Fragmen
DUAPULUH
Angin berhembus menyiramkan hawa yang begitu dingin. Tak seperti biasanya. Entahlah. Atau barangkali ini disebabkan bahwa aku yang merasa sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Sendiri di dunia ini. Dan benar kata Bibi, seorang anak laki-laki harus bisa hidup sendiri. Tidak bisa lagi menggantungkan hidup pada orang lain. Apalagi untuk aku yang sudah bukan anak kecil lagi. Lima belas tahun berjalan.
Malam bertambah larut. Daun-daun dan batang pepohonan beku, kaku, dan bisu. Bulan pucat terus merambat ke barat. Taburan bintang menggigil dalam kerlap-kerlip keperakan. Jalanan sepi dengan lalu-lalang. Sementara dari perempatan jalan pos kamling, suara gamelan menyelusup dalam remang, terdengar merdu dan syahdu. Tak seperti biasanya. Padahal, hampir tiap malam aku tak pernah menemukan keindahan suaranya ketika gamelan itu ditabuh oleh sekelompok laki-laki setengah baya, para tetangga yang bersantai melepas lelah selepas seharian bekerja—hanya saat Agustus-an saja mereka pentas—. Namun, kali ini berbeda. Suara gamelan itu merasuk ke dalam dada. Mendesir darah. Seperti mengerti tentang keberadaanku. Ah, entahlah. Mungkin ini disebabkan bahwa aku yang merasa sudah tak punya siapa-siapa lagi. Sebatang kara di dunia ini.
Dalam remang cahaya bulan, seseorang menyusuri jalanan di depan sembari menghisap rokok. Entah, siapa?! Tak begitu jelas. Hanya rokoknya saat dihisap yang jelas membara di mataku. Sebentar ia bertambah dekat dan memasuki halaman. Menghampiriku. Kuperhatikan seseorang itu. Langkahnya pelan dan berat.
“Rupanya kamu di sini,” kata Paman. Ia menghempaskan tubuhnya di sampingku. Pada amben tua di beranda depan rumah Kakek yang tak berpenghuni lagi. Aku menengok ke arahnya. Dengan ekor mata, aku melihat Paman menghisap rokoknya dengan sekali hisapan keras, lantas membuang puntungnya. Asap keluar bersama hembusan keras mulutnya, yang kemudian hilang ditelan remang.
“Maafkan Bibimu,” katanya setelah diam menghembuskan nafas berat.
“Tidak, Paman. Malah saya yang seharusnya minta maaf. Telah membuat Paman dan Bibi bertengkar.”
Ia kembali menghembuskan nafas berat.
“Aku bingung dengan Bibimu. Baru sekarang dia seperti itu. Apa yang sebenarnya telah merasuki pikirannya? Tidak seharusnya dia berkata begitu.”
“Bibi berkata benar. Memang sudah seharusnya saya bisa mandiri. Tidak menggantungkan hidup pada orang lain.”
“Ini lain, Nak. Kamu bukan orang lain. Tapi keponakanku. Anak Mbakku. Cucu Bapakku. Kamu sudah kuanggap sebagai anakku sendiri….,” Paman menghembuskan nafas berat sejenak. “Ah, kalau saja Ibu dan Bapakmu masih ada. Kakekmu pun masih ada. Barangkali kamu tidak akan mengalami hal seperti ini. Akan tetapi Bibimu tak mengerti hal itu.”
Kami larut dalam kebisuan. Di udara, suara gamelan mereda. Sebentar digantikan olok-olok dan canda para tetangga. Mungkin benar kata Paman, kalau saja mereka masih ada, pikirku tentang Ibu, Bapak, dan Kakek. Namun sudah menjadi nasibku hidup seperti ini.
“Ah, sudahlah,” kata Paman menepuk pundakku pelan. “Ayo, kita pulang!”
“Saya tidur di sini saja, Paman.”
“Kamu bisa masuk angin, tidur di luar. Dingin sekali. Ayo!”
