Semula, kukira Ando akan menegur karena aku membolos berlatih dengannya. Namun, aku salah. Ia hanya ingin mengajakku bergabung karena acara rekreasi akan dimulai. Acara rekreasi biasanya seputar permainan yang tidak membutuhkan pergerakan yang cepat, tetapi tetap ada kegiatan motorik supaya otot para pasien tidak kaku.
Untuk rekreasi kali ini, kami terinspirasi dari permainan boling. Para pasien akan menggelindingkan bola boling yang diganti dengan bola plastik anak-anak juga pin boling dari botol plastik yang diisi sedikit air supaya bisa berdiri tegak.
Semua bermain dengan gembira. Terlihat dari wajah trio jompoers dan Sakura-san yang tertawa ceria. Bahkan Hayashi-san dan Tsutomu-san juga bergabung meski wajah mereka tidak tertawa seperti pasien lain. Mereka turut serta dalam kegiatan ini saja sudah termasuk kemajuan yang baik.
Rekreasi hari itu ditutup dengan menuliskan harapan pada orang-orang tersayang. Setiap pasien mendapat tiga carik kertas untuk menuliskan harapan dan nama orang tersayang bagi mereka. Rencananya, kertas-kertas tulisan para pasien akan digantungkan di pohon cemara yang ada di taman belakang.
Sebenarnya, kegiatan ini memang dikhususkan untuk para pasien yang tidak bertemu keluarga serta tidak bisa ke kuil ketika tahun baru kemarin. Karenanya, para perawat di sini merencanakan untuk menggantung harapan-harapan mereka untuk orang tersayang dan menggantungkannya di pohon, seperti ketika hari Tanabata.
Aku sigap membagikan kertas dan spidol pada mereka. Mereka pun mulai menulis. Beberapa perawat membantu mereka yang kesulitan. Pemandangan terlihat hangat dan menenangkan. Namun, hatiku masih diliputi sesak. Entah kenapa, aku tiba-tiba merasa kesepian di tengah pemandangan dan situasi yang menggembirakan ini.
Sebenarnya, hal-hal seperti selalu mengganggu ketika aku berada di Indonesia dulu. Namun, semua orang selalu berkata bahwa aku hanya terlalu sensitif, terlalu kaku, terlalu terbawa perasaan. Benarkah demikian? Benarkah semua hanya kesensitifanku semata? Atau, itu hanya kalimat yang dilontarkan orang-orang untuk membenarkan perilaku kurang baik mereka kepadaku?
Aku merasa semakin tersesat. Berpikir mengenai apa yang benar dan salah. Dalam kebingungan itu, aku seperti melihat sosok hitam yang kini wajahnya kembali seperti wajahku sedang berdiri di sudut ruangan. Matanya memandangku dengan tatapan hina. Bibirnya tersenyum miring. Ia lalu berkata tanpa mengeluarkan suara, “Sekali pecundang, tetap pecundang.”
Tubuhku kembali membeku, bulu kudukku meremang. Napasku kembali tercekat. Bedanya, kali ini kepalaku diterjang memori ketika teman-teman menjauhi, mengganggu, memukul, bersikap tidak sopan, sampai membisikkan bahwa aku adalah gadis dalam mimpi basah pertama mereka.
Aku merasa kaki ini kehilangan kemampuannya menopang tubuh. Aku menyeret diri menuju bingkai jendela yang berada tidak jauh di belakang. Berpegang kuat, bertahan supaya tidak jatuh. Sosok hitam itu mulai bergerak.
Kini sosok itu bahkan melayang dan terbang cepat ke arahku. Aku menutup mata rapat-rapat. Saat itulah Hayashi-san memukul meja keras. Semua orang terkejut, tetapi pukulan meja Hayashi-san menyelamatkanku. Aku kembali membuka mata dan menghela napas lega.
“Ada apa, Hayashi-san? Apa Anda mengalami kesulitan?” tanya Mochizuki sigap mendekatinya. Hayashi-san tidak menjawab, ia hanya mengembalikan spidol, lalu menopang dagu sambil menutup matanya. Wajahnya seperti kakek tua yang sangat tidak ramah.