Dunia Kecil; panggung & omongkosong

Syauqi Sumbawi
Chapter #3

Fragmen 03

Fragmen

TIGA

 

 Ahaa. Lihatlah, lampu panggung meredup padam. Bagaimana kalau kita beromong-kosong lagi? Anda tidak keberatan, bukan?! Baiklah kalau begitu. Rupanya apa yang terjadi di panggung membikin dada kita ingin sedikit melegakan nafas.

Oya, kita kembali pada apa yang baru saja terjadi di panggung. Dan saya akan menceritakan sedikit tentang pengalaman saya.

Dulu, sebelum saya tinggal di kota ini, saya menghuni sebuah kamar kost di luar kota. Saat itu keseharian saya sebagai seorang mahasiswa totok menjadikan hari-hari saya banyak yang luang. Apalagi hanya pergi ke kampus untuk mengurusi penyusunan skripsi yang tak kunjung selesai.

Sungguh, membosankan menghadapi dosen pembimbing yang bertele-tele dan sangat erat menggenggam formalitas. Harus begini, harus begitu, seperti menyatakan bahwa saya tidak punya kemampuan apa-apa. Padahal kalau anda tahu, diam-diam saya beberapa kali mendapatkan proyek penyusunan skripsi bagi para mahasiswa. Kalau dihitung-hitung hasilnya sangat lumayan. Dan untunglah, semua proyek yang saya kerjakan berjalan dengan lancar. Lolos dari jaring-jaring ujian dengan nilai yang bisa dikategorikan cukup lumayan atau tidak memalukan.

Jika anda seorang mahasiswa dan ingin mendapatkan tambahan uang, tak ada salahnya anda meniru apa yang saya lakukan.

Sebentar. Ada yang interupsi lagi. Dia seorang yang duduk di samping kanan saya.

“Apa? Tidak boleh meniru?! Eh, jangan salah. Meniru sendiri merupakan salah satu dari proses sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dan masih menurut para Sosiolog, meniru juga merupakan naluri yang alamiah pada diri manusia. Di samping itu, jika manusia tidak boleh meniru, saya yakin kebudayaan-kebudayaan yang ada sekarang pasti sudah mati di usia dini. Punah dengan sendirinya.

“Apa?! Melakukan hal yang sama?! Ah, apa bedanya dengan meniru. Ya, baiklah, jika hal itu lebih enak bagi telinga anda. Dan meskipun meniru sendiri merupakan salah satu naluri, namun hal itu tidak menafikan bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif. Dengan begitu, maka kebudayaan manusia mengalami perkembangan. Kalau dulu untuk berperang manusia menciptakan pedang, panah, tombak, dan senjata tajam lainnya, sekarang manusia sudah bisa menciptakan nuklir yang bisa menghanguskan jutaan orang tak bersalah.”

Sekali lagi, anda boleh mengerjakan proyek penyusunan skripsi seperti yang pernah saya lakukan. Akan tetapi, nasib di antara kita mungkin tidak sama. Proses dan hasil yang anda peroleh bisa lebih buruk, bahkan bisa lebih baik dari saya. 

Kemudian ketika mulai mengerjakan skripsi sendiri, saya sudah tidak lagi menerima proyek lagi. Saya menolak. Karena setelah saya pikir-pikir, diam-diam dalam diri saya tersembul sesuatu yang tidak baik. Bukan sebab menganggap para mahasiswa itu malas —karena di antara mereka ada yang mengutarakan alasan kesibukan yang menjadikan mereka menyerahkan penyusunan skripsinya kepada saya— atau tidak mampu menyusun sendiri. Akan tetapi, suatu hipokrisi yang mengganggu saya. Ada semacam usaha penyederhanaan atas suatu masalah. Membikin gampang persoalan. Bayangkan bagaimana tidak?!

Lihat selengkapnya