Fragmen
DUA
Laki-laki itu menggeliat sejenak sebelum menelentangkan tubuh dan membuka mata. Rasa pegal di sekujur tubuhnya begitu mendera, mengalahkan keterkejutannya sendiri ketika mendapatkan dirinya berada di tempat yang asing.
Perlahan terdengar ranjang kayu berderit ketika laki-laki itu menarik tubuhnya bangkit. Duduk di atasnya.
“Di mana ini?” katanya seraya mengedarkan pandangan mata.
Kamar itu berbentuk kubus berukuran kira-kira 5 X 5 meter. Bersekat dinding batu yang legam, memperlihatkan usianya yang tua. Juga daun pintu dan jendela yang tertutup; kokoh, tebal, dan berat. Sementara cahaya yang menelusup lewat lubang-lubang persegi pada dinding di atas jendela, membawa remang ke dalam kamar. Selain itu, hanya suatu kebekuan yang senyap yang melingkupi.
Laki-laki itu berdiri diikuti deritan pendek dan tebal ranjang kayu, kemudian melangkah ke jendela. Dia membukanya.
“Aahhhh…,” jeritnya disertai hentakan daun pintu dan tubuh jatuh ke lantai. Cahaya itu sangat kuat menyorot dan menyilaukan. Terasa seperti silet yang menggerus bola matanya, membuat dirinya terlempar. Sejenak laki-laki itu meringis kesakitan.
“Yah, anda sudah terbangun rupanya,” kata sebuah suara dengan tiba-tiba.
Laki-laki itu melihat seorang laki-laki setengah baya telah berdiri di pintu. Mengenakan jas berwarna hitam lengkap dengan dasi kupu-kupu yang menempel pada kemeja putih di bagian leher. Kepalanya tegak dengan pandangan mata lurus ke depan. Kumis yang menghias di atas bibirnya dan sisiran rambutnya yang rapi serta senyum yang mengembang di wajahnya memamerkan pesona dan pengaruh yang kuat. Di tangan kirinya terdapat sebuah buku yang cukup besar dan tebal.
Sementara di belakangnya, berdiri seorang laki-laki muda yang cukup tampan. Bercelana hitam dan berkemeja putih. Juga berdasi kupu-kupu. Namun, apa yang ada di nampan pada kedua tangannya itu menunjukkan statusnya sebagai pelayan.
Dalam diam laki-laki itu merasakan perutnya bergemerucuk membayangkan apa yang tersedia di nampan itu. Mengingatkan dirinya yang lapar. Sebentar ia menelan ludah sendiri.
“Selamat datang di rumah kami yang sejak dulu sampai sekarang masih seperti ini. Akan tetapi, anda tak perlu khawatir. Saya jamin bahwa anda akan betah tinggal di sini. Kami sudah sangat berpengalaman. Bahkan sangat-sangat berpengalaman sekali.”
Laki-laki itu tersenyum hambar.
“Yah, saya adalah kepala di rumah ini. Kalau diibaratkan sebuah hotel, saya seorang manager yang bertanggungjawab atas segala sesuatu menyangkut kelangsungan kehidupan di rumah ini. Akan tetapi, seperti tamu-tamu yang lain, anda boleh memanggil saya ‘Papa’. Dan dia…,” laki-laki setengah baya itu menunjuk kepada pelayan itu. Sementara si pelayan mengangguk pelan dengan senyum ringan. “Adalah pelayan yang akan mengurusi segala keperluan anda,” lanjutnya tersenyum.
Laki-laki itu diam memperhatikan mereka berdua dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Anda adalah tamu kami,” kata Papa mencoba meyakinkan dan melegakan hati laki-laki itu.
“Tapi, Tuan…”
“Panggil saja Papa! Jangan sungkan!” Papa tersenyum.
“Di mana ini sebenarnya?”
“Tenang dulu. Seperti yang saya bilang tadi, anda adalah tamu di rumah kami. Nanti kalau anda ingin berjalan melihat-lihat seluruh bagian rumah ini, pelayan ini akan mengantar seperti permintaan anda.”
Sebentar Papa membuka buku yang cukup besar dan tebal itu.