Gue suka sama lo, Ji. Gue mau jagain lo. Gue pasti bakal jadi orang pertama yang bangga dengan semua keberhasilan lo.
Dahulu, ketika mendengar suara lembutnya berbisik di telinga, aku langsung jatuh cinta. Mungkin lirik lagu yang terkenal adalah dari mata turun ke hati, tetapi yang terjadi dalam hidupku adalah dari telinga turun ke hati.
Aku tidak tahu, apakah itu semua ada hubungan sebab-akibat dengan perasaan iri ketika melihat teman-teman di kampus yang begitu dicintai oleh pasangannya atau apa. Yang pasti, hanya dengan tiga kalimat itu, Putra berhasil membuatku jatuh ke pelukannya. Tentu saja aku merasa menjadi orang paling bahagia di dunia. Aku bebas dari Ibu, tinggal di kamar yang rapi dan bersih, hanya perlu belajar tanpa memikirkan beban hidup lainnya, dan merasa begitu dicintai.
Kisahku dengan Putra adalah kisah yang dimulai sejak waktu keemasan di masa remaja kami berlangsung. Aku dan Bebi sama-sama jatuh hati pada Putra, tetangga baru sekaligus kakak kelas kami di SMA. Putra memiliki badan yang tinggi, tegap, kulit cokelat manis, hidung mancung, rahang yang tegas, dan suara yang kuat. Meski terhitung sebagai siswa pindahan, Putra berhasil lulus seleksi ketua Paskibra di sekolah. Hal itu pulalah yang menjadi alasan utama bagi Bebi berambisi memasuki ekstrakurikuler Paskibra.
Berbeda dengan Bebi, meski aku juga tertarik pada Putra, aku tidak memiliki ambisi untuk memiliki atau menjalin hubungan romantis dengannya. Bagaimanapun juga, aku lebih tertarik untuk memperbaiki hubunganku dengan Bebi daripada dengan Putra. Bagiku, Putra hanyalah pemanis dalam kisah emas masa remaja anak SMA yang seharusnya penuh rasa haru dan kekompakan antar persahabatan.
Lagi pula, masih ada Ibu di rumah. Aku tahu Ibu tidak akan pernah mengizinkanku untuk memadu kasih apa pun alasannya. Bagi Ibu, prestasi tinggi yang menjamin kesuksesan di masa depan adalah martabat yang seharusnya dimiliki seorang wanita. Karenanya aku tidak pernah tertarik dengan hubungan romantis. Selama Ibu masih hidup, hubungan romantis itu hanyalah ilusi. Kalau memang benar cinta itu nyata, kenapa Ayah memilih untuk pergi meninggalkan kami?
Namun, segalanya berubah ketika aku mengetahui bahwa Putra berkuliah di universitas yang sama denganku. Kami tidak satu fakultas, tetapi gedung fakultas kami hanya berjarak beberapa meter saja. Bahkan bisa dibilang, jarak gedung fakultas Putra lebih dekat daripada jarak ke perpustakaan Widya Puraya. Tentu intensitas pertemuan kami semakin besar. Satu hari, ketika kami tidak sengaja bertemu kembali setelah Putra merantau sejak kelulusan SMA, Putra kembali mengajakku bicara dan bernostalgia.
Aku selalu menyukai keramahan dan cara Putra yang selalu berbicara dengan berbisik. Semua kata-kata Putra terasa sangat manis dan selalu berhasil membuatku merasa bahwa akulah only one untuknya. Bahwa masih ada seorang lelaki yang memperhatikanku dengan segala macam keruwetan dalam hidupku.
Sebuah paket lengkap dari kehidupan idaman banyak orang. Sayangnya, aku terbuai dengan begitu bodoh. Cinta yang kupercaya putih, suci, dan bersih yang menjadi kunci utama hidup lebih bahagia, justru menjerumuskanku dalam jurang tanpa dasar. Dalam jurang yang tidak memiliki hal lain selain malam tanpa bintang. Waktu seolah-olah berhenti dan aku terjebak di sana. Melayang di antara ruang gelap yang dingin tanpa pernah menyentuh hangatnya pagi hari.
Gue suka sama lo, Ji. Gue mau jagain lo.
Namun, karena terlalu buta, gelap bukanlah hal yang mengusik saat itu. Gelap hanyalah makanan sehari-hari yang terus kujalani dengan perasaan normal. Sayangnya, aku yang buta ini tidak mampu melihat isyarat yang telah diberikan oleh otak, bahwa gelap telah membunuh kehidupanku. Gelap telah membekukan hati dan pikiran. Gelap bahkan memunculkan anomali yang akhirnya membawa trauma dan terus menyerangku tanpa ampun.
Benar. Aku terlalu buta sehingga tidak pernah melihat bendera merah yang telah dikibarkan oleh Putra secara terang-terangan. Aku tidak suka ketika Putra selalu menghina pakaianku, termasuk ketika aku mencoba tampil modis untuk menemaninya kondangan. Putra tertawa terbahak-bahak dan mengatakan bahwa pelacur saja masih jauh lebih cantik daripada aku.
Kibaran kedua selalu terjadi ketika Putra mengatakan bahwa nada bicaraku terlalu kekanak-kanakan dan itu membuatnya muak. Aku sempat mogok bicara karena ngambek, tetapi Putra justru menamparku dan berkata untuk tidak membuatnya merasa kesal.
Aku terlalu bodoh menyadari dua kibaran bendera merah sebelumnya sampai akhirnya terjadilah kibaran ketiga. Aku diam-diam pergi ke kosannya untuk mengantar makan siang karena hari itu Putra tidak kuliah dengan alasan sedang demam. Namun, yang kudapati di sana adalah Putra yang sedang bercumbu mesra dengan Bebi tanpa pakaian sehelai pun!
Hari itu, aku merasa bagai didorong dari sebuah pesawat yang sedang terbang tinggi tanpa dibekali parasut di punggung. Ketika aku menggerebek keduanya, mereka hanya membeku di tempat. Sambil melempar makan siang yang kubeli dengan sisa uangku, aku berlari meninggalkan mereka.
Selama berhari-hari Putra selalu mendatangi kosanku, tetapi aku tidak mau menemuinya. Sampai akhirnya, Bebi mengirimiku pesan yang berisi bahwa alasannya menyatakan perasaan padaku adalah karena taruhan yang diadakan oleh komplotan siswa bandel yang memang teman-teman Putra juga geng Bebi semasa SMA dulu. Putra mendapat tantangan untuk menjadikan anak paling diam di sekolah sebagai kekasihnya. Sebagai imbalannya, Putra akan diberi uang taruhan sebesar satu setengah juta, juga jatah rokok selama setahun penuh.