“Ah, Jiji-chan! Selamat pagi,” sapa Senior Ana gembira sambil menepuk pundakku.
“Ah, selamat pagi, Ana Senpai,” balasku sedikit membungkuk.
Setelah berhasil menaklukkan udara yang lebih dingin di luar selimut, aku pergi mencuci muka dan sarapan. Sialnya, aku benar-benar lupa kalau hari Senin besok adalah jadwal pembuangan sampah berbahaya—baterai senter yang sudah habis—yang belum aku masukkan ke dalam plastik. Aku tidak boleh tertinggal atau harus menyimpan baterai itu selama sebulan karena jadwal pengambilan sampah berbahaya hanya sebulan sekali.
Karena itu, dengan perasaan malas, aku mengenakan baju apa saja yang tergantung dan pergi menuju konbini terdekat membeli kantong plastik sampah yang dibutuhkan. Tentu aku tidak lupa membeli kroket dan beberapa makanan yang sedang diskon.
Di tengah perjalanan pulang, aku mampir sebentar untuk membeli minuman hangat di jidouhanbaiki atau mesin penjual otomatis. Letaknya tidak persis di sebelah Himawari Roujin, tetapi mesin itu berdiam diri di bawah lampu pertigaan jalan. Karena masih searah dengan panti tempatku bekerja, sebenarnya tidak aneh kalau aku tidak sengaja berpapasan dengan teman satu kantor. Biasanya aku tidak sengaja bertemu Ando, tetapi kali ini aku bertemu Senior Ana yang sedang melintas.
Senior Ana memperhatikan penampilanku. Sweter kerah kura-kura ukuran besar cokelat muda berpadu dengan celana panjang wol pink pucat. Tidak lupa sepatu bot gelap, topi kupluk merah menyala, juga jaket tebal bulu angsa. Wow! Perpaduan yang sangat ... aneh. Aku bisa melihat itu dari tatapannya.
“Aku enggak tahu kalau hari ini sangat ... dingin ...?”
Aku bisa mendengar nada bicaranya yang lebih terdengar seperti keheranan di akhir kalimat daripada sebuah pertanyaan. Sementara, jika dibandingkan dengannya yang tampil modis dan sangat bergaya, tentu aku hanyalah badut seperti iklan game yang selalu memberikan pilihan salah pada tokoh utamanya.
“Ah ... aku belum terbiasa dengan cuaca di musim dingin seperti ini, Senpai. Aku takut sakit perut,” jawabku sambil mengusap area sekitar perut.
Senior Ana tertawa kecil melihat tingkahku. Merdu sekali. Seperti tokoh-tokoh anime anggun yang cantik dan memiliki banyak penggemar, lalu menjelma ke dunia nyata. Seperti itulah Senior Ana di mataku.
“Kau ini seperti para pasien kita saja, Jiji-cha—” Senior Ana memotong ucapannya sendiri dengan tertawa. Meski di sela-sela tawanya ia meminta maaf, tapi tetap saja membuatku sedikit dongkol. Ah, aku benci nama itu, ya Tuhan!
Namaku Azizah. A-zi-zah. Karena aku merasa nama itu sedikit kampungan dan tidak keren, aku memutuskan untuk mengganti panggilanku menjadi Zizi ketika masuk kuliah. Namun, berhubung dalam bahasa Jepang tidak ada bunyi “zi” aku terpaksa menggantinya menjadi “ji”.