“Selamat atas kelulusanmu ya, Azizah-san. Gimana? Udah lega belom?” goda Mona Sensei, dosen waliku, sambil mengembangkan senyum tulus di wajah.
Aku mengangguk dengan senyum yang tak kalah tulus. Setelah merasa tegang sampai perutku kram, sekarang aku merasa seperti orang yang berhasil membuang angin yang sebelumnya tertahan di dalam perut. Begitulah kira-kira aku mengungkapkan pendapatku pada Mona Sensei. Mendengar perumpamaanku, beliau memasang wajah jijik, lalu tertawa.
“Oh, ya, saya ada sesuatu buat kamu.” Mona Sensei memberikan sebuah brosur padaku. Aku menerima dan segera membaca isi yang tertera dalam brosur.
“Beasiswa untuk program Tokutei Ginou?” Aku memandang Mona Sensei. Menuntut jawaban lebih.
“Ini bukan dari kampus sih, tapi ada kenalan saya di sini.” Mona Sensei menunjuk ke arah tulisan yang tercetak tebal berbunyi Mirai Holdings. Kemudian, beliau memintaku untuk duduk. Karena aku memiliki banyak waktu luang—tentu aku punya revisi yang harus kukerjakan, tetapi aku akan menundanya untuk mendengar penjelasan lebih lanjut mengenai program yang Mona Sensei tawarkan.
Setelah berbincang bersama Mona Sensei selama hampir 40 menit, aku mendapati satu hal. Aku bisa pergi ke Jepang tanpa mengeluarkan biaya besar! Berbeda dengan jisshusei atau lebih dikenal dengan magang, tokutei ginou atau Specified Skilled Workers atau biasa disingkat SSW adalah izin tinggal yang bisa digunakan untuk bekerja di Jepang.
Orang dengan visa SSW akan memiliki hak dan kewajiban setara dengan pekerja asli Jepang. Jangka waktu kontraknya pun bisa diperpanjang sampai lima tahun. Kalau aku mengambil pelatihan ini, aku bukan hanya mendapat gaji lebih tinggi, tetapi juga hak seperti cuti dan tambahan ketika lembur yang setara dengan pekerja asli dari Jepang. Selain itu, Mona Sensei juga berkata bahwa beliau akan merekomendasikanku pada kenalannya itu. Sehingga, akan lebih mudah untukku diterima ketika interview nanti. Wow, mendengarnya saja aku sudah tergiur.
Pergi ke Jepang, ya. Sudah lama aku menginginkannya. Teman-teman kuliahku banyak yang sudah menapakkan kaki mereka di negeri sakura itu. Mulai dari mengikuti program beasiswa untuk sejenis summer school, sampai program menjadi volunteer. Sejujurnya, aku merasa iri melihat mereka yang bisa berangkat tanpa beban. Sementara, aku hanya berada dalam dunia kecil yang segalanya sudah diatur oleh Ibu, termasuk target usia menikah.
“Dulu Ibu udah nikah seumuran kamu, Mbak. Sekarang kan, kamu udah 22 tahun. Udah waktunya nikah. Perempuan itu enggak boleh nikah tua. Keburu peyot! Nanti laki-lakinya masih kuat, perempuan udah letoy. Perempuan itu beda sama laki-laki,” ceramah Ibu panjang lebar ketika aku meneleponnya sepulang dari kampus. Lihat, aku bahkan belum menceritakan soal program yang Mona Sensei tawarkan kepadaku, tetapi ceramah Ibu sudah lebih panjang daripada KRL 12 gerbong!
“Tapi, aku kan, juga mau kerja dulu, Bu. Mau punya karier juga kayak temen-temenku itu, loh. Mereka pada ke Jepang, Bu.”