“Azizah!” Aryo yang sebelumnya duduk di kursi tunggu bersama orang-orang lainnya pun segera berdiri melambaikan tangan. Melihat sosoknya, aku hampir menangis, tetapi kutahan sebaik mungkin.
Setelah obrolan bersama Ando dan para lansia istimewa di taman belakang tempo hari, Pak Kepala Akira mengizinkanku untuk cuti meski aku belum setahun bekerja. Senior Ana berkata bahwa aku tidak perlu memikirkan pekerjaan, pulang saja dulu untuk menyelesaikan masalah dengan Ibu. Ando, Saki, dan Moe bahkan berkata kalau mereka akan menggantikanku selama aku pulang sementara ke Indonesia—sepertinya masalahku benar-benar tersebar. Dasar, Ando! Demi berita anyar, aku pun jadi korban headline-nya!
Namun, karena hanya mendapat jatah cuti tiga hari, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Aku menghubungi siapa pun yang bisa kuminta tolong untuk menjemput. Dari semuanya, hanya Aryo yang bersedia. Bahkan ketika Ibu tidak bisa kutelepon, aku meminta tolong pada Aryo, bukan Anza. Cowok itu selalu senang hati ketika membantu. Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepadanya.
Kami segera menuju parkiran mobil. Setelah itu, meluncur ke rumahku. “Jadi, gimana kabar lo?” tanya Aryo sesekali memandangku alih-alih jalan tol.
“Sehat ...,” jawabku fokus memandang jalan di depan. Pikiranku sudah penuh soal Ibu sehingga tidak bisa memikirkan hal lain. Kepalaku fokus dengan drama-drama ketika Ibu melihatku berdiri di depan pagar rumah nanti. Dan, sepertinya Aryo memahamiku. Ia tidak lagi bicara. Ia juga tidak menyentuhku seperti janjinya dulu. Perjalanan pulangku berselimut hening.
Setibanya di rumah, drama yang sebelumnya kumainkan hanya dalam kepala menjelma ke dunia nyata. Ibu bukan hanya memaki, tetapi juga berteriak-teriak dengan suara maksimal dan menunjuk-nunjuk wajahku dengan kasar. Aryo yang sebelum ini bercerita sudah mendapat restu Ibu bahkan tidak selamat dari amarahnya.
Ibu menuduh Aryo bekerja sama denganku dan sengaja mendekatinya untuk menutupi kebohonganku. Aku mencoba untuk membela Aryo, tetapi Ibu justru menjerit dan berkata kalau aku sebaiknya diam dan meminta maaf karena akulah sumber utama masalah ini. Seraya menggigit bibir kencang, aku merendahkan diri untuk meminta maaf, tetapi harapanku tidak terkabul. Ibu membanting pintu dan mengusir kami.
Aku hampir saja menangis andai Aryo tidak segera menenangkanku dan berkata kalau ia akan membujuk Ibu. Ia tidak berbohong. Aryo kembali mengetuk lembut pintu rumah.
"Bu ... Bu, ini saya, Aryo. Saya tahu mungkin Ibu kecewa dengan situasi yang ada, tapi saya kira Azizah punya alasan sendiri kenapa sampai melakukan hal seperti itu. Ibu yang paling mengenal Azizah, kan? Ibu pasti tahu Azizah tidak mungkin melakukan hal itu tanpa alasan."
Ajaib! Setelah mendengar ucapan Aryo, Ibu bersedia membuka pintu rumah sedikit demi sedikit. Meski senyum belum menghiasi wajahnya, Ibu sudah melunak dan mengizinkan kami untuk masuk. Aku cukup takjub, guna-guna apa yang Aryo pakai untuk menaklukkan hati Ibu? Dukun mana yang berhasil mengajarinya?
Kami tidak membuang waktu dan segera masuk. Kami memilih duduk di sofa panjang secara bersisian, sedangkan Ibu duduk di sofa one seater di ujung meja. Masih dengan air muka yang keras, Ibu tidak sudi memandang kami—terutama aku. Aku membuka pembicaraan dengan permohonan maaf dengan suara pelan. Ibu masih bergeming.