Hubungan kami semakin intens meski sebagian besar hanya terhubung melalui chat. Aryo kembali meminta maaf atas ucapannya yang membuatku tersinggung ketika di Semawis. Kalau kalian mau lebih terkejut lagi, aku akan bilang kalau pada akhirnya, kami pergi ke Semawis lagi dan makan jajanan ayam yang selalu kubeli bersama-sama!
Tahu apa yang paling menyebalkan? Tepat. Aryo suka dan dia bahkan beli lagi untuk dibawa pulang. Lagaknya saja kemarin ngomongin logo halal, tahu rasanya enak juga diembat aja, tuh!
Sebelum pulang, Aryo mengajakku makan di warung tenda ayam bakar madu yang tidak jauh dari Simpang Lima. Aryo bilang, setelah aku pulang, ia, Anza dan Alam melanjutkan jalan-jalannya ke Simpang Lima untuk naik sepeda kelap-kelip dan makan di warung itu. Ia bahkan menggodaku dengan bertanya apa aku mau menaiki sepedanya juga? Tentu saja aku menolak.
Hari itu sepulang kerja di hari Rabu, Aryo benar-benar memanjakanku. Selain mentraktir makan siang di warung nasi padang yang terkenal di kalangan para mahasiswa, ia juga membawaku jalan-jalan ke area Simpang Lima. Kami mampir ke toko buku, menonton—saat itu pemutaran film Warkop DKI Reborn, aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas karena bisa menonton tanpa harus menggoyang dompet—dan memesan yoghurt beku di salah satu kafe yang khusus menjajakan donat. Ini jelas jalan-jalan mewah untukku. Aku bisa menobatkan Aryo sebagai orang kaya yang baik hati kalau begini caranya, kan.
Hari itu obrolan kami lebih banyak lagi. Aku jadi tahu alasan Aryo berwajah seperti sedang kesal, atau kenapa ia tiba-tiba saja menjadi pribadi yang ramah dengan sok asyik menyapaku duluan ketika kami bertemu di kafe beberapa waktu lalu, atau kenapa Aryo sampai repot-repot datang untuk mengantar dan membawakan makanan yang Anza belikan.
Di sela-sela obrolan seputar kilas balik kejadian kemarin, Aryo sempat bercerita kalau ia terlambat mengikuti KKN akibat harus beristirahat setelah kecelakaan. Uniknya, ia satu kelompok dengan adik tingkatku jurusan Sastra Jepang, yaitu Eda. Karena itu, ia merasa hubungan kami memiliki jalinan istimewa.
“Rasanya kayak emang takdir sengaja mau mempertemukan kita gitu,” ujarnya mengerling nakal, tetapi kemudian merasa geli sendiri dengan kelakuannya.
Aku pun akhirnya mengetahui alasan kenapa Aryo bersikap ramah dan mau repot-repot datang ke kosan untuk meminta maaf, padahal sebelumnya menyebarkan fotoku, adalah karena sesungguhnya ia terusik dengan wajahku. Aku jelas mengernyit, memintanya untuk menjelaskan lebih lanjut.
“Yaaa, gini, gini. Gue kenal lo, tapi gue lupa. Nah, makanya waktu itu gue bingung.”
“Maksudnya gimana, sih?”
Aryo terlihat gugup. Matanya ke sana kemari, sepertinya ia mencoba mencari kalimat yang mudah untuk dipahami.
“Duh, gimana, ya. Ah, gini deh. Gue kenal lo, tapi lo waktu SD. Makanya, gue agak kaget waktu tahu dari Bebi kalau itu lo. Apalagi waktu ketemu langsung. Itu lo, tapi bukan lo yang gue kenal waktu SD gitu. Gue takjub aja, lo jadi ... cantik ...,” ungkapnya malu-malu.
Hei, bukan hanya dia, aku juga jadi malu tahu! Aku merasa area sekitar pipi menjadi panas. Ketika melempar pandang ke arah jendela kaca, terpantul bayanganku dengan pipi merona. Aku mengusap wajah perlahan, lalu berdeham. “O-oh ... sejujurnya enggak menjawab pertanyaan gue, sih. Kenapa lo mau nganter makanan itu dan nyapa gue?”
Pundak Aryo yang sebelumnya tegang kembali melemas. Dengan suara getir, ia bercerita mengenai kisah cintanya yang kandas sekitar tiga bulan lalu. Dengan cewek dari jurusan yang sama dengannya, Teknik Mesin. Namun, ketika melihatku, hatinya seperti tersengat sesuatu. Ia menyapa hanya untuk memastikan bahwa itu benar aku karena baginya sedikit terlihat berbeda dengan yang ia foto dari warung seblak.
Ia juga mengaku kalau sebenarnya, ia menawarkan diri untuk mengantar makanan dari Anza, tetapi Anza memilih untuk ikut karena ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi. “Ya, selain karena ngerasa bersalah sih, gue juga pengin ketemu lo lagi. Si Anza juga gitu kayaknya,” ujarnya malu-malu.
“Tapi, bukannya ini terlalu tiba-tiba? Emang kenapa kok lo baru nyari gue belakangan? Lo enggak terusik dengan omongan temen-temen kemarin soal alasan kenapa pose gue kayak gitu di foto? Atau, lo sebenernya udah tau soal ....” Aku menjeda ucapanku. Rasanya tidak sanggup melanjutkannya lagi. Lidahku berubah kelu. Untuk menepis ingatan buruk yang sepertinya akan segera datang, aku menyibukkan diri dengan menyendok yoghurt beku di hadapan kami.
“Ujug-ujug? Enggak, kok. Ya, itu. Gue udah bilang kan, kalo gue sempet kecelakaan? HP gue rusak total, bahu gue patah. Gue istirahat dulu itu hampir sebulan kuliah. Untungnya udah TA sih, jadi bukan yang harus ngisi absen banget. Pas udah sembuh, gue ngebut lagi buat penelitian. Mana sempet dan inget gue sama kayak gituan. Si Bebi juga enggak nyinggung lagi soalnya,” ungkap Aryo panjang lebar. Kemudian, tangannya menyendok dan menyuapkan potongan peach ke mulutnya.