BAB 10.
Aku dan Ibu menikmati hidup kami di atas sebuah pohon yang terletak di tepi pantai. Di tempat tersebut aku kerap tertidur, bermimpi tentang masa kecilku bersama Ibu, Ayah dan Kakak lalu saat terbangun mimpi itu menjelma ingatan yang begitu nyata hingga ingin kutulis.
Di dunia mimpi itu aku bertumbuh dari kecil, remaja, kemudian dewasa. Tak semua bagian dari hidupku muncul dalam mimpi itu. Ia hanya memunculkan bagian-bagian penting yang membentuk segala hal yang mendekatkan dan menjauhkan aku dari Ibu.
Saat ingin menulis aku akan pergi ke tempat kami biasa makan sambil membawa perlengkapan menulis yang aku beli di pasar malam. Kadang aku menulis di lembaran kertas, kadang di dalam buku tulis. Pasar malam itu menjual barang yang berganti-ganti setiap harinya. Ada kalanya saat kuperhatikan orang yang lalu lalang di pasar malam, kudapati mereka adalah orang-orang yang kutemui pula di mimpiku saat tertidur di atas pohon. Bedanya mereka tak mengenalku sebagaimana mereka di mimpiku. Mereka hanya datang, kalau ingin menyapaku sekedarnya, atau mengajak bicara layaknya orang asing, dan pergi begitu saja. Aku tak pernah bertanya di mana mereka tinggal atau apakah mereka mengenal Ibu.
Awalnya aku menulis tanpa sepengetahuan Ibu. Ingatanku akan mimpi berupa penolakan Ibu atas apa yang kutulis begitu kuat. Meski ia telah berpesan padaku untuk menjadi diri sendiri, tetap saja tak membuatku ingin memperlihatkan apa yang kutulis padanya.
Aku menuliskan mimpi-mimpiku dalam urutan tertentu yang mana di dalamnya terdapat kehidupanku yang hanya bersama Ibu. Tanpa menghubungkannya dengan kehidupanku yang sekarang, ingatan tentang mimpi itu tak mampu kurangkai menjadi cerita. Jika dalam mimpi aku adalah seorang anak kecil, maka bagian hidupku sekarang yang kutulis untuk mendampinginya adalah bagian di mana aku kesulitan memahami Ibu sebagaimana anak kecil dalam mimpiku.
***
Perkara selimut bayi adalah hal paling sulit untuk kukatakan pada Ibu. Lebih tepatnya adalah kutanyakan bagaimana selimut itu menjadi penghubung kehidupan kami sekarang dengan mimpi-mimpiku. Benakku dipenuhi keraguan apakah Ibu juga mendapat mimpi yang sama denganku? Apakah kami juga merasa sedang bersama dalam kehidupan yang kerap muncul saat aku tertidur di atas pohon? Jika ya, akan lebih mudah bagiku berterus terang padanya kalau aku mencuri satu-satunya peninggalan anak pertamanya. Jika tidak, aku akan disangka sedang tidak enak badan.
Ada kalanya burung-burung yang terbang di atas pohon tempat kami tinggal berbunyi merdu. “Seperti sedang menyanyi,” ujar Ibu suatu hari. Waktu kutanya apakah Ibu suka mendengarkan lagu? Ia menjawab ya. Lalu waktu kutanya jenis lagunya, ia mengatakan apa saja yang penting enak didengar. Penasaran dengan selera Ibu, kutanyakan lagi apakah ia suka mendengarkan lagu sambil menari? Yang kumaksud adalah jenis lagu yang dapat membuat pendengarnya ingin bergerak. Ia mengatakan kalau ia pernah menyukai lagu bertema seperti itu.
“Seperti itu yang mana?”
“Yang tenang, seperti suara alam.”
***
Perlahan mimpi-mimpi tentang masa kecilku menghilang seiring dengan tertulisnya kisah itu di atas kertas. Aku tak ingin ia hilang. Aku ingin terus bersamanya sebab kehidupan di dalam mimpi itu jauh lebih berwarna. Saat Ibu mengatakan kalau dirinya suka mendengarkan lagu-lagu yang tenang, aku ingin sekali mengajaknya mengunjungi mimpiku lalu memutar lagu kesukaanku. Aku ingin berdansa dengannya sambil mendengarkan And When She Danced karena tampaknya ia akan suka. Tapi seberapa besar usahaku untuk tertidur dan kembali ke masa-masa itu, tetap saja kegagalan yang kudapatkan. Aku menyesal telah menuliskannya. Aku sungguh-sungguh tak menyangka mimpiku akan pergi begitu saja.
“Ibu, aku ingin berterus terang tentang sesuatu,” ujarku membuka pembicaraan. Ia sedang menghitung dan mengelompokkan kerang yang di dapatnya di pantai. Tangannya sibuk membersihkan kotoran yang menempel pada tiap kerang. Sesekali ia meniupinya agar kotoran yang tak terjamah tangan menyingkir dari tubuh kerang.
“Tentang apa,” jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
“Tentang selimut bayi.”