“Minna, otsukaresamaaa[1],” ungkap Senior Ana dengan suara lesu. Aku mengekor di belakangnya. Kami baru saja selesai melakukan asistensi makan siang dan menyerahkan para pasien yang memiliki jadwal untuk dimandikan pada sif siang. Setelah memastikan pasien—yang sudah mandi atau tidak memiliki jadwal mandi di siang hari—kembali ke kamarnya untuk tidur, kami kembali ke ruang staf untuk beristirahat sejenak sambil menginput data ke komputer.
“Ossu[2], Senpai. Capek, ya?” tanya Moe menyambut kami dengan wajah yang terlihat seperti mayat hidup.
“Ah, benar-benar mau mati rasanya! Punggungku rasanya nyaris patah,” balas Senior Ana menjatuhkan setengah badan di atas meja. Sementara, aku hanya tertawa kecil menuju meja kerja.
“Ne, Jiji-chan. Setelah ini, tolong kamu cuci peralatan unit. Ah, dan jangan lupa dengan linen kotor, ya.” Senior Ana bahkan tidak mengangkat kepalanya. Ia hanya menoleh, lalu kembali ke arah sebaliknya. Sebagai junior yang baik, tentu saja aku iyakan semua perintah senior. Tidak, ini bukan mencari muka, kalian bisa menyebutnya sebagai “dedikasi penuh dari jiwa dan raga”.
Karena belum bisa dilepas untuk melakukan asistensi makan seorang diri, pekerjaan Senior Ana menjadi dua kali lebih banyak, mengajar sekaligus mencontohkan kepadaku. Mungkin, semua orang bisa membedakan siapa yang paling ringan pekerjaannya hari ini, tentu saja aku. Meski sama-sama merasa lelah, aku masih bisa menyunggingkan senyum, berbeda dengan Senior Ana dan dua orang rekan lainnya. Mereka hanya bisa menjatuhkan tubuh mereka di atas meja seraya menghela napas berat.
Setelah beres menginput data yang tadi pagi belum selesai, aku bergegas menuju ruangan tempat mencuci dan membersihkan peralatan makan sambil mempersiapkan minuman dan kudapan untuk kegiatan minum teh sore. Aku masih kesulitan memahami huruf kanji yang tertera pada lembar petunjuk yang ditempel. Namun, Senior Ana bilang, aku tidak perlu mengetahui arti keseluruhan tulisan, yang penting aku bisa memahami makna petunjuknya terlebih dahulu.
Aku juga selalu mengingat apa yang disampaikan Ando ketika mengajariku cara membuat minuman. Ingat ya, Jiji-chan, tidak semua pasien bisa mengunyah dan menelan dengan baik. Karena itu, kita perlu ini untuk mengentalkan minumannya untuk mengurangi risiko tersedak. Begitulah kira-kira ucapan Ando waktu itu. Kalian merasa heran kenapa aku menggunakan kata “kira-kira”?
Biar kuberi tahu kesulitanku ketika pertama kali tiba di sini. Tidak peduli kamu lulusan Sastra Jepang mana atau sudah berhasil meraih sertifikasi N2 atau belum. Ketika kalian pergi ke negeri lain, tentu cara bicaranya lebih mengerikan daripada seorang native. Di Jepang, selain tempo, mereka juga memiliki hatsuon, intonasi bicara yang membuat makna dari sebuah kata berubah drastis.
Masalah lainnya adalah kebiasaan mereka menyingkat kata. Seperti ketika aku terbengong-bengong mendengar kebiasaan mereka menyingkat sapaan ohayou gozaimasu[3] menjadi oha. Atau, bagaimana cara mereka menggunakan kata yabai yang seharusnya bermakna oh, tidak, celaka! atau sesuatu seperti itu, tetapi mereka bisa menggunakannya ketika memberi tahu bahwa makanan yang mereka makan terasa sangat lezat. Dan, ini hanya satu dari sekian banyak culture shock yang menyerangku.
Belum lagi banyaknya jenis huruf yang harus dihafalkan, nama yang sama dengan orang berbeda, juga budaya hidup lainnya yang jauh berbeda. Dari semuanya, yang paling membuat otakku berpikir keras adalah ketika mereka menggunakan japanlish atau bahasa Inggris dengan cara bicara bahasa Jepang. Kalian tidak akan menemukan McDonalds di Jepang, tetapi kalian bisa menemukan Makkudonarudo atau mereka lebih suka menyingkatnya menjadi makku saja.
Ya, kurang lebih seperti kita mengatakan anjir pada segala situasi. Masyarakat Jepang—dan kupikir hampir bahasa slang di seluruh dunia juga memiliki penggunaan yang serupa—juga memiliki kata yang bisa diubah menjadi bahasa slang dan menggunakannya dalam konteks tertentu. Belum lagi, ketika seseorang berbicara menggunakan logat. Logat Kansai tidak berbeda jauh dengan bahasa sehari-hari yang kupelajari, tetapi karena intonasinya berbeda, aku jadi selalu ingin membalik meja dan melemparnya pada orang yang bicara!
Oke, kembali ke kegiatanku. Setelah selesai dengan kudapan dan teh sore, aku melanjutkan pekerjaan lainnya, yaitu mencuci handuk dan celemek yang kotor ke mesin cuci untuk digunakan lagi esok hari. Setelah itu mengumpulkan linen yang kotor untuk diambil pihak penatu, menjemur cucian, dan melipat cucian yang sudah kering.