di rumah kami secepat pergantian program televisi saat tombol remote ditekan. Dan pada tiap pergantian yang begitu cepat itu tak seorangpun berusaha menyelamatkan diri dari sengatan hawa panas yang tiba-tiba datang ataupun gigil dingin yang membekukan. Obrolan ringan kami tentang kehidupan seorang teman bisa berubah menjadi obrolan tentang betapa berbahayanya memelihara kebiasaan membeli barang-barang yang tak benar-benar diperlukan. Kemudian masing-masing kami akan menilai yang lain dan berujung pada selisih paham yang tak kunjung usai antara Ayah dan Ibu. Mana diantara keduanya yang paling sering melakukan pembelian tanpa alasan yang jelas tak lagi menjadi perhatian aku dan Kakak. Kami akan tetap berada di ruangan yang sama, menikmati perdebatan demi perdebatan, terkadang menyela dengan pendapat kami sendiri. Segalanya akan berakhir tanpa kata sepakat sebab sepakat tak membuat ruang makan kami berenergi lagi. Kami haus perbedaan dan perdebatan. Saat berada di luar rumah, aku menyadari betapa udara luar membuatku berpikir lebih waras. Anehnya, saat berada di tengah perdebatan sengit, aku tak ingin mencari udara yang membuatku mampu berpikir waras tersebut. Alih-alih aku selalu mencoba bertahan sambil menikmatinya.

Ibu mengatasi kecemasan yang makin menjadi akibat dari Peristiwa 1998 dengan menyibukkan diri pada aktivitasnya mengajar. Ia mencurahkan hati dan jiwanya bagi perkembangan ilmu pangan dan nutrisinya. Ia skeptis pada hampir tiap makanan yang tersaji di meja makan. Membuat yang lain merasa bersalah meski seringkali harus mengakui kebenaran analisanya. Aku makin sering makan di luar rumah karena itu berarti aku bisa makan apa saja sesuka hatiku. Tak perlu bagiku membuat alasan untuk itu sebab makan di luar rumah telah menjadi kebiasaan orang bekerja. Aku bekerja pada sebuah bidang usaha yang memberiku gaji cukup. Walau tak sering, ada kalanya aku membeli makanan untuk dimakan di rumah. Di saat seperti itu Ibu akan berusaha tetap memakannya terlebih dulu dalam jumlah sedikit sebelum membiarkan kami mendengar analisanya terhadap bahan yang terkandung dalam makanan tersebut. Kuhela nafas panjang perlahan. Bagaimana seseorang mampu menikmati makanan sementara sinisme tak sudah-sudah dalam waktu bersamaan harus juga ditelan.

Seiring waktu, aku dan Kakak mendapat kesempatan bekerja yang lebih baik di luar Kota S. Berbekal semangat Ibu menuntut ilmu dan memperluas pengalaman, aku bekerja di Kota J dan Kakak di kota industri yang tak jauh dari Kota J. Ibu melepas kami dalam derai air mata tak berkesudahan hingga pekerjaannya yang menyita waktu memintanya mengikhlaskan kepergian kami. Kenyataan memintanya bertahan dalam kemelut rumah tangga bersama Ayah. Mereka yang dididik untuk mematuhi bahwa pernikahan adalah jalan ke surga sudah seharusnya menelan keadaan seperti yang terjadi padanya. Demikian Ibu memahami jalan hidupnya. Meski rekaman telinga kami tak sudah-sudah mengingat bagaimana ia sangat menginginkan perpisahan dengan Ayah.  

 

***

 

Aku mendekatkan tubuh ke Ibu yang mulai mendengkur. Ia terbiasa berpesan padaku untuk membangunkannya tiap dirinya mendengkur. Aku mengingatnya sambil tersenyum lalu membiarkan dengkurnya terus mengisi kesunyian kamar. Tak lama kemudian jemarinya mulai bergerak. Rupanya ia terbangun oleh dengkurnya sendiri. Aku bergegas bangkit dari tempat tidur lalu meninggalkannya. Berpura-pura sibuk di dapur mempersiapkan lauk untuk kami makan. Begitulah yang terjadi di seminggu awal kebersamaan kami semenjak Ibu dinyatakan mengidap kanker. Aku ingin menemaninya sebesar aku ingin meninggalkannya. Itu sebabnya kucari Tuhan tanpa henti. Cuma Dia yang mampu membuatku terus berharap bahwa suatu saat akan kutemukan diriku yang sesungguhnya.

