“Oh, bukankah kamu si gadis roti melon?”
Seperti jarum yang menancap ke balon, suara itu memecahkan lamunan masa lalu dan membuatku kembali. Aku mengerjap beberapa kali, sempat sedikit linglung dengan latar tempatku kini berada. Namun, aku berhasil mengatasinya segera.
“Oh, Anda Haya—“
“Nagase. Nama saya sekarang Nagase Momoko.”
“Ah, Nagase-san. Bagaimana kabar Anda?” sapaku membungkuk cepat.
“Baik. Sangat baik, Nona.” Nagase-san mengangguk-anggukkan kepala pelan. Senyumnya terkembang hangat. Meski berbeda dengan kali pertama pertemuan kami yang terasa dingin dan penuh simpati, Nagase-san terlihat lebih ceria kali ini.
“Ah, benar. Terima kasih atas roti melon dan bantuanmu karena telah menyelamatkanku dan Sho-chan.”
“Ah, enggak, enggak. Aku senang karena bisa membantu.”
“Enggak, enggak. Kamu harus datang makan malam ke rumah kami.” Nagase-san merogoh tas tangannya, mengeluarkan kartu nama, lalu memberikannya kepadaku. “Ini alamat rumah kami. Datanglah kalau kamu enggak punya acara. Sho-chan pasti senang kalau kamu bisa makan malam bersama kami. Aku akan sangat menantikan kehadiranmu di tengah kami,” tambahnya lagi.
Setelah aku menerima kartu nama yang disodorkannya, Nagase-san keluar toilet sambil melambaikan tangan gembira. Aku kembali menundukkan badan kecil sambil balas tersenyum.
“Oh, ternyata rumahnya tak jauh dari sini,” ujarku bermonolog setelah membaca alamat yang tertera. Melalui kartu nama itu pula aku jadi tahu profesi Nagase-san. Meski sudah tidak bisa lagi dibilang muda, Nagase-san masih aktif sebagai florist di toko bunga yang cukup terkenal dekat stasiun. Aku sungguh kagum dan berpikir, oh, mungkin Sakabe-san akan senang kalau aku membelikannya beberapa bibit bunga.
Seraya bersenandung riang, aku berjalan keluar toilet masih sambil menatap kartu nama Nagase-san. Saat itulah aku mendengar suara Sho yang memanggil. Aku mencari-cari sosoknya dan kutemukan ia sedang menggambar di area bermain anak yang berada di seberang resepsionis persis.
Disebut sebagai area bermain karena berukuran cukup luas dengan bagian atasnya ditutupi menggunakan karpet puzzle warna-warni yang disusun polos dan gambar secara bergantian. Untuk membatasi area bermain dengan lobi, pihak roujin memberikan pagar pembatas setinggi tubuh anak usia tiga tahun yang juga terbuat dari plastik dengan warna cerah.
Mereka juga menyediakan rak sederhana yang berisi boneka, buku-buku bacaan untuk anak-anak, alat mewarnai, dan beberapa mainan berukuran kecil. Di sebelahnya, berjejer meja dan kursi plastik yang senada dengan pagar pembatas, juga perosotan kecil yang terletak di bagian pojok. Memang hanya area kecil, tetapi dengan adanya area ini, diharapkan pihak keluarga yang memiliki anak-anak akan terbantu ketika orang tuanya sedang sibuk mengurusi pasien.
“Sho-kun! Kamu udah sehat?” tanyaku berjalan mendekat. Tentu saja aku gembira. Semua tidak hanya sulit untuk kami, tetapi juga untuk Sho dan Nagase-san.
Sho mengangguk. Namun, ia kembali memandangku dengan tatapan cemas. “Tante gimana? Sakit, ya, yang kena tongkat kemarin?”