BAB 9.
Aku melihat Ibu di ujung lorong itu. Wanita yang kuantarkan ke peristirahatan terakhirnya tadi siang berdiri di sana. Ia memakai pakaian yang sudah lama sekali tak kulihat. Terusan selutut bermotif bunga. Aku ingat betul ada motif garis sedikit di bagian akhir roknya. Dulu aku setinggi bagian bergaris itu. Aku senang berada di dekat Ibu waktu ia memakainya. Aku sering memandang garis-garis itu. Mereka seperti bergerak-gerak. Kukatakan pada Ibu apakah garis-garis itu sejenis binatang. Ibu tertawa waktu itu.
Aku berlari ke arahnya sambil memanggil-manggil Ibu. Ia menengok, tersenyum, lalu berjalan menghampiriku.
Ibu mengatakan aku tak perlu berlari. Lorong itu akan mengantarkanku padanya. Kukatakan tidak, aku tak percaya. Dalam keadaan rindu yang sangat sekalipun aku masih tak memercayainya. Kami melebur dalam pelukan yang tak hangat tapi juga tak dingin. Rasanya seperti memeluk udara yang padat. Tubuh mungil Ibu begitu muda dan segar. Dan, wajahnyapun seperti saat ia masih sering menggendongku. Kuulurkan lenganku ke arahnya minta digendong. Ibu tertawa sambil mengatakan jangan mengada-ada. Tubuhku saja sudah jauh lebih besar ketimbang tubuh Ibu.
Langit di atas kami berwarna oranye. Ibu menggamit tanganku sambil mempercepat langkah kakinya.
“Kita mau ke mana?” ujarku riang. Kuurungkan niatku mengatakan tujuanku datang ke tempat tersebut. Ibu tampak tergesa dan aku begitu bersemangat menemaninya. Biarlah kutunda sampai kami sampai ke tujuan.
“Ke pasar malam,” jawabnya.
Aku melompat kegirangan. Tak kusangka sama sekali Ibu mau mengajakku yang sudah bukan anak kecil lagi ke tempat semacam itu.
“Jauhkah tempatnya?”
“Tuh, di depan…”
Tangan ibu menunjuk suatu tempat yang tak begitu ramai tapi banyak orang berjualan. Sebuah tempat yang tak biasa dijadikan pasar malam. Lebih mirip halaman rumah dengan halaman sangat luas yang dipakai untuk tempat berjualan. Di Kota J aku terbiasa dengan inovasi yang memperkenalkan hal baru di luar konsep yang biasa pada bidang usaha apapun. Jadi waktu kulihat tempat ini tak terasa sebagai pasar malam sebagaimana di Kota M, aku tak merasa harus mempertanyakan pada Ibu. Aku senang jika Kota M berani membuat langkah baru.
“Kita masuk ke rumah itu!” kata Ibu.
Sebuah rumah kuno mirip dengan rumah Nenek berdiri tak jauh dari tempat kami melihat-lihat situasi. Kuikuti langkah Ibu. Rumah itu tak terlalu besar dengan perabotan dari kayu persis seperti rumah Nenek.
“Kita istirahat di sini…”
Ibu tampak kelelahan untuk perjalanan yang kelewat singkat ini.
“Kamu mau minum?” katanya.
“Nggak usah. Belum haus,” balasku singkat.
Aku tak banyak berkata. Sensasi nyaman menguasai tubuhku. Membuatku tak ingin merusaknya dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting seperti mengapa Ibu ada di sini.
Kami berdua duduk di kursi kayu dengan meja mungil di antara dua kursi yang kami tempati. Gelas kaca tinggi berisi air putih tersedia di atas meja. Aku meminumnya meski tak haus. Air yang mengalir di kerongkonganku begitu segar. Ia mengalir lambat di tubuhku hingga kesegarannya mampu dirasakan oleh tiap organ yang dilaluinya.
“Ibu, ini air apa?”