Tak terasa 5 tahun berlalu sejak Ayah dikebumikan dengan upacara militer. Beban di tubuh Ibu sedikit terangkat saat akhirnya upacara pemakaman Ayah selesai. Saat aku harus kembali ke kota tempatku tinggal, Ibu mengemasi beberapa setel pakaiannya untuk pergi bersamaku. Tapi tak lama kemudian ia kembali. Tubuhnya mengerti di mana ia harus berada. Tubuhnya memerlukan kebahagiaan secukupnya dari orang-orang yang juga memiliki kemampuan terbatas memahaminya. Anak-anakku menginginkan neneknya tinggal lebih lama. Kalau sudah demikian, Ibu akan menjanjikan kunjungan berikutnya di tengah hari-harinya yang sibuk. Dengan bangga ia akan membeberkan jadwal kerjanya hingga sekian pekan ke depan sambil meminta pendapat anak-anakku apakah mereka senang jika bulan ini minggu ke sekian neneknya kembali berkunjung. Anak-anakku yang menyukai neneknya itu akan bersorak gembira karena tak peduli sesibuk apa mereka di sekolah, akan selalu ada waktu untuk mendengar neneknya berceloteh. Hari-hari kemudian berlalu, janji-janji memudar, dan kami tenggelam dalam kegiatan rutin masing-masing.

Hingga kemudian kabar itu datang.

Di tengah kegamangan kami menghadapi gelombang pandemi virus korona, kanker stadium 3 telah mencuri celah di dalam tubuh Ibu.

 Ibu memahami tubuhnya sebagaimana ilmu genetika yang ia pelajari. Seorang penderita kanker akan menurunkan kecenderungan yang sama pada keturunannya. Mengingat yang terjadi pada ayahnya, ia telah mempersiapkan kemungkinan terburuk itu jauh-jauh hari. Ia kerap merasa sesuatu menggerogoti tubuhnya. Di saat seperti itu ia akan menjadi sangat sedih dan menangis sendirian. Aku menghiburnya dengan mengatakan kalau Ibu akan baik-baik saja. Tak ada hal yang mencurigakan di tubuhnya. Dan tak seorangpun dari saudara kandungnya yang terkena penyakit tersebut. Ibu tampak lebih tenang meski di lain waktu kejadian yang sama akan berulang.

Kecemasan Ibu tak urung menular kepadaku. Setelah melahirkan anak pertamaku, ada saja bagian tubuhku yang terasa nyeri hingga aku merasa sesuatu tumbuh di dalamnya. Tetapi, membesarkan anak di kota sesibuk Kota J menyelamatkanku dari kecemasan berlebih akan rasa sakit di tubuhku. Kota J memberi lebih banyak kesempatan pada penduduknya untuk melakukan kegiatan yang tak ada di kota lain seperti misalnya berjalan menyusuri mal yang kian menjamur di tiap sudut kota, berjualan pakaian secara ecer maupun grosir, mencoba peruntungan di bidang MLM, ataupun menggeluti bidang seni apapun itu. Penduduk Kota J yang beragam adalah potensi terbesar nomor satu bagi produk apa saja yang layak dan dapat dikonsumsi manusia. Hanya saja, kecemasan tetaplah muncul sebagai kecemasan dalam bentuk yang berbeda. Keinginanku menghindari satu bentuk membawaku pada bentuk yang lain. Ia menghantuiku dengan caranya sendiri. Ia berdiam dalam darahku, dagingku, tulangku.

