Aku memandang tiket kereta di tangan dengan perasaan cemas. Sambil beberapa kali merutuki diri akibat kebodohan yang sudah kulakukan.
Oke, aku memang sudah merutukinya sejak kembali dari kampus setelah pertemuan dengan Mona Sensei. Namun, bukannya menghentikan langkah karena hal yang sudah pasti akan terjadi di depan nanti, aku justru melanjutkan langkah menuju risiko tak terbatas dengan pembelaan berupa balutan tekad untuk kabur semata.
Kalian boleh mengutuk, mentertawakan, mengejek, atau apa pun yang kalian suka. Namun, aku tidak akan gentar. Aku akan pulang ke Jakarta dan membujuk Ibu—yang sepertinya tidak akan bisa dilakukan—supaya ia mengizinkanku untuk pergi ke Jepang.
Dari penjelasan yang Mona Sensei berikan kemarin, program ini berupa beasiswa swasta yang diberikan pada anak-anak muda yang lolos seleksi untuk diberangkatkan dan bekerja di Jepang sesuai dengan pilihan kariernya masing-masing. Biaya lainnya akan tetap ada. Jika kesulitan secara keuangan, pihak lembaga akan memberikan dana pinjaman yang Mona Sensei sebut sebagai “dana talangan” pada siswa yang memiliki permasalahan seputar dana. Pembayaran akan dipotong dari gaji yang nantinya diterima setelah kerja di Jepang.
Sejak mendengar hal itu saja, aku merasa kalau program ini memang diciptakan untuk orang-orang sepertiku. Aku tahu budaya kerja di sana akan sangat berbeda dengan di Indonesia dan pastinya akan sedikit berat karena harus ada penyesuaian budaya dan kebiasaan lain-lain.
Namun, aku merasa telah menjadi seperti gadis yang jatuh cinta. Tidak mampu berpaling ke hati yang lain. Akhirnya aku paham bagaimana perasaan sejoli yang selalu meneriakkan slogan: bahkan untukmu, luasnya samudra pun akan kuseberangi!
Kenapa? Tentu saja karena saat ini aku berada di tempat yang sama dengan mereka. Bedanya, kalau mereka berada di atas perahu, sedangkan aku di dalam gerbong kereta.
Aku menatap sekitar dengan gugup dan cemas. Aku tahu akan mendapat masalah setelah kereta tiba di Jakarta nanti. Bisa dibilang, ini adalah delapan jam sebelum masalah besar datang kepadaku. Karena itu, aku ingin menikmati perjalanan dengan tenang—meski kalau dilihat lagi, gerbong sudah hampir penuh. Namun, aku tetap berharap tidak ada orang lain yang duduk di sebelahku.
Sialnya. Belum sampai satu menit aku melangitkan doa, orang itu datang. Pria tua yang banyak bicara. Aku bahkan harus meladeninya mendengar cerita selama dua jam pertama sejak kereta berangkat. Karena tidak ingin merasa lebih lelah, aku sengaja tidur ketika akhirnya pria tua itu menjeda ceritanya cukup lama karena sedang fokus membalas pesan di ponselnya.
Kegugupanku semakin parah ketika kereta sudah hampir memasuki peron Stasiun Pasar Senen. Tangan dan kakiku terasa sedingin es. Perutku melilit. Napasku bahkan sudah mulai tercekat. Tekanan dari Ibu memang tidak main-main. Karenanya, aku memutuskan untuk duduk di pinggir lorong untuk menenangkan diri sebelum berpindah peron dan naik KRL sampai ke stasiun terdekat dari rumah.
Sesuai perkiraan, aku tiba di rumah pukul delapan pagi. Terlihat Ibu dengan atasan mukena membawa mangkuk berisi lontong sayur hendak masuk pagar.