Dunia Kecil; panggung & omongkosong

Syauqi Sumbawi
Chapter #14

Fragmen 14

Fragmen

EMPATBELAS

Matahari menggurat jingga di timur cakrawala pagi itu. Di atas aspal jalanan, mobil pick-up perlahan membawaku pergi ke kota. Kakek duduk dengan ketenangan seorang tua yang bijaksana di sebelah kiriku. Wajahnya jernih. Matanya jauh menerawang ke depan. Aku tak punya indera keenam untuk mengetahui apa-apa yang melintas dalam benaknya. Ia bercelana dan berkemeja. Sebuah peci hitam menutupi sebagian rambutnya yang putih, menampakkan ketampanan dan kegagahannya di masa muda. Paman Rasiman yang duduk di sebelah kananku dan memegang kemudi juga berpakaian seperti Kakek. Begitu juga dengan empat orang tetangga yang duduk di bak mobil yang ikut mengantar kepergianku. Sementara yang membedakan antara aku dengan mereka, para laki-laki itu; aku yang memakai sarung dan aku yang sebentar lagi akan menjadi seorang laki-laki. Benar. Mobil pick-up ini menuju ke rumah seorang calak di kota. Dan sebentar lagi, aku akan dikhitan. Akan menjadi seorang laki-laki, begitu kata para tetangga tentang anak laki-laki yang telah melaksanakan khitan.

Di depan sebuah rumah, mobil pick-up yang membawa kami berhenti dan parkir di antara tiga mobil lain. Aku berpikir bahwa kami telah sampai di tujuan. Setelah turun, Kakek kemudian menggandengku memasuki halaman rumah. Beberapa orang yang berada di beranda depan rumah calak itu mengawasiku. Pandangan mata mereka seperti mengatakan bahwa setelah peristiwa ini selesai, aku menjadi seorang laki-laki. Namun, aku hanya diam dengan perasaan berbunga. Sebentar seorang laki-laki keluar dengan menggendong seorang anak laki-laki diikuti dua orang laki-laki. Kuperhatikan anak laki-laki itu yang berpakaian sama sepertiku. Ia tak menangis dan tak mengeluarkan airmata. Tapi, mulutnya tak henti-henti mengeluarkan gumam kesakitan. 

“Duduklah,” kata Kakek kemudian masuk ke sebuah ruangan.

Pada sebuah kursi di ruang tunggu, kulihat anak laki-laki duduk tak jauh di hadapanku didampingi seorang laki-laki. Aku berpikir usia anak laki-laki itu beberapa tahun di atasku dan ia juga akan dikhitan. Sejenak kami saling bertatapan mata. Aku tersenyum kepadanya.

Tiba-tiba suara gaduh meluncur dari sebuah ruangan. Jerit seorang anak laki-laki yang tengah dikhitan.

“Tenang,” kata Paman Rasiman yang duduk di sebelah kiriku sembari menepuk-nepuk pundakku pelan. Aku tersenyum. Kemudian kuberikan senyumku kepada anak laki-laki di hadapanku itu, ketika ketakutan melintas di wajahnya. Namun, ia hanya diam dan mengalihkan matanya dariku.

Seorang anak laki-laki keluar dari sebuah ruangan didampingi seorang laki-laki. Kemudian terdengar panggilan giliran berikutnya. Seorang laki-laki yang duduk dihadapanku segera berdiri, lalu berjalan menggandeng anak laki-laki itu memasuki ruangan.

Kuperhatikan anak laki-laki yang baru saja dikhitan itu. Langkahnya pelan dan berhati-hati. Tangan kanannya menarik sarung yang dipakainya itu ke depan. Wajahnya terlihat bingung. Seperti tak tahu apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Saat dia melihatku, kuberikan senyum kepadanya.

Dalam diam aku teringat malam hari sebulan yang lalu. Ketika itu aku baru pulang dari mengaji di mushala.

“Kek, kapan aku khitan?”

“Kau mau dikhitan?” kata Kakek. Aku mengangguk.

“Kakek merasa senang kamu ingin khitan. Karena khitan sendiri merupakan perintah agama. Di samping itu, untuk menjaga kebersihan pada kemaluanmu,” lanjutnya. Aku tersenyum.

