“Udah berani kamu ngelawan Ibu? Ngerasa jadi jagoan kamu, hah?”
Tepat seperti dugaanku, Ibu akan memberikan serangan pertama yang dahsyat. Suara Ibu menggelegar hebat, bahkan mungkin melebihi sound system hajatan tetangga versi paling kencang. Namun, aku yang hanya membawa harapan kecil ini tak boleh gentar!
“Bukan gitu, Bu. Ibu dengar aku dulu dong, makanya.”
“Kalo dikasih tahu orang tua itu dengerin! Bukannya sok tahu! Kamu itu lahir dari sini! Ibu ini hampir mati waktu ngelahirin kamu! Mana terima kasihmu!” Ibu terus menjerit sambil menunjuk-nunjuk tempat aku akhirnya bisa terlahir dan melihat dunia.
Mendengar ucapan Ibu, membuat sesuatu dalam diriku ikut tersulut dan meledak. Dua puluh dua tahun! Dua puluh dua tahun aku terus menuruti keinginan Ibu. Apa sulitnya mendengarkan sedikit saja keinginanku? Apa Ibu tahu apa yang telah kulalui? Apa Ibu tahu bagaimana perasaanku ketika orang-orang membicarakan perceraiannya dengan Ayah?
Aku ingin membombardir Ibu dengan semua perkataan itu. Namun, bibirku seperti terkunci, lidahku berubah kelu. Kepalaku deras dengan pertanyaan demi pertanyaan yang diawali dengan kata kenapa. Kenapa hanya anak yang harus selalu menuruti keinginan orang tua? Kenapa hanya anak yang selalu salah, sedangkan orang tua tidak? Kenapa harus orang ini yang menjadi ibuku?
Aku berusaha sangat-sangat keras menahan diri supaya tidak meninju wajah Ibu yang menurutku lebih menyebalkan daripada wajah mengejek antagonis dalam game Angrybird. Beruntung akal sehat kembali mewaraskanku. Andai aku menyerahkan permasalahan ini pada hati, aku yakin kisah ini akan menjadi kriminal kejam dengan headline-headline mengerikan seputar anak durhaka yang mengirim ibunya ke pangkuan Tuhan.
Aku menyandarkan punggung pada kepala sofa. Mengatur napas yang hampir saja memperlihatkan kemarahanku. Semua akan kacau jika itu benar-benar terjadi. Sementara Ibu masih menungguku sambil menyelesaikan suapan terakhir, aku berdeham untuk mengatur nada yang pas. Terlalu rendah akan membuat Ibu merasa menang, terlalu tinggi akan membuat rencana gagal.
“Maksudku tuh, gini loh, Bu ... dosenku kan, ngasih rekomendasi nih, ini bakalan jadi kesempatan bagus buat karierku—”
“Kamu itu perempuan, Mbak! Perempuan itu beda sama laki-laki. Nikah dulu, baru bangun karier. Kalo nunggu kariermu bagus baru nikah, enggak bakal ada laki yang mau. Udah peyot!”
Aku memejamkan mata erat-erat, kembali mengatur napas supaya tidak kena sulutan bara emosi lagi. Setelah tiga kali menarik napas panjang, aku membuka mata perlahan. Ibu sudah tidak lagi duduk di hadapanku. Sambil membawa gelas besar yang sebelum ini isinya sudah kutandaskan ke perut, ia asyik memilih-milih teh celup mana yang akan diseduhnya sambil bersenandung riang.
Aku benar-benar tidak mampu mengikuti perubahan mood Ibu yang berubah secepat kilatan petir Sonic. Apa memang produk zaman penjajahan secepat itu beradaptasi emosinya?
“Bu ....” Aku beranjak dan menyusul Ibu yang sudah selesai dengan pilihan tehnya. Sambil meletakkan cangkir di bawah pipa dispenser dengan sedikit bantingan, Ibu kembali menoleh padaku dengan wajah menakutkan.
“Apa lagi? Kamu kan, udah Ibu kuliahin. Apa di kuliah belajar ngelawan orang tua?”