“Air putih…”
Aku tak kesal dengan jawaban Ibu. Ini tak biasa, sebab biasanya aku kesal dengan jawaban terlalu singkat semacam itu. Sebelum pikiranku mencari tahu jawabannya, sekelompok orang memasuki rumah. Mereka duduk di kursi-kursi yang melingkari meja seukuran mejaku dan Ibu, lalu mengobrol. Masing-masing memegang minuman dan makanan yang kemudian diletakkan di atas meja. Renyah tawa dan canda memenuhi ruangan. Aku memperhatikan apa saja yang dilakukan sekelompok orang tersebut. Mereka tampak jauh lebih muda ketimbang aku. Waktu seumur mereka tentu aku juga seperti itu.
“Kita ke belakang, yuk,” ajak Ibu tiba-tiba.
“Ke mana itu?”
“Ada halaman di belakang rumah.”
“Aku senang di sini,” jawabku tak ingin kebahagiaan menonton kelompok anak muda di dekat kami duduk terganggu.
“Terlalu sering di dalam ruangan tak baik. Sering-seringlah melihat pemandangan alam di luar,” sergah Ibu.
“Begitu?”
“Ya. Kamu dulu senang sekali bermain di luar…”
“Tapi itu waktu aku masih sangat kecil.”
Ibu tak peduli dengan jawabanku dan menarik tanganku untuk mengikutinya. Aku berlari kecil menyamakan langkah dengan Ibu. Hingga tak lama kemudian, lapangan rumput yang sangat mirip dengan suasana lahan pertanian di film-film Eropa terhampar di hadapan kami berdua.
“Ibu, ini lapangan rumputnya Laura…"
Ibu tersenyum. Ia tahu film masa kecilku yang bercerita tentang kehidupan seorang gadis bernama Laura Ingalls Wilder dan keluarganya. Film itu berjudul Little House on the Prairie. Tayang seminggu sekali setiap hari Minggu siang, saat seluruh keluarga diharapkan berkumpul. Aku dan Kakak sangat menyukai film itu bukan hanya karena tak ada pilihan film keluarga yang lain tetapi lebih karena film itu mengangkat kisah sehari-hari yang tidak dibuat-buat. Anak-anak tidak serta merta dibuat menjadi sosok yang mampu menjadi suri tauladan begitu pula orangtuanya. Penjahat bukan makhluk yang jatuh dari langit dan hanya memiliki takdir sebagai penjahat tanpa sebab yang jelas. Atau atau hal-hal yang dianggap baik yang dipaksakan ke dalam cerita semata-mata agar penonton mencontohnya. Menurutku kebaikan yang dipaksakan justru membuat penonton terkecoh alih-alih mencontoh. Karenanya, Little House on the Prairie akan kukenang sampai kapanpun juga.
Aku menggamit tangan Ibu lalu mengajaknya berlari di “lapangan rumput Laura”. Kami berlari sambil tertawa sekencang-kencangnya. Rok Ibu berayun-ayun seperti rok ibunya Laura yang aku tak ingat namanya. Rok Ibu lebih pendek sedikit tapi memberikan efek yang mirip saat ditiup angin. Setelah kelelahan aku berdiri di tengah lingkaran yang kami buat sambil menengadah ke atas. Langit berwarna kuning. Langit yang mirip kertas putih yang disapu pewarna berwarna kuning. Atau tembok putih yang ketumpahan cat berwarna kuning. Warna yang menutup rata seluruh permukaan. Aku tak mengerti bagaimana langit bisa seperti ini. Meski demikian ada kedamaian yang kurasakan. Aku berputar dan berputar. Ibu berlari dan berlari.
*
Di sini selalu ada pasar malam.
Aku mendengar seseorang mengatakannya di dekat telingaku. Kupalingkan wajahku ke arah Ibu sambil bertanya mengapa demikian. Ibu mengatakan kalau dirinya tak berkata apa-apa barusan. Aku meminta Ibu mengaku, tapi ia tetap menggeleng sebab menurutnya tak ada yang perlu diakuinya. Jadi siapa tadi yang bicara, sahutku. Ibu mengedikkan bahu. Di sini semua terjadi begitu saja, lanjut Ibu. Harus kuakui pernyataan Ibu tak mengherankan sebab segala yang kutemukan semenjak melihat Ibu diujung lorong adalah keajaiban. Dan aku hanya perlu menikmatinya sebab segala yang baru bagiku bersama Ibu adalah semesta yang kudambakan selama ini.
