“Selamat pagi, Jiji-chan!” Senior Ana menepuk punggung tersenyum manis. Aku membalas salamnya canggung dengan menganggukkan kepala kecil. Kami bertemu ketika memasuki halaman gedung Himawari Roujin. Namun, wajahnya terkejut sekaligus bingung. Mungkin karena melihat lingkaran hitam yang berhasil menguasai mataku sejak tadi pagi.
Setelah berhasil menutup mulutnya yang sempat membuka karena tercengang, Senior Ana kembali mengatur wajahnya dengan senyum rikuh. “Soal kemarin, maafin aku, ya. Aku udah ketawain kamu,” cetus Senior Ana. Meski isi ucapannya adalah permintaan maaf, terlihat bibirnya sedikit bergetar dengan kedua ujungnya yang tidak bisa diam karena menahan tawa sekuat tenaga. Sementara, aku yang melihat itu semua hanya bisa menghela napas pendek.
“Iya, enggak apa-apa, Senpai. Senpai boleh panggil aku apa pun yang Senpai suka. Yah, walaupun Ajiza kedengarannya lebih bagus,” ujarku seraya melipat lengan di dada sambil menganggukkan kepala kecil.
Senior Ana kembali tertawa. “Jadi, menurutmu mana yang lebih baik? Aji[1] atau Jiji?”
“Ya ampun, Senpai! Senpai masih akan lanjutin perdebatan konyol ini?”
Senior Ana kembali tertawa keras sambil menepuk pundakku. “Ah, memanggil namamu jadi seperti permainan shiritori[2] saja,” ujarnya masih mempertahankan tawa yang semerdu burung pipit. Aku yang sebelumnya memasang wajah cemberut, akhirnya ikut tertawa. Kami lantas masuk bersama.
“Ah, ya, Senpai. Apa yang Senpai lakukan kemarin? Aku enggak tahu Senpai ada sif di hari Minggu.” Aku mengetuk kartu ke arah mesin absensi. Setelah itu, kembali menyejajari langkah Senior Ana sambil berlari kecil.
“Kemarin?” Senior Ana berhenti tepat di depan pintu ruang para staf, lalu membuka pintu sambil menggumam, “Ah! Kemarin ada pegawai yang baru masuk lagi. Karena Pak Kepala Akira tidak di tempat, jadi aku yang menerimanya.”
“Wah! Apa ada kaigo baru lagi? Apa dia orang Indonesia?” tanyaku antusias.
Tentu saja aku antusias! Dari delapan orang yang diberangkatkan, hanya aku dan seorang teman kuliah, Fera, yang lulus sebagai kaigo. Sayangnya, Fera ditugaskan untuk cabang Tokyo yang memiliki pasien sangat banyak.
Sementara, aku ditugaskan untuk cabang Osaka. Meski saat itu baru buka sekitar tiga bulan, cabang di Osaka sudah menerima 30 orang pasien—dan akan terus bertambah—dengan pekerja yang hanya berjumlah 15 orang termasuk staf di dapur. Jadi, jangan ditanya bagaimana repotnya kami.
“Orangnya baru masuk besok. Kita tunggu saja kedatangannya, ya.” Senior Ana mengedipkan sebelah mata, lalu segera mengganti pakaian dan bersiap untuk memulai hari. Langkahnya cepat dan strategis. Bahkan tangan dan matanya sigap membaca dan membalik dokumen berisi laporan yang dituliskan oleh sif malam.