“Tidak, Paman. Sudah tiga bulan ini, sejak Kakek meninggal, saya tidak pernah lagi tidur di sini,” kataku meminta pengertiannya. “Saya kangen tidur di sini. Nanti saja kalau sudah tidak kuat dinginnya lagi, saya akan ke rumah.”
Paman diam menatapku sejenak.
“Baiklah kalau begitu. Pintu rumah tidak Paman kunci,” katanya kemudian beranjak.
“Paman, besok saya mau pergi ke Sanur,” kataku.
“Ada apa?”
“Tidak. Hanya sudah lama sekali saya tidak pernah ke sana lagi. Saya ingin tinggal di sana beberapa hari,” kataku.
“Hanya beberapa hari saja, toh?”
“Iya.”
“Terus, sekolahmu bagaimana?”
“Saya berangkat dari sana.”
“Ehm, ya, sudah. Terserah kamu saja,” katanya kemudian diam. “Ayo, Paman pulang dulu.” Aku mengangguk.
Kuawasi Paman berjalan menuju jalanan. Langkah kakinya pelan dan berat. Entah, apa yang bersarang di kepalanya. Aku merasa tidak enak dengan Paman. Tiba-tiba saja aku ingin tidur di sini. Tinggal di rumah Ibu di Sanur. Mungkin Paman akan menganggapku sengaja ingin menjauh dari rumahnya. Memang benar. Akan tetapi, lebih jauh dari itu. Aku ingin mandiri. Harus bisa hidup sendiri. Tidak menggantungkan hidup pada orang lain. Seperti kata Bibi sore tadi. Dan aku tak ingin menjadi sebab pertengkaran mereka berdua.
Malam terus larut dalam dingin. Daun-daun dan batang pepohonan masih beku, kaku, dan bisu. Suara gamelan masih terdengar di remang malam. Syahdu. Paman sudah hilang dari penglihatanku. Sebentar aku merebahkan badan pada amben tua di beranda depan rumah Kakek yang sudah tiga bulan ini tak berpenghuni.
Pagi-pagi sekali aku pergi ke Sanur dengan bersepeda onthel peninggalan Kakek yang sebulanan ini kupakai pergi ke sekolah menengah umum di kota. Matahari belum kelihatan. Hanya gurat-gurat jingga di timur cakrawala yang menandai kehadirannya. Ketika angin bertiup menerpakan dingin, pori-pori di sekujur tubuhku merinding. Jalanan cukup sepi dengan lalu-lalang. Maklumlah, pagi itu hari minggu. Tidak seperti hari-hari biasanya di mana jalanan selalu ramai dengan para siswa yang berangkat sekolah. Begitu juga dengan para pegawai yang berangkat kerja.
Ketika memasuki Sanur, aku mengurangi laju sepeda sembari memperhatikan keadaan sekitar. Di sepanjang jalanan, anak-anak kecil laki-laki dan perempuan tengah berkumpul dan bermain di beberapa tempat. Mereka tersenyum dan bergembira seperti menyambut kedatanganku kembali. Mengingatkanku pada masa kecil. Beberapa laki-laki setengah baya pergi ke sawah dengan bercaping bambu dan cangkul bertumpu di pundaknya. Di beberapa kios pedagang bahan-bahan dapur, satu-dua perempuan berbelanja sisa-sisa sayur dan lauk-pauk untuk sarapan. Seiring jarum jam memenggal, keadaan sedikit-banyak mengalami perubahan. Di sepanjang jalan yang kususuri, tanah-tanah yang dulu kosong tempat kami; anak-anak kecil bermain, kini telah banyak digantikan bangunan rumah.