“Baiklah, kalau begitu. Kakek akan persiapkan kapan harinya kamu akan dikhitan.”  

Beberapa hari kemudian, Kakek memanggil anak-anaknya ke rumah. Kepada mereka, Kakek mengutarakan maksudnya.

“Kalian tahu sendiri, dia sudah tak punya Bapak dan Ibu. Kalau bukan aku, lalu siapa yang akan mengkhitankan keponakan kalian itu. Untuk itu, aku minta pengertian dari kalian sebagai Pamannya,” kata Kakek.

Mereka diam dan setuju. Kemudian bersama mereka, Kakek me-rembug kapan harinya aku akan dikhitan. Begitu juga acara perayaan kecil-kecilan. Dan malam tadi, Kakek mengundang para tetangga datang ke rumah. Ia mengadakan selamatan untukku. Minta doa dari para tetangga, agar apa yang menjadi rencana Kakek sekeluarga dapat berjalan dengan lancar dan mendapat ridla-Nya. 

Kulihat Kakek keluar dari ruangan itu. Langkahnya tenang dan wajahnya membentuk senyum.

“Habis ini?” kata Paman Rasiman kepada Kakek.

“Iya.” Kakek tersenyum duduk di sebelah kananku.

Aku tersentak ketika tiba-tiba terdengar jeritan disertai suara tangis dari ruangan itu.

“Tenang. Tidak apa-apa,” kata Paman Rasiman seraya menepuk-nepuk pundakku pelan.

Sebentar kualihkan mataku dari Paman Rasiman kepada Kakek. Wajahnya yang jernih seketika membuatku tenang. Kakek tersenyum. Dan aku menjadi tak gentar. Meskipun suara tangis itu masih terdengar mengaduh.

“Jangan takut. Tidak sakit, kok,” kata Paman Rasiman lagi. Aku tersenyum. “Kalau tak percaya, nanti coba kaurasakan sendiri. Paman tidak bohong.” 

Kenapa anak laki-laki itu menangis? Apakah ia benar-benar merasakan kesakitan? Atau jangan-jangan…? pikirku. Dalam diam, aku teringat beberapa tetangga yang mengungkapkan bagaimana sakitnya saat dikhitan.

“Bagaimana tidak sakit?! Kemaluanmu akan dipotong dengan kapak. Iya, kalau tepat ujung kulitnya yang terpotong. Kalau batang kemaluanmu yang terpotong?” begitu kata mereka.

Kemudian kutanyakan hal itu kepada Paman Rasiman.

Ah, jangan percaya. Mereka hanya bermaksud menakut-nakuti saja. Coba bayangkan! Kalau memang begitu caranya, dipotong dengan kapak, mungkin Paman tidak akan mau dikhitan. Orang lain mungkin juga tidak mau,” jawab Paman Rasiman.  

Kemudian aku teringat perkataan seorang tetangga sebelum berangkat tadi. Ia menyuruhku untuk tidak menangis saat dikhitan nanti. Katanya: “…kalau kamu menangis, maka saat kamu dewasa nanti, kamu akan beristri seorang janda.”

Kucoba menguatkan hati. Akan kuhadapi semua ini dengan tegar dan berani. Aku tak akan menjerit dan menangis meski sesakit apapun. Aku ingin menjadi seorang laki-laki, batinku. 

Aku tersentak kembali ketika terdengar panggilan dari ruangan itu. Serentak Kakek dan Paman Rasiman berdiri. Kemudian menggandengku menuju ruangan itu. Ketika berada di depan pintu, aku berpapasan dengan anak laki-laki yang menjerit dan menangis saat dikhitan tadi. Wajahnya masih bersimbah airmata. Sementara seorang laki-laki yang membimbingnya terus-menerus menenangkannya. Saat bertatapan mata denganku, ia buru-buru mengalihkannya dariku. Entahlah, mungkin ia malu.

Ada dua orang laki-laki di ruangan itu. Seorang berpeci putih dan umurnya sepantaran Kakek. Ia yang tadi menyambut kami. Seorang lagi berpakaian seperti dokter. Ia duduk di belakang meja dan umurnya sepantaran Paman Rasiman. Dari senyum yang menghias wajahnya, tampaknya mereka adalah orang yang ramah.

