Sakabe-san sepertinya terbawa suasana. Tangannya kembali menggebrak meja. Namun, kali ini menjadi lebih dramatis karena Mitsuyoshi-san dan Midori-san sampai membuat ekspresi seolah-olah mereka berdua adalah perkumpulan ibu-ibu kompleks yang baru saja mendengar sebuah gosip teranyar.
Suara memekik mereka bahkan menandakan perasaan tidak percaya atas peristiwa yang terjadi. Sedikitnya, aku merasa sedikit lucu karena sebenarnya merekalah yang membawa berita ini padaku, tetapi justru wajah mereka yang terkejut.
“Benarkah? Aku tidak pernah mendengar apa pun tentang itu,” balasku menahan tawa. Siapa pula yang tidak geli. Seorang perempuan muda bergosip dengan tiga orang perempuan tua. Membicarakan seorang pria tua menyebalkan yang “dibuang” oleh keluarganya dengan menggunakan bahasa Jepang sambil melipat cucian.
“Enggak, enggak. Itu beneran terjadi. Aku dan Sakiko melihatnya sendiri!” Mitsuyoshi-san menunjuk matanya menggunakan kedua telunjuknya, lalu menunjuk Sakabe-san yang mengangguk-angguk dengan raut serius.
“Kamu juga lihat sendiri kan, Natsuko?” tanya Sakabe-san menoleh ke arah Midori-san. Midori-san yang sejak tadi hanya diam saja ikut mengangguk serius.
“Benar! Kemarin aku melihat Hayashi-san berdebat dengan istrinya di depan lobi. Suasananya ribut. Semua orang turun tangan. Ah, kasihan sekali Sho-chan.” Midori-san bercerita dengan dramatis.
“Wah, tentu saja ini kisah yang menarik. Mungkin akan semakin menarik bila dilanjutkan setelah pekerjaan selesai. Bukan begitu, Jiji-chan?” Senior Ana tiba-tiba saja muncul tepat di belakangku dengan senyum yang sedikit menakutkan.
“Sakabe-san, Mitsuyoshi-san, Midori-san, kudapan sore sudah siap. Kalian pasti tidak ingin membuat semua orang menunggu, bukan? Teh kalian akan segera dingin. Mari, saya bantu,” tawar Senior Ana lagi yang buru-buru ditolak oleh ketiga jompoers tersebut.
Andai saja Senior Ana tidak datang dan menegur, aku pasti bisa mengetahui kisah lanjutannya Hayashi-san. Sayang, Senior Ana yang kebetulan lewat, kebetulan menemukan kami bergosip, dan kebetulan melihatku bersantai, datang mendekat tanpa kami sadari. Sehingga, dalam hitungan detik, kami segera membubarkan forum dadakan mengenai Hayashi-san.
Ketiga jompoers itu pun pamit dan mengundurkan diri perlahan-lahan. Meninggalkan aku yang menunduk karena ditatap dengan pandangan Senior Ana yang seperti ingin menerkam. Setelah mereka meninggalkan ruang mencuci peralatan unit, Senior Ana menghela napas panjang, lalu memandangku tajam.
“Kali ini anggap kamu beruntung. Lain kali, aku tidak akan melindungimu kalau Pak Kepala yang menemukanmu. Jadi, sebaiknya, kamu tidak mengulanginya lagi, Jiji-san!” tegas Senior Ana. Setelahnya, aku meminta maaf dan merasa sangat malu.
Aku menghabiskan waktu yang tersisa sebelum pulang dengan ikut membantu membungkus kado untuk acara tukar kado para pasien esok. Tentu saja semua pihak yayasan yang menyediakan. Kami berencana akan menggunakan kostum Sinterklas. Bernyanyi bersama para pasien, mempersembahkan drama pendek, juga memberi kado untuk mereka yang menghabiskan waktu Natal di Himawari Roujin.
Pukul empat sore, sifku akhirnya berakhir. Sekitar lima langkah setelah keluar gedung, aku mendengar seseorang memanggil. Yah, aku tidak perlu menengok untuk tahu kalau orang itu adalah Ando. Selain Pak Kepala Akira, hanya Ando pegawai dengan jenis kelamin laki-laki yang bekerja bersamaku. Mungkin ada orang lainnya, tetapi hanya dua orang itu yang akan memanggilku dengan sebutan “pria tua”.
Dengan perasaan setengah malas, aku menoleh. Biar kuingatkan, ini bukan cari muka, ini adalah dedikasi sepenuh jiwa dan raga untuk menghormati senior apa pun kondisinya!