Aku membuang ransel sembarangan ke lantai, lalu menjatuhkan diri ke kasur. Kemudian, menjerit sambil menutupi wajah dengan bantal. Sayangnya, meski sudah meredam suara sekuat mungkin, aku tetap mendapat teguran dari tetangga kamar sebelah. Kali ini, tetanggaku tidak lagi menggedor-gedor tembok di antara kamar kami, tetapi ia mendatangi kamarku langsung. Aku benar-benar tercengang ketika mengetahui bahwa tetangga sebelahku adalah … Mochizuki!
“Kamu …!” Mochizuki memelotot dan mendengus kesal begitu melihatku. Gadis itu melipat kedua tangannya sembari menaikkan dagunya angkuh, lalu kembali melanjutkan kalimatnya, “Aku enggak tahu apa tujuanmu deketin Ando, tapi aku enggak akan biarin Ando jadi milikmu!”
Setelah menyemprotku yang masih melongo tidak percaya, Mochizuki balik badan dan pergi. Akan tetapi, pada langkah ketiga, Mochizuki berhenti sejenak dan kembali memutar badan, mengarah kepadaku. Sambil menunjuk dengan tangan kiri, ia berkata dengan suara lebih tajam, “Dan, sebaiknya jangan terlalu banyak membuat suara! Dasar orang asing pengganggu!”
Aku baru berhasil menguasai diri ketika Mochizuki menutup pintu dengan kasar. Suaranya seperti sebuah benda yang keras jatuh menimpa lantai. Setelah mengerjap beberapa kali, aku pun kembali ke apartemen. Tadi apa katanya? Oh, benar jangan berisik. Tapi, kayaknya ada lagi, deh ... Ando! Tadi Mochizuki bilang apa soal Ando? Ngomongnya cepet banget, sih. Aku jadi enggak ngerti.
Aku mengangguk-angguk sendiri. Kepalaku sibuk menghubung-hubungkan apa yang terjadi selama ini. Akhirnya aku mulai memahami situasi juga alasan-alasan kenapa Mochizuki selalu membenciku, juga alasan kuat kenapa ia menyebarkan rumor tidak benar. Kemarin memang masih berupa dugaan semata, tetapi kini semuanya terlihat semakin jelas.
Aku baru saja akan menyuap makan malam yang kubeli di konbini ketika ada telepon masuk. Aku hampir saja tersedak ketika melihat siapa yang menelepon, Ibu! Dengan hati-hati, aku menjawab telepon dari Ibu.
“H-halo ... Assalamualaikum, Bu ...,” sapaku dengan suara yang meyakinkan. Meski sebenarnya jantungku sudah terlalu berisik di dalam sana.
Ibu tidak langsung menjawab salamku, tetapi aku bisa mendengar suara napasnya yang tidak beraturan. Kepalaku langsung penuh dengan pertanyaan. Ada apa? Apa yang terjadi? Apa Ibu membuat masalah lagi?
“Halo, Bu?” ucapku lagi.
“Mbak, jawab pertanyaan Ibu dengan jujur.”
Seketika, aku merasa seluruh isi perutku seperti diperas oleh tangan yang besar. Jantungku semakin cepat berlari. Napasku sedikit tercekik. Firasatku tidak enak bersamaan dengan bulu kuduk yang meremang.
“A-apa, Bu ...?” jawabku terbata-bata.