Dunia Kecil Jiji

Nuha Azizah
Chapter #17

Bab 17 Identitas Kakek Sho

“Kamu enggak apa-apa, Jiji-chan?” Sakabe-san yang duduk paling dekat dengan tempatku terjatuh langsung berdiri dan mendekat. Begitu juga Senior Ana. Acara diambil alih oleh Moe dan Saki, mereka mencoba mengembalikan suasana yang sebelumnya tegang menjadi cair.

“Enggak apa-apa, kan? Biar saya saja, Sakabe-san. Sakabe-san silakan duduk kembali,” ujar Senior Ana seraya meraih tangan dan membantuku bangun. Setelah memastikan bahwa aku baik-baik saja, Sakabe-san kembali ke tempatnya. Sementara, Senior Ana membawaku keluar ruangan.

“Kamu mau ke klinik dulu untuk memeriksakan diri?” tanya Senior Ana memandang cemas lecet di siku akibat benturan keras dengan kursi.

“Ah, kalau diizinkan. Aku akan beristirahat dulu 15 menit.”

“Baiklah. Istirahatlah terlebih dahulu. Ando akan datang sebentar lagi. Biar dia menggantikanmu di ruang rekreasi. Kamu mengatur persiapan makan bersama saja ya, Jiji-chan.”

Aku mengangguk. Setelah itu, Senior Ana kembali memasuki ruangan. Sejujurnya, aku merasa sangat malu. Sudah tiga bulan bekerja, aku bahkan masih tidak mampu menangani Hayashi-san. Semua rekan-rekanku memang sangat baik, tetapi aku merasa seperti potongan cabai yang menyelip di gigi, yaitu sebuah gangguan yang menyebalkan. Sama seperti yang dikatakan oleh seniorku di Tokyo dulu.

Aku tidak ke klinik dan memilih untuk mencuci lukanya saja, menempelkan plester, lalu kembali membantu persiapan untuk makan bersama para keluarga pasien nantinya. Tidak sampai 30 menit, sif siang sudah datang membantu. Aku tidak melihat Ando, tetapi aku bertemu dengan rekan yang berada di sif yang sama dengan Ando.

Berhubung persiapan makan bersama sudah selesai dan sif siang yang akan membantu pasien dan keluarganya untuk makan siang bersama nanti, aku sengaja mencuri sedikit waktu untuk mengambil istirahatku 10 menit lebih awal. Aku membeli minuman hangat di jidouhanbaiki yang berada di dekat pintu keluar belakang gedung dan duduk di taman belakang.

Meski aku menyebutnya taman belakang, taman ini tidak benar-benar berada di belakang gedung, karena bangunan Himawari Roujin hanya berupa gedung tua bertingkat dua dengan lantai dasar pada gedung pertama sebagai tempat para pasien beraktivitas dan lantai kedua adalah kamar mereka. Sementara, gedung di sebelahnya hanya berisi dengan kantor, klinik, sebuah balai besar untuk menyambut tamu kehormatan atau untuk mengadakan acara seperti sekarang, ruang penatu khusus perlengkapan roujin seperti linen, juga gudang. Pada bagian atas gedung, terdapat rooftop. Bangunan ini berdiri seperti bangunan kembar yang tersambung dengan lorong terbuka di bagian tengah. Di sebelah lorong terbuka itulah taman belakang ini berada.

Lokasinya memang berada di tempat terbuka, tetapi ketika masuk musim dingin, taman ini cenderung sepi sampai dengan musim semi nanti. Orang-orang baru akan mengunjunginya ketika cuaca sudah menghangat. Tidak seperti drama, film, atau anime, aku tidak berniat menuju kamar mandi ketika ingin menghindari orang-orang. Masuk ke kamar mandi membuat napasku semakin sesak. Karena itu, aku memilih tempat ini. Tidak masalah lebih dingin daripada di dalam gedung, hal itu lebih menguntungkan karena artinya tidak ada orang yang akan kemari.

Aku mendongak memperhatikan bintang yang berada di pucuk pohon cemara. Warnanya tidak lagi menyala ketika langit membiru, bahkan cenderung tak terlihat. Sedikitnya, aku teringat akan acara yang kulihat di televisi beberapa waktu lalu. Acara yang meliput pohon Natal di pusat Kota Tokyo. Menurut si pembawa berita, pohon cemara itu digadang-gadang sebagai pohon Natal terbesar di Jepang.

“Oh, bener. Kan, mau minta tolong Fera buat fotoin. Dia ke sana enggak, ya?” pikirku seraya merogoh kantong untuk mencari ponsel. Aku sudah selesai mengetikkan pesan. Baru saja pesan itu terkirim, aku terkejut dengan kemunculan Sho yang mendadak.

“Ke sana itu ke mana, Tante?”

Aku hampir terlonjak ketika melihat wajah Sho yang berjongkok di bawah agak ke belakang. Ternyata aku berpikir keras-keras. Melihat Sho, hampir saja aku berpikir kalau Toshio—setan anak kecil dari legenda Jepang—sedang berjongkok di sana. Terlebih, riasan tebal masih belum dihapus dari wajahnya.

Lihat selengkapnya