“Itu tidak benar, Tsutomu-san. Tentu saya juga punya impian,” ujarku membela diri. Aku kembali melihat arloji dan membujuk Tsutomu-san untuk kembali ke kamar.
“Enggak, enggak, enggak mau!” Tsutomu-san berteriak dan menggoyangkan kursi rodanya. Tentu saja aku terkejut. Aku mencoba untuk tenang seraya memegangi kursi roda Tsutomu-san.
“Hentikan! Tolong hentikan, Tsutomu-san. Anda bisa terjatuh!” ucapku tegas. Setelah apa yang kualami bersama Hayashi-san, aku mulai berani untuk bersikap lebih tegas meski mereka orang tua. Tentu saja ini untuk kebaikan mereka sendiri.
Tsutomu-san masih saja berteriak. Merengek seperti anak kecil yang marah karena dipaksa tidur oleh ibunya. Berkat bantuan dua orang staf dari sif malam yang datang karena mendengar keributan, kami akhirnya berhasil membawa Tsutomu-san kembali ke kamarnya.
“Tsutomu-san, saya akan bantu memindahkan Anda ke tempat tidur sekarang, ya,” ujarku meminta izin. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku mempraktikkan apa yang sudah Senior Ana ajarkan. Aku baru saja menyelipkan tangan ke bawah lengannya ketika Tsutomu-san menolak untuk dibantu. Ia akhirnya berdiri dan pindah sendiri ke tempat tidurnya.
Jujur saja, aku memang sedikit heran karena hal itu, tetapi aku tidak menanyakan apa-apa. Ketika Tsutomu-san duduk di tempat tidurnya, aku menepikan kursi roda ke pinggir ruangan yang berada tepat di bawah jendela. Kata Senior Ana, Tsutomu-san suka membiarkan gordennya sedikit terbuka supaya bisa melihat pemandangan malam. Karena itu, aku membiarkan gorden di seberang tempat tidurnya terbuka.
Tsutomu-san bergeming. Pria tua pemurung itu tidak segera merebahkan dirinya. Karena itu, aku mencoba untuk kembali membujuk. “Sudah malam. Saya bantu pasang selimutnya, Tsutomu-san,” ujarku bergegas menarik selimut yang terlipat rapi di kaki tempat tidur, lalu menutupi setengah tubuhnya.
“Hei, kamu pasti mentertawakanku ketika mendengar tentang kembang api, kan?” Tsutomu-san tidak menolak, ia menempelkan kepalanya di bantal. Namun, matanya masih setia menatap langit.
“Malam ini malam tahun baru. Anda mungkin akan melihat banyak kembang api ketika pergantian tahun nanti. Saya sudah membuka gorden untuk Anda.” Aku memperingatkan diriku untuk terus tersenyum. Tentu saja ini bohong. Aku tidak tahu apakah ini baik atau tidak, Senior Ana tidak pernah benar-benar mengatakan perihal melakukan sedikit kebohongan untuk membujuk para pasien.
“Jangan bodoh! Ini adalah tahun baru. Tidak mungkin mereka akan mengadakan hanabi taikai[1]!” sergah Tsutomu-san keras. Ia kembali merengek dan meminta untuk melihat kembang api sebelum pergi tidur atau ia tidak akan tidur sampai pagi.
Aku menghela napas kasar. “Ini sudah malam, sebaiknya segera tidur, Tsutomu-san. Saya akan pamit dan membiarkan Anda untuk beristirahat. Oyasuminasai[2].”
“Tunggu, tunggu! Jangan tinggalkan aku!” Tsutomu-san meraih lenganku, lalu meremasnya kuat-kuat. Wajahnya terlihat resah dan ketakutan. Bola matanya bergerak ke sembarang arah secara acak. Helaan napasnya terdengar seperti ia sedang berada dalam posisi mengerikan.
Ada apa? Apa Tsutomu-san mulai berhalusinasi lagi? Namun, seingatku staf yang bekerja di sif siang sudah memberikannya obat. Aku tidak boleh sembarangan memberinya obat lagi.