Setelah puas bermain di “lapangan rumput Laura” kami sepakat untuk kembali ke ruang di mana orang-orang makan dan minum tadi untuk menyantap makanan. Aku urungkan pertanyaan jenis makanan apa yang tersedia, apakah kami harus memasak dulu, atau makan kali ini apakah makan pagi, siang atau malam.
Di meja kami telah tersedia ayam goreng, sayur berkuah dengan daun berwarna hijau di dalamnya, serta tempe dan tahu goreng. Gigitan pertamaku pada bentuk ayam goreng memberikan sensasi tersendiri.
“Ibu, ini enak sekali!” pekikku kegirangan.
Ibu mengunyah daging yang seperti dimasak semur dan tak mengindahkan perkataanku.
“Aku mau coba daging semurnya,” ujarku sambil mencomotnya dari piring Ibu. Mataku terbelalak demi merasakan sensasi istimewa makanan tersebut. Ibu tertawa sambil terus mengunyah hingga makanan di piringnya tandas tak bersisa.
“Apa yang paling kau ingat tentang pasar malam?” tanya Ibu tiba-tiba.
“Hmm…komedi putar, balon, badut, dan pipis di celana.”
“Oya? Coba cerita tentang pipis di celana!”
“Malas, ah!” jawabku malu. Ibu merajuk dengan melilitkan sedikit ujung roknya ke jari-jarinya sambil memilinnya. Persis seperti aku waktu di sekolah dasar tiap kali diminta guru bercerita di depan kelas. Aku menahan tawa sambil mengunyah. Sebagian makanan di mulutku tumpah ke pakaianku.
“Oke, oke...”
Aku tak menyangka sama sekali kalau Ibu ternyata ingat tentang kelakuanku memilin ujung rok itu dan lebih parahnya lagi ia mempraktikkannya di hadapanku.
“…tapi berhenti bertingkah seperti itu,” sahutku.
“Cerita dulu,” sergahnya.
“Berhenti dulu.”
“Cerita dulu!”
“Oke, oke!”
Aku memulai kisahku pada suatu hari ketika kami sekeluarga menonton pasar malam di Kota Y. Pasar Malam yang disebut Sekaten adalah satu-satunya hiburan dengan mainan anak terbesar saat itu. Sebuah pertunjukan trapeze menarik perhatian kami. Pertunjukan di dalam tenda raksasa yang diberi berbagai peralatan berupa tiang-tiang, jala pengaman, serta tangga dan tali-tali yang digunakan pemain bergelantungan, meloncat, melayang hingga hinggap atau mendarat di tempat yang telah disediakan waktu itu hanya terjadi di perayaan tertentu saja. Secara keseluruhan, hiburan di dalam tenda raksasa itu disebut Sirkus.
“Aku takut, Ibu. Jujur aku teramat sangat panik dan takut menontonnya.”
“Tapi anak-anak seumurmu senang…”
“Benarkah? Ibu pernah bertanya pada mereka?”
“Belum…”
“Nah, kan! Ketakutanku tak lagi bisa disebut saat seorang penari melayang di udara, di atas jaring pengaman yang tampak tak cukup kokoh lalu mendarat dengan dipegang tangannya oleh temannya yang juga terayun-ayun.”
“Lalu?”
“Aku ngompol.”
Ibu terbahak. Aku minta Ibu mengecilkan suaranya.
“Kamu malu?” katanya menanggapi kegugupanku.
“Bukan.”
“Lalu?”
“Aku takut anak-anak muda itu tidak tahu artinya mengompol lalu menanyakannya padaku. Sebab mereka tampak tak bercakap-cakap seperti kita,” jawabku.
Ibu memutar matanya tanda bahwa alasanku sangat tak masuk akal. Aku menepuk pipiku mencoba mengingat sesuatu. Bagaimana aku bisa mengatakan hal semacam itu? Tapi menurutku itu masuk akal. Mengapa Ibu bersikap seperti itu? Mungkin penyebabnya ayam yang kumakan tadi.
Ibu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia tampak kekenyangan.
“Kamu bisa manjat pohon?” katanya.
“Nggak lah!” Bagaimana Ibu bisa tak mengingatnya.
“Mau Ibu ajarin?”
“Hah?! Jangan ngawur,” seruku tak percaya.
“Mana pernah Ibu ngawur. Kamu yang belum liat kenapa jadi Ibu yang ngawur?”