Ingatan mengenai perkataan Bebi kembali mencuat dari kotak memori, terputar jelas layaknya kamera pemutar film yang menyorot layar bioskop. Membuat jemari tangan dan kakiku menjadi dingin. Bersamaan dengan itu, aku seolah-olah merasakan adanya sesuatu yang melingkari perut dan leher. Dalam sekejap, napasku tercekat. Jantungku terpompa lebih cepat dari biasanya. Aku seperti tenggelam. Jatuh semakin jauh sampai semua menggelap dan semakin sesak.
Gue suka sama lo, Ji. Gue mau jagain lo. Gue pasti bakal jadi orang pertama yang bangga dengan semua keberhasilan lo.
Suara itu kembali terdengar meski aku sudah menolak untuk mengingatnya sejak saat itu. Seolah-olah orang itu berbisik tepat di telingaku. Aku memberontak, berusaha mengusir suaranya yang mengucapkan hal sama berulang-ulang. Namun, suara itu justru semakin menggema hingga memenuhi telinga.
Gue suka sama lo, Ji. Gue mau jagain lo.
Aku berusaha untuk menjerit. Namun, sesuatu yang melingkar di perut dan leher seakan semakin mengeratkan diri mereka sampai aku benar-benar seperti tercekik!
Aku menunduk dan mendapati sesuatu seperti sulur tanaman hitam sedang melingkari perut dan leher. Semakin lama, sulur-sulur itu semakin mengetat juga membuatku semakin tercekik. Aku berusaha melepaskan diri, tetapi nihil.
Tanganku mencoba menggapai apa pun untuk menolong. Namun, semua hanya sia-sia. Karena pada akhirnya hanya ada ruang hampa belaka. Ah, aku merasa aku benar-benar akan mati saat itu. Setelah kesadaranku mulai berkurang sedikit demi sedikit, secara samar aku kembali mendengar suara itu.
Gue suka sama lo, Ji. Gue mau jagain lo.
Pandanganku semakin kabur. Aku seperti terombang-ambing di ruang hampa. Aku mencoba mengatur napas supaya kesadaranku tidak hilang. Dengan pandangan buram, terlihat sosok hitam tinggi yang berjalan mendekat.
Gue suka sama lo, Ji. Gue mau jagain lo.
Ah, rupanya suara itu datang darinya. Siapa sosok itu? Apa sosok itu malaikat pencabut nyawa? Apakah ini waktunya aku pergi? Aku seperti berada di tengah-tengah kesadaran. Leherku semakin tercekik, udara semakin hilang, dan mataku semakin berat. Kalau ... kalau aku berakhir di sini, apa Ibu akan kesepian?
Gue suka sama lo, Ji. Gue mau jagain lo.
Melalui pandangan buram, aku bisa melihat wajah dari makhluk di hadapan yang ... sama denganku?
Tangannya yang hitam, lentik, dan berkuku panjang meraih wajahku kasar. Seraya terkikik, makhluk itu mendekat ke arah telinga dan menjerit dengan suara melengking, “Sekalian aja gue rusak, anjing!”
Aku merasa seperti tertarik oleh sesuatu yang kuat. Ketika membuka mata, tubuhku sudah berada di lantai. Aku jatuh dari tempat tidur. Napasku tersengal-sengal dengan baju dan seprai yang basah. Aku bisa merasakan peluh mengucur dari pelipis. Sambil bertanya-tanya apa yang terjadi, aku memandangi ruang sekitar. Kamar kos.
Apa aku sudah kembali? Di mana aku tadi? Aku mati suri?
Pertanyaan demi pertanyaan berembus memenuhi hampir seluruh rongga dalam kepala hingga tak bersisa. Untuk bisa menjawabnya, aku bangun dan duduk bersandar pada tepi tempat tidur dengan kepala belum sepenuhnya tegak akibat pusing. Tanganku bergerilya di atas kasur, mencari keberadaan ponsel yang entah di mana rimbanya.