Pada suatu hari yang sendu karena hujan mengguyur tanah tempat tinggalku di Kota J seharian penuh, aku terbaring di atas tempat tidur sendirian. Suamiku dinas di luar kota dan anak-anak belum pulang dari sekolah. Aku merasa tak ingin melakukan apa-apa. Ada keinginan sangat kuat untuk berdiam di kamar dan terus menatap jendela yang basah.. Kubiarkan potongan-potongan kenangan berkelebat di kepalaku. Kenangan tentang Kota M yang dingin membawaku pada wangi bunga, warna pelangi dan aroma masakan Nenek. Aku menarik nafas panjang sejenak lalu melepaskannya. Seiring melepas nafas, gambaran Kota M menguap perlahan. Setelahnya aku dikejutkan pada ingatan akan deretan buku koleksiku dan Kakak. Sambil mengenangnya aku tersenyum menyadari betapa dongeng telah menjadi keseharianku sejak dulu. Bahkan bukannya tak mungkin saat aku masih di perut Ibu, ia dan Nenek telah membiasakanku hidup berdampingan dengan dongeng. Kebiasaan mendongeng Nenek dan Ibu kubawa hingga aku membesarkan anakku yang kedua. Kuingat binar mata kedua anakku tiap kali kami bertiga terbaring di tempat tidur untuk sesi mendongeng. Apapun yang keluar dari bibirku adalah hal yang menarik bagi mereka. Ada kalanya aku bercerita tentang sayur mayur yang saling bercakap, ada pula giliran alat tulis dan benda-benda yang mereka kenal di sekolah kujadikan tokoh dalam ceritaku. Keinginanku mendongeng datang begitu saja seperti kebiasaan mengunyah makanan.

Hujan di luar berhenti. Sisa air yang masih menetes memukul pipa besi dalam tempo lambat. Bunyi katak bersahutan. Ke mana mereka tadi? Mengapa baru sekarang bersuara seolah tidak terima hujan berhenti? Apa sebenarnya yang ada di pikiran para katak? Benarkah mereka menyukai hujan, atau sebab lain membuat mereka seolah suka. Atau manusia yang menganggapnya begitu? Aku bangkit dari rebahku lalu mengambil secarik kertas dan pulpen. Isi kepalaku dipenuhi katak. Kemudian, dalam waktu singkat kata demi kata kugoreskan di atas kertas kosong di tanganku. Kisah katak yang cemburu pada kupu-kupu terangkai terangkai dalam gerak ritmik tanganku. Tiap selesai menulis satu kalimat ada saja bagian yang kucoret. Entah karena kosa kata yang buruk, atau banyaknya penjelasan tak penting yang mengganggu imajinasiku saat kubaca ulang. Ah, betapa tak mudahnya menuliskan yang telah tergambar di kepala.

Kecemasan yang menjalar di tubuhku bergerak melambat seiring aktivitasku menulis cerita. Penasaran pada perubahan yang terjadi padaku, kucari sumber informasi tentang bagaimana kecemasan mampu dikendalikan lewat aktivitas menulis. Kutemukan beberapa artikel penting dari internet lalu kubaca satu per satu. Selain mendapat pencerahan, aku juga mendapatkan fakta mengerikan tentang kecemasan yang tak dikendalikan. Kisah katak yang cemburu pada kupu-kupu kuselipkan dalam sebuah buku tulis lalu kusimpan dalam lemari pakaianku. Aku berjanji akan menyalin kisah tersebut dengan rapi agar lebih mudah dibaca. Sebelumnya kutulis besar-besar di lembar pertama buku tulis tersebut: My Own Therapy.

Hingga sekian bulan kemudian sejak kusalin kisah tertulis pertamaku ke dalam buku My Own Therapy, tak sedikitpun terpikir untuk memperlihatkannya pada Ibu ataupun anak-anakku. Berbagai pikiran menghantui kepalaku; bagaimana kalau mereka tidak suka, atau kalau Ibu menganggapku kekurangan pekerjaan. Benarkah Ibu dan anak-anakku akan menghargai karyaku itu? Kuputuskan untuk menceritakan secara lisan saja pada anak-anak sebagai percobaan awal. Aku tak berharap banyak pada reaksi anak-anak, hanya sekedar ingin tahu apakah mereka menyukainya atau tidak. Seluruh kemampuan kukerahkan selama membawakan kisah tersebut pada dua pendengar setiaku itu. Kutambahkan improvisasi di sana sini agar lebih menarik. Dan hasilnya adalah dua wajah kebingungan yang sama sekali tak menikmati kisah yang kubawakan. Keesokan harinya kubuka kembali kisahku dalam buku tulis lalu kutambahkan kata-kata di penghujung tulisan: lain kali dilanjutkan, jangan putus asa, gagal itu biasa. Hingga setahun kemudian, buku itu tak lagi kusentuh.

