Dunia Kecil; panggung & omongkosong

Syauqi Sumbawi
Chapter #17

Fragmen 17

Fragmen

TUJUHBELAS

Di atas ranjang kayu, tubuh Yangrana meringkuk seperti udang. Kedua kakinya ditekuk, mengempit kedua tangannya menahan dingin. Kemudian bunyi derit pun keluar mengusik kebisuan oleh tubuh Yangrana yang menelentang. 

Sedikit demi sedikit Yangrana mengeluarkan kedua bola matanya seperti matahari yang keluar memberi pagi. Keadaan kamar masih seperti kamar saat ia bangun sebelum itu.               

Yangrana bangkit diiringi bunyi derit. Duduk di pinggir ranjang kayu. Rasa pegal di tubuhnya membuatnya menggerakkan tangan memijit tengkuknya. Kemudian ia berdiri seraya menggerak-gerakkan anggota tubuhnya. Melepaskan kekakuan yang menempel di sana, yang menjadikan tubuhnya terasa berat. Ia bergerak seperti orang yang sedang melakukan olahraga ringan. Pemanasan.

Perlahan Yangrana melangkah menuju meja. Mengambil botol minuman, menuangkannya separuh dalam gelas, dan meminumnya. Kemudian kehangatan menyebar ke sekujur tubuhnya.

“Dunia kecil?” kata Yangrana selepas meletakkan gelas di permukaan meja. Matanya jauh menerawang menembus cahaya obor yang bergoyang-goyang. Sementara pikirannya masih menjangkau-jangkau ke sana ke sini.

“Apakah dunia kecil? Kenapa aku bisa di sini? Terdampar? Aneh?!” katanya kemudian diam.

Yangrana melangkah mendekati pintu yang tampak kokoh, tebal, dan berat itu. Ia raba sebentar tubuh pintu itu. Tak ada lubang kunci untuk mengintip keluar. Hanya gagangnya yang sekelam daun pintu yang menutup rapat kamar itu. Sebentar Yangrana menggerakkan gagang pintu ke bawah dan menariknya. Namun, daun pintu itu tak juga bergerak membuka. Yangrana mencoba menariknya lebih keras lagi. Lebih kuat lagi. Lebih bertenaga lagi. Akan tetapi, sampai akhirnya napasnya tersengal-sengal dan lelah, daun pintu itu senantiasa dalam keadaannya. Tidak juga bergerak meski satu milimeter pun. Seperti batu yang besar dan berat.

Sejenak Yangrana mengatur nafasnya. Mengumpulkan kembali tenaganya. Kemudian menumpukan semua kekuatan yang dipunyai tubuhnya untuk membuka daun pintu itu. Lantas menariknya.

Aahhhhhh….    Bajingannnnnn…….”

Dan breekkk. Tubuh Yangrana terlepas dari keseimbangan. Jatuh ke lantai. Yangrana meringis kesakitan.

“Bangsat! Kenapa aku di sini…?! Dunia kecil keparat!” umpatnya seraya menendang-nendang daun pintu. Sebentar ia menyurukkan wajahnya ke lantai. 

Perlahan terdengar Yangrana mengisakkan tangis. Ia meratap tak berdaya dengan kekuatan yang mengurungnya. Ingin segera keluar dari kamar itu. Semuanya. Dunia kecil.

Tidak terlalu lama berselang, Yangrana mengangkat kepalanya. Kemudian tubuhnya. Ia duduk dengan menekuk kedua lututnya yang dilingkari dengan kedua tangannya. Wajahnya kusut-masai. Sisa tangis masih tertinggal di sana. Dan pandangan matanya menerawang jauh mengarah pada lubang-lubang persegi pada dinding di atas jendela yang kelabu.

Tiba-tiba Yangrana berdiri. Mendekati jendela. Kemudian membukanya.

Aahhhh…” sentaknya seraya melempar daun jendela menutup kembali. Melepaskan diri dari cahaya yang menggerus bola matanya seperti silet.

“Keparat! Sialan!”

Yangrana menggerakkan jari tengah tangan kanannya mengucek matanya yang terasa pedih. Sebentar dengan mengerjap-ngerjap, ia membuka matanya. Saat itulah, Yangrana menemukan seorang laki-laki muda telah berada dalam kamar dan tengah menutup daun pintu kembali.

Assalamu ‘alaikum,” kata pemuda itu tersenyum mendekat.

Yangrana diam mengawasi pemuda itu yang seperti tak asing di matanya. Ia mirip dengan pelayan yang datang dengan seseorang yang disebut Papa. Akan tetapi, yang membedakan di antara keduanya adalah pemuda itu memakai sarung, kemeja, dan peci.

Assalamu ‘alaikum, Tuan Yangrana,” kata pemuda itu lagi.

Lihat selengkapnya