Andai Ando tidak segera datang melerai, mungkin seseorang akan menelepon polisi untuk melaporkanku. Kemudian, mereka akan mendeportasiku dengan sukacita.
“Dasar gadis tolol!” Hayashi-san berteriak sambil bangkit dari kursinya.
Seketika, sesuatu yang keras dan menyakitkan menghantam pipiku. Gerakan itu terlampau cepat. Aku hanya bisa merasakan adanya sesuatu yang mendorong tubuhku sampai limbung ke samping. Saking cepatnya, sampai-sampai otak tidak mampu memproses kenapa wajahku dijadikan samsak.
Akibat hantaman itu, bukan hanya area wajah, telingaku juga mengeluarkan bunyi denging yang nyaring, sebelum akhirnya perih hadir bersamaan dengan rasa nyut-nyut di sebelah bibir.
Aku menghabiskan beberapa detik untuk mencerna informasi menyakitkan dalam kepala. Semua orang di dalam ruangan terdiam, memandang ke arah kami dengan raut tidak percaya.
Mata kecil Mitsuyoshi-san seperti hampir melompat keluar dari balik kacamatanya.
Di sebelahnya, wajah Sakabe-san yang sebelumnya ceria setelah berbincang dengan Mitsuyoshi-san, berubah pucat. Seolah-olah jantungnya berhenti beberapa saat sehingga tidak mampu mengalirkan darah.
Tidak berbeda jauh dengan kedua sahabatnya, Midori-san bahkan ikut memekik histeris. Bulir air mata bening menggenang di bagian ujung kelopak matanya yang keriput.
Bahkan, Senior Ana yang baru saja memasuki ruangan, menutup mulut dengan kedua tangan.
Suasana yang sebelumnya hangat, ceria, dan penuh dengan nyanyian riang, mendadak berubah tegang dan mencekam. Semua orang menahan napas supaya tidak menimbulkan kegaduhan, seolah-olah mereka adalah para tokoh dalam film bergenre thriller yang sedang menyembunyikan diri dari sosok jahat yang ingin membunuh mereka.
Teriakan geram Hayashi-san yang menggema ke seluruh ruangan, membuat kesadaranku kembali seutuhnya. Aku mendapati diri telah jatuh terduduk. Kesadaran itu datang bersama rasa sakit akibat tamparan si pria tua yang menyebar sampai area pelipis.
Di hadapanku, Hayashi-san berdiri murka. Tangannya mengepal erat di kedua sisi tubuh. Sangat-sangat erat sampai terlihat getaran halus di setiap tangan keriputnya. Wajah dan kepalanya yang botak memerah menahan marah. Ibarat ketel tua yang hampir mendidih, kemurkaan tercetak jelas dan menguasai seluruh sudut wajah yang biasanya putih pucat.
Tak lama setelah itu, layaknya air yang mencuat melalui corong ketel karena mendidih, Hayashi-san memaki dalam bahasa yang tidak kupahami. Sayangnya, dari sekian banyak makian yang beterbangan melalui mulutnya, telingaku hanya bisa menangkap kata “tolol” sebagai hadiah istimewa dari si ketel tua penggerutu khusus untukku.
Melihat pria tua itu sampai repot-repot berdiri dari kursi hanya demi bisa menumpahkan air mendidih dari dalam dirinya, aku buru-buru bangun untuk meminta maaf sambil membungkukkan badan. Namun, si pria ketel tua malah meraih tongkat bantu jalan di samping kursinya, lalu mengayunkan ke atas, bersiap memukulku dengan tongkat itu. Aku bisa mendengar dengan jelas jeritan panik orang-orang yang meminta Hayashi-san untuk menghentikan aksinya.
“Tolol!” teriak Hayashi-san nyaring entah untuk kali keberapa. Ia menjatuhkan pukulan pertama ke punggungku. Sementara, aku yang sebelumnya sempat mendongak segera menyembunyikan wajah sedalam-dalamnya. Berharap pukulan itu tidak mengenai kepala.
Masih dalam posisi menunduk, kulihat Senior Ana bersama beberapa asisten perawat senior yang bertugas, segera mengevakuasi para lansia dari ruang rekreasi. Beberapa dari mereka terlihat cemas dan tidak tenang, beberapa sisanya ikut memekik histeris tak karuan. Bahkan, seorang lansia terus berteriak meminta pertolongan dengan panik.
“Aku membencimu!” jerit Hayashi-san masih dengan kemurkaan. Terdengar suara ayunan tongkat kayunya yang berat melawan arah angin. Sepertinya, amarahnya bertambah karena mendengar rintihanku barusan.