Hari sudah menjelang malam. Aku baru saja selesai memilah-milah sampah dan memasukkan setengah tubuh ke kotatsu ketika ponsel berdering. Mulanya, tidak kuhiraukan sama sekali. Lagi pula ini hari Minggu, waktunya untuk libur dan beristirahat dengan tenang. Namun, dering itu tidak selesai dalam tiga kali pengulangan ringtone, seolah-olah memintaku untuk tidak mengabaikannya.
Dengan malas, aku yang saat itu baru beberapa menit menikmati kehangatan kotatsu, merangkak menerjang udara dingin untuk menuju kamar. Satu hal yang selalu menjadi culture shock untukku sejak pertama kali sampai di Jepang, yaitu cuaca musim dingin. Aku tidak menyangka cuacanya akan sedingin ini. Ini jelas berbeda dengan dingin ketika musim hujan di Indonesia.
Setelah mengintip suhu di termometer ruangan yang tertempel di dinding sebelah pintu kamar, aku menggerutu. Suhunya memang sedikit turun daripada biasanya. Entah karena cuaca bertambah dingin atau alat pemanas yang sedikit rusak. Aku bisa saja menyalakan pemanas ruangan bawaan apartemen, tetapi itu akan memakan biaya yang besar. Ini baru bulan Desember. Dengar-dengar, cuaca akan bertambah dingin di bulan Februari nanti. Dengan alasan itu, aku memutuskan berhemat. Terlebih, gaji akan dipotong untuk membayar dana talangan. Memang sih, pihak yayasan menyediakan apartemen gratis, tetapi tidak dengan biaya listrik, air, dan gas.
Tanpa mengacuhkan dering telepon yang akhirnya berhenti, tanganku saling memeluk, lalu mengusap-usap lengan dengan kecepatan yang membuat keluarnya hawa panas karena gesekan antar kulit. Aku berguling ke kasur. Merayap ke atas selimut yang menutupi kasur pegas, baru setelah itu meraih ponsel yang tergeletak di atasnya. Kemudian, membaca nama penelepon yang tertera di bagian depan.
Ando? Untuk apa lelaki itu menelepon? Aku tidak berniat meneleponnya kembali dan meletakkan ponselku ke sembarang arah. Aku menelentangkan tubuh. Memandangi langit-langit kamar. Suasana yang sunyi membuat pikiranku melayang ke mana-mana.
Ah, rasanya ini tidak benar. Apa Ando punya ketertarikan kepadaku? Yah, aku memang sedikit mencurigai hal ini. Maksudku, Ando memang baik. Bahkan mungkin keramahannya padaku terhitung sedikit lebih banyak daripada masyarakat Jepang kebanyakan. Ia juga lelaki yang lembut. Bahkan, sejak aku datang ke Himawari Roujin pusat, hanya Ando yang tidak meneriakiku. Namun, mengingat perlakuannya itu membuatku ... benar-benar merasa sesak.
“Gue sayang sama lo, Ji. Gue bakal ngelindungin lo dari orang-orang yang berniat jahat sama lo.”
Tiba-tiba saja, kalimat itu menyeruak keluar, bersamaan dengan ingatan-ingatan mengenai kenangan manis pada masa awal pertemuanku dengan orang itu. Aku ingat saat kali pertama kalimat itu terlontar, aku merasa menjadi orang paling bahagia di dunia. Untukku yang tidak memiliki figur ayah sejak dini, mendapat cinta dari lawan jenis adalah impian indah yang menjadi nyata.