Dunia Kecil; panggung & omongkosong

Syauqi Sumbawi
Chapter #7

Fragmen 07

Fragmen

TUJUH

Malam. Di pelataran langit timur, rembulan sedang bulat-bulatnya. Sinarnya yang perak kekuningan menyinari wajah bumi. Seperti mengawasi apa saja yang dilakukan makhluk-makhluk yang hidup di permukaannya. Bahkan yang berlindung dalam kesamaran semak-semak sekalipun. Angin bertiup lembut mengusap dedaunan, memberi isyarat bahwa semua yang ada di bumi membutuhkan sejenak waktu untuk mengendorkan tarikan nafas. Suasana di salah satu ruas jalan berkerikil di sebuah desa yang ada di bumi cukup meriah dengan kanak-kanak yang asyik dalam permainan. Di tengah berlangsungnya permainan, kadang mereka terlihat saling bersitegang, kadang pula bercanda dan tertawa. Para orang dewasa duduk berbincang-bincang menikmati suasana, bersantai menggelar tikar di pelataran rumah dan duduk-duduk bergerombol di beberapa amben bambu di bagian jalan yang berpotongan, sembari mengawasi anak-anak mereka dan generasi di bawah mereka dari kekacauan yang barangkali akan terpicu dari permainan yang curang. Sebagai manusia yang cukup asam-garam kehidupan, para orang dewasa merasa perlu melakukan pengawasan kepada mereka yang baru mengenal kehidupan. Nilai, norma, dan teladan harus diperkenalkan untuk menghindarkan mereka dari perilaku menyimpang yang meresahkan.

Di sebuah kamar tertutup dari salah satu rumah yang menghadap ke jalanan itu, seorang perempuan bermandikan keringat. Ia rebah menelentangkan tubuhnya yang lelah. Akan tetapi, sinar matanya memancarkan kebahagiaan yang sangat saat melihat bayi yang menangis untuk pertama kali. Aku yang menangis karena pukulan seorang perempuan tua pada punggungku. Di antara mereka berdua adalah Ibuku dan seorang dukun bayi.

Perempuan tua itu lalu memperlihatkan aku kepada Ibu yang tersenyum lega. Kemudian selembar selendang dibebatkan ke tubuhku. Setelah itu, ia memasukkan buntalan kecil kapas ke lubang telingaku. Itulah yang selalu dilakukan perempuan tua itu kepada manusia yang baru lahir. Apakah ia menyangka bahwa aku kedinginan? Takut aku terserang masuk angin? Atau barangkali ia berpendapat bahwa ketika seorang manusia lahir, pertama kali yang harus diajarkan kepadanya adalah kesopanan? Menutup kemaluanku yang menonjol ke depan. Memangkas gerak tangan dan kakiku. Agar aku menjadi tenang, tak menjejak-jejak dengan membabi-buta dan berhenti menangis. Akhirnya aku pun tahu, bahwa kenyamanan adalah syarat utama bagi manusia yang menginginkan kehidupan yang normal. Kondisi yang selalu berada dalam kendali.    

Dengan hati-hati perempuan tua itu kemudian membuka pintu kamar. Keluar memperkenalkan aku kepada orang-orang yang tersenyum gembira menyambut kehadiranku. Seketika aku menangis. Akan tetapi, mereka terus saja bergembira. Bahkan semakin bertambah saja mereka yang datang bergembira.

Kalau anda mengatakan bahwa yang terjadi adalah sebuah kontradiksi, maka hanya pada prosesi kelahiran, sebuah kontradiksi terjadi dengan wajar. Murni tanpa sesuatu yang menimbulkan kesenjangan.

Kemudian seorang laki-laki menyongsong kami dengan bergairah, seraya mengatakan sesuatu kepada perempuan tua yang menggendongku. Ia adalah Bapakku yang bertanya tentang jenis kelaminku. Seketika ia meluapkan kegembiraan setelah perempuan tua itu menganggukkan kepala, membenarkan harapannya. 

Laki-laki itu ingin menggendongku dan menunjukkan kepada orang-orang bahwa aku adalah putranya. Putra yang benar-benar akan menjadi jagoannya. Akan tetapi dengan isyarat perempuan tua itu, ia pun menggagalkan niatnya dengan rela. Ia kemudian berusaha melapangkan jalan bagi kami.

 Di sebuah amben kayu aku direbahkan oleh perempuan tua itu. Sebentar Bapak telah di hadapanku. Kemudian menyentuh pipiku dengan kelembutan sebuah tangan yang kekar, hitam, dan kasar.

Seorang laki-laki tua datang dengan senyum yang begitu meneduhkan. Garis-garis wajahnya menunjukkan bahwa ia seorang tua yang bijaksana. Ia meminta tempat di hadapanku kepada Bapak. Sebentar dengan telunjuknya ia meminta orang-orang diam. Kemudian ia mengambil kapas di telinga kananku, mengucapkan sesuatu dengan khusyuk, dan memasang kapas kembali. Selanjutnya ia melakukan hal yang sama pada telinga kiriku. Ia adalah Kakekku yang membacakan adzan di telinga kananku dan iqamah di telinga kiriku.

