Semua orang di sini mengenal Hayashi-san. Pria tua cerewet dengan kepala botak yang seperti cerek, selalu penuh dengan air mendidih. Rasanya, tidak ada hari yang berlalu dengan damai jika Hayashi-san datang.
Entah hari apa pun itu, ketika dirinya datang, kedamaian akan berubah menjadi teriakan, keluhan, ataupun gerutuan yang sepertinya tersedia dengan jumlah tak terbatas di balik lidahnya. Tiada hari tanpa menggerutu. Si mesin penggerutu, begitulah beberapa dari kami menyebutnya.
Biasanya, Hayashi-san akan datang ke panti sebulan dua kali, pada minggu kedua dan keempat. Kemudian, dia akan menginap sekitar seminggu penuh. Namun, kini hal itu tidak berlaku lagi. Menurut gosip yang beredar, keluarga Hayashi-san sendiri sepertinya sudah lelah dengan tingkah menyebalkannya yang berada di atas rata-rata.
Akhirnya, semua bersepakat untuk membawa Hayashi-san ke panti dan tidak pernah membawanya pulang kembali. Tentu saja gosip ini hanya beredar di luar panti. Aku pun mendapatkan kabar ini dari tabloid berjalan panti, Ando. Lelaki yang kini berdiri tepat di depan pintu apartemenku.
Mungkin karena sebelumnya hanya bertugas untuk membersihkan dan membagikan teh, penganan kecil, ataupun handuk hangat, aku jadi tertinggal gosip-gosip itu. Andai Ando tidak bercerita padaku soal Hayashi-san, mungkin aku akan sangat-sangat malu ketika hal-hal di luar dugaan terjadi.
Seperti tadi, ketika akhirnya aku berhasil “naik pangkat” dan mendapat tugas untuk mengawasi para lansia di sif siang yang sedang mengadakan kegiatan rekreasi. Sayangnya, kebahagiaan yang seharusnya melingkupi siang hariku berubah menjadi genre thriller, tegang dan menakutkan. Persis seperti cuaca sore hari yang telah penyiar berita cuaca ungkapkan di televisi pagi tadi, bahwa suhu akan menjadi lebih dingin daripada siang hari.
Sambil melambaikan tangan canggung, Ando menurunkan sedikit syal yang melingkari lehernya, memperlihatkan hidung memerah dan uap napasnya yang terlihat sangat jelas akibat udara yang terlampau dingin.
“Ando Senpai? Apa yang kamu … masuk, ayo, masuk.” Aku mengurungkan niat untuk mempertanyakan keberadaannya di sini. Terlebih, ketika melihat badannya gemetar kedinginan karena pundak dan rambutnya diselimuti es tipis.
Aku menggeser tubuh, memberinya ruang untuk masuk. Sebagian tubuhku yang berada di area luar untuk menahan pintu, disambut oleh tiupan angin dingin di akhir bulan Desember. Ah, orang ini pasti sudah gila pergi ke luar dengan udara sedingin ini! pikirku, menahan gigi yang nyaris bergemeletuk.
“Permisi,” ucap Ando serak. Ia sibuk membersihkan pundak dan rambutnya. Sementara, aku sigap menutup pintu, sambil menggosok dan meniup telapak tangan yang kedinginan. Aku segera masuk, lalu menuju dapur. Ando pasti butuh sesuatu yang bisa menghangatkan tubuhnya.
“Senpai, Senpai bisa pakai sandal di situ, enggak perlu sungkan,” teriakku dari arah dapur.
Tak lama berselang, kulihat Ando sudah memasuki ruang tengah. Wajahnya menatap sekitar dengan tatapan kagum. Bibirnya membentuk huruf O kecil sambil mengeluarkan pekikan ekspresif yang menandai kekagumannya pada interior apartemen—meski sebenarnya tidak ada yang istimewa di sini.
“Maaf ya, ruangannya agak sempit.” Aku menyapa sambil meletakkan secangkir cokelat panas ke atas meja kotatsu. Satu-satunya benda yang dibutuhkan ketika musim dingin tiba.
“Ah, enggak, kok. Justru kayaknya aku yang udah bikin kamu repot. Lagi pula, apartemenmu cukup rapi.” Mata Ando berbinar menatap sekitar, lalu menuju kotatsu tua yang menghiasi bagian tengah ruangan yang kosong. Tangannya bahkan membelai bagian atas meja kotatsu seperti seorang anak kecil yang penasaran akan sesuatu.
“Jadi, ada perlu apa sampai Senpai repot-repot datang menerjang cuaca sedingin ini?” tanyaku mengembangkan senyum manis.