Bagian
SEMBILAN
Apakah anda mengenal saya?! Lantas, kenapa anda begitu baik, menawarkan minuman gelas kepada saya? Apakah anda juga baik kepada semua orang? Jangan-jangan apa yang anda lakukan bertendensi, supaya saya memberikan simpati?!
Ah, barangkali orang yang duduk di belakang kita dan memperhatikan kejadian tadi akan menganggap saya kurang ajar. Tidak mengucapkan terima kasih, malah melontarkan ucapan yang tidak sopan kepada anda. Saru. Ya, saya tidak menyalahkan orang tersebut. Memang lumrahnya seperti ini, sebuah keramahan sewajarnya dibalas dengan keramahan pula. Baiklah, sekarang dengarkan saya; “terima kasih, atas minuman gelasnya.”
Lho, kenapa anda malah tertawa?! Konyol?! Malah nggak karuan, bukan?! Itulah yang sering terjadi, jika sebuah ungkapan yang tulus diucapkan terlambat.
Akan tetapi, apa anda tersinggung? Syukurlah, kalau begitu. Sejak semula memang saya sudah menduga bahwa anda bukan tipe orang seperti itu; gampang tersinggung. Makanya saya menggoda. Bercanda. Saya ingin keramahan yang sudah terjalin di antara kita naik satu tingkat, yaitu keakraban. Karena hanya dengan goda-menggoda dan canda, hal itu memungkinkan untuk terjadi.
Ngomong-ngomong, minuman gelas yang anda berikan kepada saya tepat pada waktunya. Tiba-tiba saya merasa haus atau ingin minum ketika melihat Yangrana minum air hujan dari langit paling tinggi itu. Bagi saya, meskipun hanya sekedar minuman gelas yang diambil dari mata air di pegunungan, yang dikemas, kemudian dijual dengan harga cukup terjangkau di pasaran, saya benar-benar merasa lega. Bukan dari mana air itu berasal; dari mata air pegunungan, air pam, air kelapa muda, air telaga, atau air hujan dari langit paling tinggi, yang menjadi penting. Akan tetapi, keserasian di antara keduanya. Saya haus dan anda memberi sesuatu yang bisa memenuhinya. Itulah sesuatu yang membahagiakan bagi saya. Dan meskipun sekedar minuman gelas, tidak sesuatu yang mahal seperti mobil dan intan permata, menurut saya, apa yang anda berikan merupakan kebajikan yang sempurna.
Yah, mari kita beromong-kosong lagi. Karena panggung masih gelap dan musik penutup adegan tadi belum mereda. Apalagi nanti disambung dengan musik pembuka adegan selanjutnya. Jadi, kita teruskan saja. Oke?!
Bagaimana dengan pengemis sendiri?! Apakah memberikan sesuatu kepada mereka juga merupakan kebajikan yang tepat sasaran? Sebagian kecil mungkin begitu. Kalau sebagian besarnya, entahlah.
Suatu kali pernah seorang gubernur berkomentar tentang sebagian anggota masyarakat yang disebut sebagai gepeng, kependekan dari gelandangan-pengemis, yang akhir-akhir ini banyak terlihat berkeliaran di ibu kota propinsi yang dikepalai-nya. Rasa tidak nyaman yang kemudian membikin gubernur itu menghimbau kepada dinas sosial di daerahnya agar kawanan gepeng tadi ditampung, diberi pelatihan kerja, kursus-kursus, dan diklat, supaya mereka bisa berproduksi. Tidak menyadongkan tangan. Mengemis. Memasang wajah yang memunculkan rasa kasihan. Menggantungkan hidupnya pada rasa belas kasihan orang lain. Iya, kalau rasa kasihan itu masih ada pada diri manusia?! Tapi, kalau sudah dibunuh oleh yang bersangkutan sebab merasa terganggu olehnya, bagaimana?!
Karena sungguh pemandangan yang njomplang, bertolak-belakang, jika di sebuah supermall, orang-orang kaya sibuk melayani nafsu konsumerisme-nya, sementara para gepeng dengan ringan menyandongkan tangan, menunggu tangan mereka yang sudah penuh membawa belanjaan itu untuk mengulurkan tangan. Apakah orang-orang kaya tadi perlu meletakkan barang belanjaannya di lantai dan membuka dompet untuk memenuhi rasa belas kasihannya yang muncul dengan dorongan setelah melihat gepeng-gepeng tersebut? Ataukah mereka segera meletakkan belanjaannya di bagasi taksi, yang mereka suruh untuk segera pergi agar di pojok kaca matanya gepeng-gepeng itu tidak ada lagi? Mungkin juga mereka berkilah; “Biarkan saja. Itu urusan dinas sosial.”
Modernisasi dan pembangunan memang membutuhkan profesionalisme. Segala sesuatu harus ada yang menanganinya; lembaga-lembaga yang punya ruang-lingkup kerja masing-masing. Namun, apakah dengan begitu rasa kepedulian sosial yang ada pada diri kita sebagai manusia lantas nganggur? Atau jangan-jangan, dengan acuh tak acuh kita telah membunuhnya?!
Pembangunan memang harus bagi negara yang terus berkembang ini. Akan tetapi, kenapa selalu ada yang menjadi korban? Atau dijadikan korban? Kenapa setiap supermall baru dibangun, tiba-tiba sudah di kerumuni para gepeng? Ini yang salah itu…