Setelah mempertimbangkan selama hampir semalam penuh, aku memutuskan untuk menerima ajakan Anza. Anza bilang, ia akan membelikan jajanan yang kuincar di Semawis. Yah, lagi-lagi sesuatu yang gratis akan memenangi segala hal jika dipikirkan secara logika, kan?
Mungkin Anza tidak jadi mendapatkan referensi, tetapi anggap saja ini permintaan maafnya. Dan, oh, kemarin kan, tetap jadi masuk ke WP. Jadi, tidak bisa dibilang aku tidak berjasa sama sekali, bukan? Aku mau kok, meminjamkan KTM lagi untuk ke perpustakaan. Syarat utamanya, tidak ada Bebi di sana.
Namun, karena baru memberikan jawaban kalau aku bersedia ikut menjelang sore, aku jadi panik ketika Anza berkata kalau Aryo siap meluncur untuk menjemput dalam waktu tiga puluh menit. Aku menatap wajah yang kusam di cermin. Wajah belum mandi yang kucel dan berbelek. Oh, ya ampun! Jangan sampai Aryo melihat kondisiku yang kacau, bisa-bisa aku diejeknya nanti!
Aku menuju lemari, membuka, lalu membongkar isinya. Mencari baju yang—setidaknya—mendingan untuk digunakan. Mengingat aku hanya punya tunik, tunik, dan tunik, tabrak warna pula, aku menjadi sedikit panik. Aku mengeluarkan setumpuk baju, lalu memadukan satu persatu tunik dengan celana kain yang ada. Namun, melihat warnanya yang tidak harmonis, membuatku semakin panik. Aku tidak mau diejek cowok sialan itu soal baju.
Aku mencoba duduk dengan tenang di pinggir kasur. Memikirkan cara yang bisa kulakukan untuk memecahkan masalah receh ini. Persoalan baju ini memang receh, tetapi selalu membuatku ditertawakan teman-teman di kampus. Karena itu, terkadang aku mengenakan jaket angkatan untuk menutupi warna atasan yang tidak senada dengan bawahan. Setelah mengetuk-ngetukkan kaki tak tenang, aku teringat akan sesuatu. Benar juga, kan ada itu!
Aku kembali membuka lemari, menuju kotak penyimpanan di tengah yang berisi tumpukan pakaian bersih dari penatu yang belum sempat kubuka plastiknya. Sambil menghela napas lega, aku membuka plastik itu, lalu mengeluarkan baju yang baru kubeli beberapa bulan lalu di butik murah dekat kampus dengan alasan bajunya lucu, ya.
Bukan baju terbaik—ingat pembicaraan soal selera fashion Ibu? Yah, hal itu juga terjadi pada baju-bajuku karena aku tidak punya uang untuk membeli baju yang lain—tetapi aku memang menabung untuk membelinya sebagai baju jaga-jaga. Kalau-kalau ada acara seperti ini di Semarang, aku tidak perlu mengenakan jaket angkatan.
Sedikit cerita lucu mengenai jaket angkatan. Karena berasal dari prodi Sastra Jepang, otomatis jaket angkatanku juga tertera lambang bendera Jepang. Namun, entah kenapa tidak dengan bendera Indonesia. Aku harus membayar ekstra untuk mendapatkan bat bendera merah putih. Saat itu, aku belum punya uang untuk membelinya, tetapi karena belum sempat mencuci, alhasil aku mengenakan jaket angkatan untuk ngampus.
Kalian tahu apa yang terjadi? Benar. Seseorang yang tidak kukenal, tiba-tiba saja mendorongku kasar dari arah belakang. Sambil misuh tak menentu, orang itu mengendarai sepeda motornya dan berteriak, “Dasar penjajah!”
Kupikir, keputusan untuk sebaiknya-tidak-mengenakan-jaket-angkatan adalah pilihan tepat sejak saat itu.
Jadi, begitulah bagaimana akhirnya aku kembali pada tunik for life. Aku bersyukur bisa sedikit menyisihkan uang hasil kerja paruh waktu untuk membeli baju ini. Hanya luaran seperti rompi batik Ibu. Sederhana, tapi aku perlu menggoyang dompet untuk mengeluarkan seratus ribu rupiah supaya bisa membawa luaran ini bertengger dalam lemari. Tidak mahal, tapi aku bangga.
Selesai mandi, aku mematut penampilan di cermin yang hanya memperlihatkan setengah bagian tubuh. Saat itulah chat dari Aryo masuk. Cowok itu mengabarkan bahwa ia sudah sampai di depan kosan. Aku dan Aryo tidak banyak bicara selama perjalanan. Mungkin lebih tepatnya, sama sekali tidak bicara. Tidak tahu deh, bagaimana Aryo, kalau aku, aku sedang menikmati kaki dan tangan yang pegal supaya tidak memerosot dan menimpa tubuh Aryo.
Aku benar-benar lupa kalau motor Aryo adalah tipe motor cowok yang boncengannya sedikit nungging. Aku kan, tidak ingin bersentuhan dengannya. Alhasil, tanganku mencengkeram besi belakang, sedangkan kakiku menahan berat tubuh melalui jalu boncengan belakang kuat-kuat. Ah, sungguh perjalanan yang menyiksa!
Hampir dua puluh lima menit kaki dan tanganku bekerja keras. Ditambah kondisi jalan Semarang yang menurun—tanjakan Gombel yang terparah—sukses membuat kakiku terasa kram ketika sampai di parkiran Semawis. Kami tiba lebih dulu daripada teman-teman yang lain, tetapi kami tidak menghabiskan waktu bersama. Aryo sibuk dengan ponselnya, aku pun sibuk dengan pikiranku sendiri.
Ini sedikit aneh, mengingat kemarin Aryo cukup banyak bicara. Hari ini, ia berubah sangat pendiam. Wajahnya memang tersenyum ketika menjemputku tadi, tetapi setelah itu semuanya gone. Lenyap seperti diterjang badai tsunami entah ke mana. Berubah seolah-olah kami tidak saling kenal sebelumnya.
Dengan perubahan sikapnya itu, aku menjadi kikuk. Aku jadi tidak bisa bertanya, apakah Bebi kembali berkoar-koar lagi atau tidak? Atau, mungkin Bebi memberi klarifikasi?