Fragmen
DELAPAN
“Itulah cerita tentang diri saya, Tuan Yangrana,” kata laki-laki itu tersenyum. “Bagaimana? Apakah anda menganggapnya aneh?!”
“Aneh?! Menurut saya itu cukup menggelisahkan.”
“Menggelisahkan?! Benar. Saya setuju. Kalau saja saya hidup di dunia, saya yakin orang-orang kemudian akan menggandakan kewaspadaannya kepada saya setelah mendengar cerita tadi. Bahkan mereka merasa perlu untuk curiga kepada saya. Maklumlah, masa kecil saya tergolong rawan untuk menjadikan saya sebagai individu yang akan meresahkan masyarakat. Rentan dengan penyimpangan. Benar begitu, Tuan?”
Yangrana tersenyum hambar. Sejenak ia menghisap cerutu ketiganya yang tinggal separoh di jepitan jari-jarinya itu.
“Tapi, ke mana sebenarnya Ayah anda pergi?!” kata Yangrana.
“Saya tak tahu pasti, Tuan. Ehm, begini. Kepada Kakek, laki-laki yang mengantar saya itu menceritakan bahwa dirinya malam itu melayani Bapak saya yang memesan dua buah tiket dengan tujuan luar propinsi. Ia membawa tas besar. Begitu juga dengan perempuan yang digandengnya masuk gerbong kereta. Dan akhirnya saya tahu bahwa sebelum pergi, ia terlebih dulu menjual tiga petak sawahnya.”
“Lantas, kenapa ia menyuruh anda menyadongkan tang…”
“Mengemis, maksud Tuan?!” potong laki-laki itu seraya tersenyum menatap Yangrana yang kemudian mengiyakan kepalanya.
“Yah. Memang begitulah manusia bersikap dengan sesuatu yang sensitif. Mencari bahasa lain yang lebih sopan ketika berbicara dengan orang yang bersangkutan. Tidak mengemis, melainkan menyadongkan tangan. Tapi, baiklah. Itu sah-sah saja. Kalau tidak begitu, sungguh, bahasa akan menjadi sesuatu yang vulgar, membosankan, serta gampang membikin manusia tersinggung. Akan tetapi, saya memang makhluk yang mendahulukan berbaik sangka, sebelum benar-benar mengetahui segala sesuatunya. Dan menurut saya, barangkali Bapak ingin mengajarkan sebuah pelajaran penting kepada saya sebelum pergi. Sebuah kesopanan lain, karena ia tak memiliki kewajaran untuk mengemis. Bapak masih muda dan sehat. Makanya, ia mengandalkan saya untuk lakukan suatu pekerjaan yang tak mampu dilakukannya,” lanjutnya.
Mereka diam. Yangrana kembali menghisap cerutunya. Sementara laki-laki itu tersenyum menatapnya.