Selepas maghrib di hari ketujuh kelahiranku, Bapak mengundang para tetangga berkumpul di rumah. Ia bermaksud menyelenggarakan kenduri selamatan kecil atas kelahiranku. Kalau saja ia mempunyai uang lebih, ingin rasanya ia membeli dan menyembelih dua ekor kambing untuk Aqiqah. Dua ekor kambing yang dilambangkan sebagai tebusan atas anak laki-laki yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada kedua orang tuanya.

Sebagai wakil orang tuaku, seorang laki-laki tua yang disebut Modin kemudian memberitahu maksud undangan Bapak kepada para tetangga. Mengucapkan terima kasih atas kehadiran mereka. Memperkenalkan aku kepada dunia dengan sebuah nama pilihan Bapakku. Lalu Modin itu memimpin doa bersama. Doa; supaya kelak aku menjadi manusia yang sesuai dengan apa yang diharapkan. Setelah selesai, para tetangga pulang dengan tangan menyangking sebuah bungkusan; berkat.

Masa kecilku tidaklah istimewa dan membahagiakan. Malah sebaliknya. Siapa saja yang melihat kondisiku, seketika dia merasa tidak nyaman. Rasa kasihan mencuat tergambar di wajah mereka menatap tubuhku yang kurus-kering. Tidak banyak bergerak dengan mata yang sepanjang hari hanya terbuka sesekali. Tubuhku lemah tak berdaya. Dan sakit-sakitan. Entah, sudah berpuluh kali orang tuaku membawaku ke puskesmas, mantri suntik, dan dukun. Meminumiku dengan obat-obatan dan minuman berjampi. Namun, tak kunjung juga memperlihatkan hasil yang menggembirakan.

Kata para tetangga yang dikuatkan oleh seorang dukun, aku tak kuat menyandang nama. Sebuah anggapan bahwa nama adalah cita-cita, harapan, dan tugas yang dibebankan orang tua kepada anaknya terlalu berat untukku. Dan itu mengisyaratkan bahwa aku kepayahan, terseok-seok dan ambruk, tak kuat lagi menanggung tanggungjawab yang besar seperti yang diharapkan dari namaku. Para tetangga kemudian menyarankan kepada orang tuaku agar mengganti namaku. Karena terus-terusan melihat kondisiku yang mengenaskan, Bapak kemudian rela melepaskan keyakinannya dan harapan-harapan dari nama yang disandangkannya kepadaku. Ia pun mengundang para tetangga ke rumah untuk kedua kalinya. Melangsungkan kenduri selamatan mengganti namaku.

Bertindak sebagai wakil orang tuaku, Modin kemudian mengumumkan nama baru. Nama yang diharapkan cocok dan membawa perubahan pada kondisiku yang mengenaskan. Nama yang ringan-ringan saja sehingga aku bisa membawanya dengan mudah. Dapat kubawa berlari seperti seorang pelari dengan nomor dadanya di setiap perlombaan.

Sungguh aneh, kondisiku berangsur-angsur membaik setelah itu. Tiba-tiba aku menjadi seorang anak kecil yang trengginas. Bertubuh segar menggemaskan. Sorot mataku setajam mata elang. Aku memiliki tenaga yang memungkinkan bergerak seperti menjelajah. Tidak gampang kepayahan dan jatuh sakit. Aku memiliki gairah menyusu yang sangat besar melebihi anak-anak kecil lain seusiaku. Di usia tiga setengah tahun kegairahan itu belum juga hilang dariku. Kegairahan yang aneh, seperti anehnya perubahan kondisiku yang melonjak tajam setelah perubahan nama.

Kalau saja Bapak punya uang banyak, ingin rasanya ia membeli berkaleng-kaleng susu untukku. Akan tetapi, tidak. Bapak tak pernah punya uang banyak. Sebagai petani kecil, penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Makan makanan yang disesuaikan dengan statusnya yang kecil. Lidahnya tak cocok dengan makanan yang menghabiskan uang banyak. Dan Ibu pun kewalahan. Sepanjang hari waktunya habis untuk melunasi kegemaranku menyusu. Tubuhnya menjadi kurus sebab sari-sari makanan yang dimakannya habis kuhisap. Apalagi ia tak pernah menambah konsumsi makanan yang mengandung gizi lebih, seperti yang disarankan oleh dokter puskesmas. Para tetangga yang merasa nyaman dengan perubahan kondisiku, menjadi terusik ketika melihat kondisi Ibu yang mengenaskan. Namun, Ibu menjawabnya dengan tersenyum. Sebagai pengorbanan atas kasih sayangnya kepadaku, ia rela menjadi seperti itu. Ia sabar dengan tingkah anak pertamanya. Dan barangkali engkau akan mengatakan bahwa Ibu memiliki kesabaran yang lebih. Kesabaran seorang masochis.

Lihat selengkapnya