Hari ketika aku mengerti bahwa aku tidak akan pernah sama dengan Bebi adalah sore ketika langit meluruhkan air matanya setitik demi setitik dengan lembut. Aku baru saja sampai di rumah menggunakan payung bergambar Pikachu kesukaanku ketika Ibu sudah menunggu. Wajahnya semerah tomat. Meski masih duduk di kelas 2 SD, aku bisa sangat memahami Ibu hanya dari gestur tubuhnya. Aku bahkan tidak tahu di mana letak kesalahanku, tetapi aku tahu kalau sisa hari itu akan dihabiskan dengan pukulan, teriakan ancaman, juga rasa sakit yang akan terus terkenang. Bedanya, hari itu tidak akan sama dengan hari-hari lainnya.
Setelah satu gagang sapu ijuk patah akibat memukuliku, seorang tetangga datang dengan tergopoh-gopoh. Ibu langsung menyuruhku untuk masuk kamar, tetapi aku berkeras diam-diam mencuri dengar pembicaraan mereka. Alasan tetanggaku akhirnya datang adalah karena tidak tega mendengar jeritanku yang sedang dipukuli Ibu. Barulah aku tahu alasanku dipukuli setelahnya. Rupanya, Bebi mengadukan pada ibunya sambil menangis. Ia berkata bahwa aku pergi meninggalkannya seorang diri dan tidak mau menemaninya pulang bersama dari TPQ sore itu.
Tentu saja itu bohong. Bebi bahkan tidak hadir ke TPQ hari itu dan kami secara tidak sengaja bertemu di taman jajan sebelah sekolah yang juga tidak jauh dari tempat TPQ. Tidak hanya Bebi, aku menemui beberapa teman lain di sana, seperti Usman juga Aryo. Aku tidak sengaja bertemu mereka ketika ingin membeli barbie kertas yang sudah menjadi incaran sejak beberapa hari sebelumnya.
Tidak hanya itu, Usman dan Bebi bahkan mencegat dan meminta setengah dari uang jajan yang sudah kutabung khusus untuk membeli barbie kertas. Bebi juga mengancam bahwa ia akan minta teman-teman menjauhiku kalau aku mengadukan apa yang hari ini kulihat pada ibunya. Aku mengangguk dan sepakat, supaya cepat selesai. Aku hanya ingin pulang dan membawa barbie kertas yang baru kubeli untuk menemui koleksi lainnya di rumah.
Namun, sekarang apa? Kenapa semua jadi berbalik dengan apa yang sudah disepakati? Kenapa Bebi tetap mengadukan pada ibunya dan mengatakan hal yang tidak pernah terjadi?
Aku memang mampir ke warung yang agak jauh untuk membeli titipan Ibu setelah bertemu dengan Bebi. Mungkin saat itulah Bebi pulang lebih dulu dan mengadukan pada ibunya. Ibunya datang ke rumah dan memaki-maki Ibu yang sedang bersantai sambil karaoke.
Ayah yang tidak lama kemudian pulang kerja, mencoba untuk menenangkan Ibu dan berkata bahwa aku tidak sepatutnya disalahkan atas alasan konyol ini. Masalah anak-anak, orang dewasa tidak perlu ikut campur. Namun, sepertinya Ibu tidak berpikir demikian. Ibu menjambak dan menarikku keluar rumah. Dengan ancaman yang membuat dadaku sesak, Ibu menyuruhku pergi ke rumah Bebi untuk meminta maaf pada Bebi dan ibunya.
Setelah kejadian itu, Bebi semakin berada di atas angin. Tidak hanya merendahkan keluargaku yang miskin, Bebi juga merusak mainan yang Ayah belikan sebagai hadiah ulang tahunku, sengaja menjepit tanganku dengan pintu ketika aku ikut bermain ke rumahnya bersama teman-teman lain, mengusirku secara kasar dari pesta ulang tahunnya, melempariku dengan jambu air ketika aku ikut berkumpul di depan rumahnya bersama anak-anak lain, juga merusak dan menggunting buku-buku cerita bergambarku.
Meski di sekolah kami hampir tidak pernah sekelas, Bebi tetap melancarkan rencananya untuk menghancurkanku dengan mengembuskan gosip mengenai Ayah yang pergi dari rumah dan Ibu yang kasar ketika kenaikan kelas 3. Hinaan itu terus-menerus datang tanpa henti. Panggilan Ijah bahkan berawal darinya karena Ibu membantu mencuci dan menyetrika baju untuk keluarga Bebi pada tahun pertama setelah Ayah pergi.
Dengan dalih ingin membantu tetangga yang kesusahan. Meski kalau dipikirkan lagi sekarang, mungkin saja itu hanya akal-akalan ibunya Bebi untuk menjebak Ibu. Semua terbukti beberapa tahun kemudian. Aku masih duduk di kelas lima ketika ibu Bebi datang bersama para ibu tetangga lainnya hanya untuk melabrak Ibu perkara bolu untuk acara sunatan salah satu tetangga yang dititipkan di rumah berkurang satu loyang. Ibu bahkan menangis dan mengurung diri di kamar selama seminggu setelah kejadian itu.
Setelah berjalan beberapa waktu, Ibu akhirnya berhasil bangkit dan kembali ke kepribadiannya semula secara penuh. Aku baru saja akan masuk SMP saat itu. Setelah kebangkitan itu, Ibu memang kembali hadir di acara sosial seperti arisan atau pengajian RT, tetapi kali ini dengan ambisi yang lebih besar. Seolah-olah tidak mau kalah dengan anak-anak tetangga, Ibu selalu menyetir semua hal yang harus kulakukan.
Setelah kembali bersama di SMP, Usman akhirnya bersekolah di SMA yang berbeda. Sementara, aku dan Bebi kembali bersatu di SMA yang sama.
Saat itu sedang ramai dengan kepindahan tetangga baru. Bukan tanpa alasan, kegaduhan di RT kami terjadi lantaran tetangga baru itu mendirikan rumah yang megah nan mewah di tanah milik developer tanpa izin. Rumah itu memang sudah ada sejak tiga tahun sebelumnya dan baru ditempati saat itu. Mungkin keluarga itu mengurus perizinannya dulu sebelum pindah ke sana. Keluarga itu memiliki seorang anak yang usianya di atas kami satu tahun, ibunya dengan bangga memperkenalkan anak lelakinya dengan nama Putra.