Setahun kemudian Ibu membaca karya pertamaku dalam sebuah buku kompilasi puluhan penulis yang karyanya dipilih melalui ajang audisi. Ia mengaku menyukainya. Aku bangga setengah mati. Berikutnya kutulis kisah dalam berbagai genre; drama keluarga, percintaan remaja, fantasi, horor, dan thriller. Aku ketagihan menulis cerita. Berbagai ajang audisi kuikuti. Ada kalanya karyaku terpilih, ada kalanya tidak. Saat tidak terpilih aku kemudian mempelajari karya-karya terpilih untuk kuikuti gaya berceritanya. Ternyata aku tak pandai meniru gaya bercerita orang lain. Sebuah tips yang konon dianggap manjur oleh para penulis senior itu tak mempan padaku. Sungguh tak mudah belajar dari orang lain. Aku menyukai bentuk-bentuk yang diciptakan oleh kepalaku sendiri secara mati-matian. Teknik menulis yang kupelajari secara mandiri berjalan terseok-seok. Kombinasi tak mampu meniru gaya penulis laris dan teknik menulis yang biasa saja ini membuat pangsa pembacaku tak kunjung meluas. Rasa percaya diriku terkikis dari hari ke hari. Sementara Ibu memintaku terus menulis. Aku lelah dengan keinginannya dan berhenti berkarya. Nasib mujur memang tak milik semua orang, namun ia memilihku saat sebuah ajang lomba menulis novel diadakan oleh sebuah penerbit besar. Minatku mengikuti ajang tersebut muncul berkat dorongan beberapa teman. Tanpa mengharapkan apapun kulanjutkan naskah setengah jadi yang sempat kutulis. Jemariku bergerak ringan seiring dengan hampanya harapan akan memenangkan lomba. Hingga saat pengumuman yang menyebutkan namaku tiba, aku masih tak percaya; bagaimana kalau mereka salah menulis nama, apa yang terjadi padaku kemudian, benarkah ini pengumuman final jangan-jangan masih diseleksi lagi hingga akhirnya aku tak berhak menjadi salah satu pemenang. Malamnya aku tak bisa tidur. Keringat dingin terus menguasai tubuhku. Aku benar-benar tak yakin dengan penglihatanku sendiri. Terlebih saat kuingat kalau hadiahnya adalah diterbitkan dalam jumlah ribuan dan dipasarkan ke seluruh negeri.

Hari-hari berikutnya aku disibukkan dengan revisi naskah novel tersebut berdasarkan masukan pada beberapa bagian yang diberikan penerbit. Selama proses berlangsung, aku benar-benar merasa telah menjadi penulis. Satu hal yang tak pernah terlintas dalam benakku sejak lahir. Menjadi pembaca bagiku adalah melihat karya adiluhung yang tak mungkin kuciptakan sampai kapanpun juga. Menjadi pekerja di korporat atau ibu rumah tangga adalah takdirku. Takdir yang sampai kapanpun tak akan pernah aku gugat di hadapan Yang Maha Kuasa. Tapi kini Ia berkehendak lain. Aku mampu menjadi yang bahkan dalam mimpi sekalipun tak teraih. Aku merasakan tangan Sang Maha Agung yang dahulu dikatakan guru mengajiku telah mendatangkan sekarung beras ke rumahnya saat ia tak tahu bagaimana mandapatkan makanan. Sebelum tidur kerap kubayangkan Sang Maha Agung sambil kuulurkan tanganku mencoba meraihnya.

Lihat selengkapnya