Dunia Kecil; panggung & omongkosong

Syauqi Sumbawi
Chapter #16

Fragmen 16

Fragmen

ENAMBELAS

Ah, jangan memandang saya seperti itu! Yah, begitu. Terima kasih. Anda tahu?! Apa yang anda lakukan barusan, membikin saya seolah menjadi orang yang dicurigai.

Apa?! Yang keras sedikit. Tidak kedengaran. Kalah dengan suara musik.

Ooo, begitu. Anda ingin tahu cerpen yang ditulis oleh cerpenis teman saya tentang bagaimana pendiam-nya saya?! Baiklah. Dan inilah dia…

***

Sebagai seorang laki-laki, sebenarnya berapa teman perempuan anda? Hanya beberapa. Atau sepuluh. Seratus. Seribu. Barangkali seratus ribu dua ratus lima puluh enam. Tak terhitung. Ya, terserah berapa anda menyebutkan. Akan tetapi, Saya pasti akan meragukan jika anda mengatakan bahwa teman perempuan anda sebanyak jumlah perempuan yang hidup di dunia sekarang ini. Apakah benar demikian?!

Berarti anda juga berteman dengan perempuan yang disebut pelacur, artis film porno, perempuan pijat plus, pengemis, gelandangan, perempuan panti jompo, pengidap HIV/AIDS, perempuan abnormal baik fisik maupun mental, perempuan jalang, perempuan yang dianugerahi wajah yang tidak menarik dan lain-lainnya. Saya pasti akan bersyukur jika memang demikian. Dan menurut Saya, hal itu merupakan ide yang sungguh baik sekali. 

Berbicara tentang teman perempuan, bagi Saya akan memunculkan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Kalau anda menyangka bahwa selama ini Saya hidup sendirian di dalam goa yang dingin, gelap, dan mencekam atau hidup seperti Tarzan di hutan bersama para binatang, anda sepenuhnya keliru. Kenyataannya Saya hidup normal. Sebagai makhluk dengan naluri gregoriousness, Saya hidup bermasyarakat. Saya tidak anti sosial. Tidak berpandangan bahwa neraka adalah orang lain.[1] Saya pun kerap terlihat berkomunikasi dengan perempuan.

Di samping itu, sejak dari SD sampai Universitas, Saya sekelas juga dengan para perempuan. Bahkan pernah duduk berdua dengan beberapa dari mereka. Akan tetapi, Saya menganggap mereka bukan teman-teman Saya. Mereka tak lebih seorang asing yang kerap bertemu dengan Saya yang berbicara. Saya pun bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka meskipun seperlunya saja yang kemudian berakhir dengan kepergian mereka meninggalkan Saya. Karena dasar Saya yang tidak bisa beramah-ramah dengan mereka, beberapa di antara mereka diam-diam memberikan julukan laki-laki dingin atau laki-laki dari pulau salju atau The Ice Man kepada Saya. Dan karena mereka mampu bersuara hingga menembus telinga pendengarnya, maka teman laki-laki Saya kadang-kadang menyebut julukan itu kepada Saya dalam olok-olok dan canda.

Kalau anda menyangka selama ini Saya akrab dengan laki-laki, Saya mengiyakannya. Akan tetapi, Saya pasti akan menolak mentah-mentah jika anda mengatakan bahwa Saya seorang gay. Tidak. Sekali tidak. Sebaiknya anda cepat-cepat mengunci pikiran dan mulut anda sebelum terlambat.

Baiklah. Saya terima julukan-julukan semacam itu. Laki-laki dingin atau laki-laki dari pulau salju atau The Ice Man, Saya masa bodoh. Asal tidak laki-laki tanpa syahwat. Saya pasti akan marah. Karena hal itu berarti penolakan terhadap keberadaan Saya sebagai manusia. Juga asal tidak laki-laki tanpa cinta, Saya paling sebel dibilang seperti itu. Karena pada kenyataannya, Cupid, si bocah bersayap yang dianggap sebagai dewa cinta itu beberapa kali terbang datang kepada Saya dengan busur dan anak panah. Menembus jantung Saya. Menjadikan Saya jatuh cinta kepada beberapa perempuan. Akan tetapi, Saya tak pernah berkekasihan dengan mereka. Bukan sebab mereka menolak, melainkan Saya sendiri yang tak pernah mengungkapkan perasaan cinta Saya kepada mereka. Karena hal itu, seorang teman mengatakan bahwa Saya pecinta sejati.

Sebenarnya, Saya termasuk laki-laki yang mudah sekali tertarik kepada perempuan. Setiap kali melihat perempuan cantik, segera hati Saya tertawan. Entah. Sampai sekarang sudah berapa puluh atau ratus atau ribu jumlahnya perempuan yang membuat Saya tertarik kepadanya. Akan tetapi, sebentar kemudian Saya sudah lupa ketika mereka hilang dari pandangan mata Saya. Dan Saya tak pernah benar-benar mempunyai keinginan untuk menemui mereka.

Kemudian entah sejak kapan, Saya kerap merasa aneh dengan anggapan Saya ketika melihat dua atau tiga atau empat orang perempuan yang berjalan bersama. Dalam pandangan Saya, seorang perempuan akan kelihatan lebih cantik ketika bersama dengan teman perempuannya daripada kalau berjalan sendirian. Pada saat itu, di depan Saya tiba-tiba muncul sesosok perempuan ideal, yang tak lain adalah gabungan dari dua atau tiga atau empat orang perempuan itu. Mereka saling menutupi kelemahan masing-masing. Dan barangkali perempuan itu yang Saya jatuh cinta kepadanya.

Lantas pada malam harinya saat rebah di punggung kasur, Saya sering mengajak perempuan itu berbicara dan bermain. Bercanda dan tertawa. Berpacaran dan berkekasihan. Karena Saya sering tidak terkontrol dalam bersuara, seorang teman laki-laki pernah memergoki Saya.

"Apa yang kaulakukan?! Kau gila, ya," katanya kepada Saya yang tengah tertawa terpingkal-pingkal karena perempuan itu bercerita tentang sesuatu yang lucu. Tentu saja, Saya kaget. Dan hancurlah suasana yang terbangun di antara Saya dan perempuan itu.

"Tertawa nggak karuan. Kalau ada temannya nggak masalah. Kalau sendirian bisa bahaya," kata teman Saya lagi.

"Siapa bilang nggak ada temannya," kata Saya.

"Jin temannya," kata teman Saya kemudian pergi dengan geleng-geleng kepala.

Lihat selengkapnya