Ternyata berpura-pura kuat dan baik-baik saja itu sangat melelahkan. Pengibaran bendera perang dengan Bebi sedikit membuatku rugi. Bagaimana tidak, seharusnya sekarang aku sedang duduk tenang menunggu kedatangan makan siang gratisku bersama Anza. Sambil menikmati eksterior kafe buku bagian outdoor yang sunyi dan menyegarkan mata. Juga suara aliran air dari kolam yang tepat berada di bawah kaki kami yang turut mendukung suasana menjadi lebih nyaman. Rasanya benar-benar menyegarkan. Benar, seharusnya begitu, kan?
Namun, kenapa sekarang aku dan Bebi justru duduk bersebelahan? Astaga, Tuhan! Andai bukan paksaan Anza, malaikat maut mengancam akan mencabut nyawaku sekarang jika tidak duduk di sebelahnya pun aku bersedia!
Ini semua terjadi ketika Usman dan teman-teman lain yang lebih dulu sampai dan mengisi kursi di sana. Mereka bahkan sudah menyatukan tiga meja dengan kapasitas enam orang—bisa ditambah dua orang pada bagian ujung meja—menjadi satu deret. Tiga kursi sudah terisi penuh pada sisi kanan meja, sedangkan pada sisi kiri meja, hanya satu kursi terisi, yaitu kursi yang di tengah.
Aku baru saja menimbang untuk duduk di kursi yang mana ketika Bebi melenggang ke arah kursi di pojok. Aku bernapas lega dan menarik kursi pada sisi seberangnya ketika membayangkan akan duduk santai di kursi yang jauh dari Bebi. Sayangnya, Anza menarik lengan Bebi dan menyeretnya ke kursi yang paling dekat denganku, lalu mendudukkan Bebi secara paksa di sana.
Bebi memprotes, tetapi Anza tidak peduli. Dengan gesit, ia mengambil kursi yang Bebi tuju sebelumnya, lalu menyeret kursi di bagian ujung meja yang dekat dengannya mendekat sambil berkata, “Ini udah ada yang nempatin. Lo di sana aja sama si Ijah, tuh,” ujar Anza menunjuk ke arah sebelahku.
Bebi sempat merajuk, tetapi kedatangan pramusaji yang membawa menu dan kertas untuk mencatat pesanan membuatnya menahan diri. Teman-teman lain pun membujuk Bebi untuk duduk saja di tempat yang tersedia karena tidak ada lagi tempat. Ditambah, hari itu kafe sangat ramai dengan mahasiswa karena sedang jam makan siang. Dengan wajah merengut, Bebi membanting bokongnya kesal ke kursi yang berada tepat di sebelahku.
Setelah memutar ulang keributan kecil dengan Bebi di perpustakaan tadi dalam kepala, duduk di sebelahnya benar-benar menjadi neraka paling mengerikan dalam hidup! Kami duduk dengan posisi tubuh saling membelakangi, membuat aura permusuhan kami menyebar layaknya virus yang siap menjangkit manusia, hingga suasana yang sebelumnya ramai dengan obrolan ceria menjadi suram dan tegang.
Kalau kalian bertanya, kenapa aku bersedia ikut padahal pertengkaran dengan Bebi belum berakhir? Jelas karena KTM-ku yang belum Anza kembalikan!—juga makan siang gratis yang sudah seharusnya menjadi hakku!—Konyol? Biar saja. Aku sangat-sangat sadar apa yang kulakukan ini.
Lagi pula, tidak ada bedanya aku ikut atau tidak, Bebi akan tetap menghina. Malah kalau tidak ikut, aku tidak akan tahu apa yang akan ular itu bicarakan di depan teman-teman lain. Oh, tidak bisa! Aku harus selalu tahu pergerakan ular betina satu itu kalau ingin menang di peperangan ini.
Aku bahkan tidak memedulikan tatapan menyelidik teman-teman lain. Semua hanya menatap kami secara bergantian. Aku bahkan bisa merasakan tatapan menuduh atas mood Bebi yang hancur, terus meluncur dari beberapa pasang mata di sana, kecuali Anza.
“Eh, kalian udah pada pesen makan?” tanya Anza sepertinya mencoba mencairkan suasana. Semua menjawab hampir bersamaan, bahwa mereka menunggu kehadiran teman-teman lain secara lengkap baru akan memesan makanan.