Dunia Kecil Jiji

Nuha Azizah
Chapter #11

Bab 11 Prasangka

“Eh?”

Seorang bocah lelaki berdiri tepat di sebelahku. Tangannya menunjuk ke arah roti melon yang sedang kupegang.

“Astaga, Sho-chan! Apa yang kamu lakukan? Kamu enggak boleh kayak gitu! Maaf, maaf, tolong maafkan kelakuannya!” Perempuan tua yang sedari tadi duduk menatap lampu bintang, kini panik menunduk meminta maaf setelah berhasil menarik bocah lelaki yang terlihat ingin melompat menerkam roti melonku. 

“Ah, iya, enggak apa-apa ...,” balasku ikut menunduk. 

Perempuan itu kemudian menarik paksa lengan si bocah. Namun, bocah itu merengek. Badannya menggeliat, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman si perempuan yang menyeret ke bangku sebelah. Ia bahkan menjerit seraya mengatakan bahwa neneknya jahat seperti ayah dan ibunya. 

Perempuan itu membentak Sho. Kali ini wajahnya memerah dengan mata berkaca-kaca. Namun, Sho tetap menangis, meminta perempuan tua itu melepaskan cengkeraman tangannya. 

“Ah, anu, kalau tidak keberatan, kamu boleh memakan ini,” ujarku akhirnya, tidak tega mendengar jeritan Sho. 

Mata sang nenek yang sebelumnya hanya berkaca-kaca, kini berubah menjadi berderai air mata. Aku terkejut. Aku tidak ingin jika ada yang lewat dan berpikir kalau aku sudah melakukan hal yang tidak semestinya. Karena itu, aku buru-buru mencari saputangan, tisu, atau apa pun yang bisa kutemukan di saku, lalu memberikannya pada sang nenek seraya menanyakan apakah dirinya baik-baik saja?

“Udahlah, Tante. Nenek lagi banyak nangis soalnya habis ditipu Mama sama Papa. Bukan salah Tante,” ujar Sho polos. Sementara, aku memelotot tak percaya dengan ucapannya. 

“Tan-tante? A-aku keliatan tua banget emang?” gumamku terkejut. Aku baru saja akan melayangkan protes ketika mulut mungil Sho penuh dengan roti melon yang baru digigit. Setelah kunyahan pertama tertelan dengan baik, matanya terlihat berbinar memandang sang nenek. 

Nee, obaa-chan[1]! Roti ini enak banget! Kriuk-kriuk ini rasanya manis, waktu kugigit, manisnya bikin mulutku penuh, loh! Oh, oh, rotinya juga lembuuut! Fuwa-fuwa dayo ne[2]!” jerit Sho girang masih dengan mata berbinar. Telunjuknya menunjuk bagian atas roti melon yang terlihat renyah dan menggiurkan. 

Seyana[3] ... enak banget, ya ...,” balas sang nenek dengan wajah terharu. Sang nenek kemudian meraih kedua tanganku sambil menepuk-nepuknya lembut. “Terima kasih, gadis baik. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu. Akan kubalas satu hari nanti.”

Aku buru-buru menarik tangan seraya mengatakan bahwa mereka tidak perlu membalas apa-apa. Aku sadar kemudian bahwa waktuku tak lagi banyak. Karena itu, aku buru-buru pamit dan membawa kembali cokelat hangat yang sebelumnya kubeli. Setelah berada di aula, aku memandang cokelat itu seraya menarik napas dalam. Sambil tertawa getir, aku meneguk habis cokelat itu. Ah, bodoh sekali aku! Makan siang satu-satunya sudah kuberikan begitu saja pada anak tadi. Perutku lapar. Sekarang, aku harus makan apa? 

Aku sibuk memikirkan bagaimana cara mendapat makan siang di waktu 25 menit terakhir sebelum pekerjaan kembali dimulai. Ketika itulah, aku merasa seseorang menepuk pundakku lembut. Aku menoleh dan mendapati Ando berdiri di sana. 

Lihat selengkapnya