“Enggak mau nikah? Kamu ngomong apa sih, Mbak? Enggak usah ngomong macem-macem, pokoknya cepet pulang! Ibu udah nemuin cowok yang cocok buat kamu. Nanti Ibu kenalin, deh. Anaknya baik, kok. Kamu ketemu aja dulu. Ibu yakin kamu pasti suka, deh.”
Ketika aku membuka mata, cahaya matahari yang hangat menembus tirai jendela kamar. Riuh kicau burung yang bernyanyi gembira di luar, menyambut pagi hari yang cerah. Aku mengubah posisi tidur yang sebelumnya telentang menjadi miring ke kanan untuk melihat jam digital yang berada di nakas.
Aku terbangun dengan panik ketika melihat waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Namun, setelah sadar bahwa hari ini adalah hari Minggu, tubuhku kembali menjadi seperti es yang meleleh di atas tempat tidur.
Aku menatap langit-langit kamar yang penuh dengan stiker bintang yang bercahaya dalam gelap. Warnanya yang pucat perlahan memudar ketika aku membuka tirai. Stiker peninggalan senior yang sebelumnya menggunakan kamar apartemen ini memang sangat berguna. Bukan. Aku bukannya takut gelap atau bagaimana, hanya saja, aku pernah memiliki barang yang sama ketika masih sekolah dulu. Melihat barang yang familier, membuat perasaanku menjadi lebih tenang meski bukan berada di Indonesia.
Aku baru saja kembali merebahkan tubuh ke kasur ketika ingatan soal mimpi semalam kembali mencuat. Mengenai ucapan yang Ibu lontarkan sebelum kelulusan. Kenapa aku jadi mimpiin Ibu? Apa ini yang namanya homesick? Aku memutar tubuh hingga berubah menjadi setengah telungkup. Mengecek ponsel yang berada di sisi kiri tempat tidur dengan perasaan sedikit waswas.
Selama empat tahun lebih berkuliah di Semarang, aku tidak pernah sedikit pun mengalami homesick. Bukan, bukannya aku sama sekali tidak merindukan Ibu. Terkadang aku memang merindukannya. Bagaimanapun juga, Ibu adalah ibuku. Namun, kerinduanku kepadanya tidak pernah sampai membuatku mengalami homesick. Ketika waktu liburan tiba dan aku bisa pulang, pulang hanyalah kewajiban yang kulakukan supaya tidak menjadi seorang anak yang disebut durhaka.
Aku tidak pernah menghabiskan waktu lebih lama dari dua minggu meski liburan semester sampai sebulan panjangnya. Karena itu, tentu saja fenomena ini sedikit aneh untukku.
Baru saja aku akan memejamkan mata, bayang-bayang wajah Ibu yang murka membuatku kembali terjaga. Bagaimana kalau Ibu mengetahui kebohonganku? Bagaimanapun juga, kepergian ke Jepang adalah rencana yang memang datang atas keinginanku sendiri. Aku tidak ingin ada orang yang tahu ke mana dan di mana diriku berada. Dan, aku harus menjaga supaya segalanya tetap seperti itu.