“Ijaaah!” jerit Anza melambaikan kedua tangannya ceria. Anza berlari mendekat ketika melihatku muncul.
“Hai ...,” sapaku canggung. Kalau dihitung-hitung, sudah hampir 10 tahun lebih sejak lulus SD, artinya kali terakhir aku bertemu dengan Anza sudah selama itu. Ya, memang reuni SD selalu diadakan setiap tahun ketika Ramadan tiba. Namun, aku sendiri hanya datang sebanyak tiga kali. Setelah itu, aku memutuskan untuk tidak datang lagi.
Aku tidak pernah memperhatikan apakah Anza datang atau tidak. Ketika datang ke acara reuni, aku merasa orang-orang selalu menghindar dan tidak ingin bicara denganku. Mereka akan berkelompok dengan orang yang dekat dengan mereka ketika SD, lalu tidak mengacuhkan yang tidak mereka kenali dengan baik.
Aku sendiri tidak berminat untuk bicara dengan mereka. Aku hanya datang untuk menghindari Ibu di rumah. Coba bayangkan! Dengan hubungan yang seperti itu, bukankah menjadi sedikit aneh ketika Anza tiba-tiba menelepon dan meminta tolong?
Namun, yang terjadi sekarang adalah gadis itu berlari ke arahku dengan senyum semringah, lalu memelukku sambil menjerit-jerit seolah-olah kami adalah teman lama.
“Ih, gila! Kangen banget gue sama lo, Jah! Lo sekarang ... kayaknya happy ya, berisi deh, badan lo!” ujar Anza memperhatikan dari bawah ke atas, lalu memukul pelan pundakku sambil tertawa ringan.
Aku hanya tersenyum kecut merespons candaannya. Sayangnya, Anza sepertinya tidak memperhatikan makna dari senyumku. Gadis itu terus saja berceloteh mengenai bagaimana ia mendapatkan nomor kontakku dari Nissa, salah satu teman SD kami. Ia bahkan tahu Nissa dan aku satu kosan. Ia terus berkata bahwa ia sangat berterima kasih pada Nissa karena telah mempertemukanku dengannya.
Setelah puas mendengar celotehan panjang lebar tentang Nissa, aku segera mengeluarkan Kartu Tanda Mahasiswa yang dibutuhkan untuk akses masuk ke perpustakaan universitas yang Anza ingin datangi, Widya Puraya. Mata Anza terlihat berbinar. Ia menyalamiku sambil melompat kecil karena kegirangan.
“Thank you, thank you, super thank you loh, Jah! Lo tuh emang life saver gue banget, Jah!”
“Iya, iya, ya udah, yuk, masuk. Keburu jam makan siang. Nanti nunggu bukanya lagi lama.” Aku menarik tangan yang masih berada dalam genggaman Anza. Dengan lembut tentu saja. Meski aku tidak terlalu menyukainya, sopan santun adalah unggah-ungguh pertama yang harus selalu diterapkan dalam kehidupan.
Aku berjalan mendahului untuk mengisi buku tamu yang berada di bagian informasi perpustakaan, sedangkan Anza menunggu di depan pintu ruang loker. Setelah selesai menulis, petugas memberi kunci loker untuk kami meletakkan ransel ataupun barang-barang. Setiap mahasiswa hanya diperbolehkan membawa buku yang akan dikembalikan, kartu perpustakaan, kartu tanda mahasiswa, buku catatan, alat tulis, juga barang-barang berharga yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja di loker.
Usai menyimpan barang-barang, kami naik ke lantai dua, tempat peminjaman buku. Anza memilih tempat duduk di ujung ruangan. Meski jauh dari pintu masuk, tempat duduk di ujung ruangan dekat dengan rak-rak berisi buku yang katanya ia butuhkan. Aku tidak terlalu sering ke perpustakaan universitas ini karena perpustakaan fakultas sudah cukup menunjang. Ditambah, tidak banyak buku-buku berbahasa Jepang yang bisa digunakan untuk referensi pembelajaran. Selama empat tahun berkuliah pun, semua buku pelajaran berbahasa Jepang disiapkan sendiri oleh jurusan. Karenanya, perpustakaan universitas bukan pilihan terbaik ketika mencari referensi buku.
Kembali ke persoalan tempat duduk. Meski jarang datang kemari, aku pernah setidaknya beberapa kali ke sini untuk tugas di luar mata kuliah bahasa Jepang. Dan, memang kursi di bagian ujung jarang disentuh. Aku tidak tahu apa alasannya, asumsiku pribadi, mungkin memang jarang diduduki karena selain berada jauh dari pintu masuk, terlalu dekat dengan jendela bagian belakang gedung. Sehingga, cahaya matahari langsung menyorot kursi-kursi di bagian ujung ini.
Anza sepertinya tidak keberatan dengan sorot matahari, begitulah pemikiranku di awal waktu sampai ketika tiba-tiba saja Bebi datang menyusul. Mereka memperagakan gerakan cipika-cipiki sambil sedikit bergenit ria layaknya kawan lama yang hampir tidak pernah jumpa. Sementara, aku hanya terbengong, lalu memajukan setengah badan ke tengah meja, “An, kata lo Bebi enggak bisa dihubungin?”
“Oh, iya, emang enggak bisa. Tapi, pas tadi kita masuk perpus itu, pas gue nunggu di depan loker, chat gue masuk ke Bebi. Terus dia bales—”