Kalo emang lo serius, minta izin dong ke nyokap gue. Gue enggak mau berhubungan sama cowok yang cuma jago nyatain di telepon gini doang.
Aku me-refresh ruang percakapan antara aku dan Aryo. Tidak ada apa pun yang berubah. Hanya ada pesan yang kukirim pada hari ketika aku akan berangkat ke Jepang sebagai penanda berakhirnya percakapan kami saat itu. Aku menutup aplikasi chatting, merebahkan diri ke kasur seraya menatap stiker bintang di langit-langit kamar.
Setelah kejadian menggelikan dengan Ando tadi, aku memang sempat menawarinya masuk, tetapi Ando menolak. Katanya, ia hanya datang untuk memberikanku omamori yang dibelinya bersama teman-teman lain di kuil Tennouji. Aku tidak tahu apa fungsinya, tetapi karena Ando sudah memberikannya, aku menerima dengan senang hati. Ingat kan, aku pencinta sesuatu yang gra-tis?
Setelah terlibat dalam keheningan dan kecanggungan selama hampir lima menit, Ando memutuskan untuk pulang dengan suara kikuk dan ucapan yang terbata-bata. Meski begitu, senyum dan tatapan matanya tetap lembut ketika berhadapan denganku.
Lembut, ya? Hanya tiga lelaki yang bersikap lembut padaku tanpa pamrih—aku tentu tidak bisa menganggap keramahan tukang galon sebagai sikap lembut, kan?—yaitu Ayah, Ando, dan ... Aryo. Benar, triple A, dan salah satunya adalah Aryo! Bagaimana? Kaget, kan? Yah, aku sendiri juga berpikir demikian.
Sayangnya, dua di antara tiga kandidat sangatlah pengecut. Ayah pergi meninggalkan kami setelah hari ulang tahunku yang ke delapan. Maksudku, aku yang sekarang tentu bisa sedikit memaklumi—dan merasakan—perasaan tertekan Ayah karena selalu berada di bawah bayang-bayang Ibu yang tidak mau diatur. Namun, tetap tidak masuk akal bagiku yang masih kecil. Apa alasan Ayah pergi? Apa keberadaanku saja tidak cukup membuatnya bertahan? Apa aku juga harus jadi korban atas kelakuan menjengkelkan Ibu?
Laki-laki pengecut lainnya adalah Aryo. Aku mendapuknya mendapatkan predikat ini tentu bukan tanpa alasan. Sebenarnya, Aryo bersikap baik setelah pertemuan yang dimulai dengan paksaan antara aku, Anza, dan dirinya. Dalam pertemuan itu, Anza meminta maaf sebesar-besarnya karena sudah seenaknya saja berpikir untuk mendamaikanku dan Bebi dengan memaksa kami duduk sebelahan tanpa pernah mengetahui duduk perkara permasalahan kami lebih dahulu.
Mendengar permintaan maaf Anza yang panjang kali lebar membuat kepalaku sedikit pusing, tetapi aku memutuskan untuk menerima permintaan maaf dari Anza. Bagaimanapun juga, duduk perkara antara aku dan Bebi memang tidak pernah diketahui oleh siapa pun. Pasalnya, tidak ada teman SD yang satu SMA dengan kami, ditambah Bebi yang pergaulannya luas dan punya teman yang akan mendukung dan membenarkan sikapnya meski kurang ajar, juga aku yang memilih untuk tidak bergaul dengan teman-teman dari SD.
Permintaan maaf kedua datang dari Aryo. Dengan wajah dan suara yang memperlihatkan betapa dalam penyesalannya, Aryo meminta maaf karena telah menyebabkan kekacauan dari foto yang diambilnya. Ia mengaku bahwa tidak menyangka foto yang diambil hanya untuk mengonfirmasi rasa penasarannya akan berujung menjadi seperti ini. Cowok itu bahkan bersumpah bahwa ia tidak ada niatan sedikit pun dan terkejut ketika Bebi bicara hal buruk tentangku di depan teman-teman lain.
Ia juga menjelaskan bahwa ia benar-benar tidak tahu siapa cowok yang ada di dalam foto. Bebi tidak pernah benar-benar menjawabnya dan Aryo sudah lama tidak mengecek grup. Karena itu ia tidak tahu gosip apa yang sedang terjadi di antara teman-teman.
Melalui pengakuan Aryo, ia hanya merasa pernah melihatku, memotretnya ketika secara kebetulan ada di warung seblak yang berada persis di samping bangunan penginapan, dan mengirimnya di grup yang Bebi buat. Hanya sekali itu Aryo mengirim pesan ke grup itu. Setelahnya, ponselnya sempat rusak karena ia mengalami kecelakaan sepulangnya dari kampus. Ketika berhasil membeli ponsel baru beberapa bulan kemudian, chat di grup tidak lagi muncul dan tidak ada orang yang membahasnya lagi.
Ucapannya ini sekaligus menjawab rasa curigaku karena tidak pernah menemukan foto yang Aryo kirim di grup. Ternyata, mereka memang membuat grup baru dan tentu saja tidak akan pernah mengajakku bergabung ke sana. Aku tegaskan, aku juga tidak mau kalaupun diajak bergabung. Hanya saja, hal ini benar-benar merugikanku. Aku menjadi sedikit curiga dengan aktivitas mereka di dalam grup. Siapa lagi yang mereka jelek-jelekkan bersama? Bagaimana kalau mereka membicarakan fitnah-fitnah lain tentangku? Wajar saja aku curiga, Bebi selalu melakukan hal yang sama hampir setiap hari sejak kami semua masih kecil.