“Duduk sini, Nak,” kata laki-laki berpeci putih itu tersenyum. Aku menjatuhkan tubuhku pada kursi dengan sandaran yang panjang. Kakek dan Paman Rasiman masih mendampingi dengan berdiri di kanan-kiriku.

“Sebentar, ya,” kata laki-laki berpeci putih itu kemudian merapikan persiapannya. Aku tersenyum.

Kujelajahkan mataku mengawasi apa-apa yang ada di depanku. Sebuah ember kecil bertutupkan kain putih tergeletak di atas meja kecil di sudut kamar. Juga beberapa botol obat luka. Di atas meja tak jauh di depanku, selembar kain putih menutupi sesuatu yang tampak menonjol di sana. Entah, apa sesuatu itu. Aku menduga sesuatu itu adalah alat-alat khitan. Sebentar kujelajahkan lagi mataku. Aku pun lega, sebab tak kutemukan kapak ada di sana.

“Sudah kelas berapa, Nak?” kata laki-laki berpeci itu setelah berada di depanku.  

“Kelas satu,” kataku.

Dengan senyum di wajah, laki-laki itu mengisyaratkan untuk membuka sarung yang kupakai. Kemudian Paman Rasiman mendongakkan kepalaku, bersandar di kursi menatap langit-langit kamar. Sejenak kurasakan gerakan-gerakan di kemaluanku. Entahlah, tiba-tiba saja muncul sebuah keinginan. Aku ingin mengetahui semua proses yang dilakukan laki-laki berpeci putih dalam mengkhitanku. Menyaksikan proses diriku untuk menjadi seorang laki-laki.  

Aku mencoba melihat yang dilakukan oleh laki-laki berpeci putih itu. Akan tetapi, Paman Rasiman segera menutup mataku dengan telapak tangannya. Aku meronta, mencari celah untuk bisa melihatnya. Paman Rasiman kemudian menyuruhku tenang dengan tangannya yang menutup mataku lagi. Sekali lagi aku meronta.

“Biarkan saja, Man. Tidak apa-apa,” kata Kakek memahami keinginanku.

“Ya, biarkan saja. Kalau dia ingin melihat,” tambah laki-laki berpeci putih itu. Paman Rasiman menarik tangannya yang menghalangi mataku.

Laki-laki berpeci putih itu mengambil sebuah alat dari balik selembar kain putih di meja, lalu menjepitkannya di kulit ujung kemaluanku. Alat itu terlihat berfungsi sebagai pemberat yang menarik kulit ujung kemaluanku keluar. Kemudian laki-laki berpeci itu menjepit kemaluanku dengan penjepit dari kayu, yang berfungsi sebagai pembatas antara kemaluanku dengan kulit kemaluan yang akan dipotong. Sebentar kemudian mataku melihat ia mengambil sebuah pisau kecil.

“Tenang saja. Tidak sakit,” kata laki-laki berpeci putih itu tersenyum, seperti mengetahui aku yang sedikit takut. Sejenak aku mengarahkan mataku ke langit-langit kamar. Dan tiba-tiba….

Bismillahirrahmaanirrahiim.” Maka, terpotonglah kulit ujung kemaluanku.

Untunglah. Dengan ekor mata, aku melihat saat laki-laki berpeci putih itu memotongnya. Tak sampai satu detik dan tak terasa sakit. Hanya terasa getaran yang keluar di ujung kemaluanku.  

“Tidak sakit, bukan,” kata laki-laki berpeci putih itu tersenyum. Sebentar aku arahkan mataku kepada Kakek dan Paman Rasiman bergantian. Mereka tersenyum gembira.

Ee, jangan dibuang!” kataku refleks saat mengetahui kulit kemaluanku akan dimasukkan ke dalam ember di atas lemari kecil.

“Anak ingin membawanya pulang?” katanya tersenyum. Aku mengangguk. Kudengar Paman Rasiman dan Kakek tertawa kecil.

Ah, ada-ada saja,” komentar Paman Rasiman. Kupandangi sejenak kulit kemaluanku yang baru saja diberikannya kepadaku.

Laki-laki berpeci putih itu membalut kemaluanku dengan pembalut yang telah diolesi obat luka. Kemudian ia mengikatnya dengan tali putih dari kain pembalut. 

Lihat selengkapnya