Sudah lama sekali, pikirku. Benar. Terakhir kali aku ke Sanur adalah sembilan tahun yang lalu. Saat Kakek mengajakku untuk mengambil semua barang-barang milikku untuk dibawa pindah ke rumah Kakek. Sementara rumah dan pekarangan, dititipkan penjagaannya kepada Bapak Marijan. Selama ini, hanya dua-tiga kali saja Bapak Marijan pergi ke rumah Kakek. Di setiap kedatangannya, biasanya dia sendiri dengan membawa setengah karung buah mangga. Kata Kakek, itu adalah hasil dari beberapa pohon mangga yang tumbuh di pekarangan rumah Ibu dan Bapak, yang sebagian besarnya telah dijual oleh Bapak Marijan. Dan hasil penjualannya, separoh diberikan kepada Bapak Marijan. Separoh lagi Kakek simpan untuk diriku.
Sungguh. Mereka begitu baik, pikirku tentang keluarga Marijan. Lantas bayangan Uma kecil berkelebat di pikiranku.
Tidak lama berselang, rumah itu pun terlihat di mataku. Seperti umumnya rumah-rumah yang tak berpenghuni, rumah itu terlihat tua. Kusam dan tidak terawat. Ketika memasuki halaman, aku banyak menemukan rumput kering dan alang-alang tumbuh beranak-pinak. Jatuhan daun-daun kuning tua berserakan di tanah. Perlahan aku turun dari sepeda. Diam memandangi rumah itu. Setapak demi setapak aku seperti dibawa mesin waktu mengunjungi masa lalu. O, betapa Ibu yang kurus dan penuh mencurahkan kasih sayang hingga akhir hidupnya. Betapa Bapak yang lemah dengan segala kebencian yang ada pada diriku kepadanya.
Aku mengambil sesuatu yang jatuh bertumpu di kepalaku, yang mengembalikan aku pada kenyataan. Selembar daun mangga kering dan rapuh. Setelah menjatuhkannya ke tanah sembari mengibaskan kotoran di kepala, kuarahkan kaki menuju beranda depan. Di sana, sebuah amben tempat aku dulu menunggu Bapak pulang itu penuh debu dan telah lapuk termakan usia. Sebentar aku mengawasi bagian depan rumah. Semuanya tampak masih kokoh. Hanya kotor tak terawat. Sementara pintu rumah dalam keadaan terkunci.
Buru-buru kutolehkan wajah ketika ekor mataku menangkap bayangan berkelebat di beranda depan keluarga Marijan. Buru-buru kutolehkan wajahku. Akan tetapi, ia telah menghilang ke dalam rumah. Apakah Uma?, pikirku. Tidak lama waktu berjarak, Bapak Marijan keluar. Tersenyum menyapa. Aku menghampirinya.
Setelah bercakap-cakap seperlunya dengan Bapak dan Ibu Marijan, aku kembali dengan membawa kunci rumah yang selama ini disimpan oleh mereka. Sepanjang perjalanan, aku bertanya-tanya sendiri tentang Uma. Kenapa ia tak mau menemuiku?
Malam belum larut. Adzan Isya’ baru saja usai terdengar di udara. Pada amben tua di beranda depan, aku duduk-duduk meredakan lelah setelah seharian bekerja bersih-bersih dan merapikan rumah. Dan semuanya baru selesai ketika hari meredup senja. Syukurlah, Bapak Marijan mempunyai lampu pompa, sehingga malam ini rumah tidak dalam kegelapan.
Kusandarkan punggungku ke dinding dari papan di belakang amben. Di depan, suasana jalan cukup lengang oleh lalu-lalang. Sementara di bagian lain, suara anak-anak kecil bermain mulai terdengar riuh bergembira. Dalam kesendirian, aku kembali menerawang jauh menembus remang. Dibawa mengunjungi pos-pos masa lalu. Semua kenangan yang masih jelas terekam, silih-menyilih berkelebat dalam benakku.
Entah. Berapa lama berselang? Aku baru tersadar dari kenangan ketika sudut mataku menangkap seseorang berkelebat di beranda depan rumah keluarga Marijan. Kulihat Uma duduk bersandar pada sebuah kursi menghadap ke jalan. Termenung sendiri. Apa yang tengah bergeliat dalam pikirannya?, pikirku sendiri.
Uma mengarahkan pandang matanya ke arahku. Kemudian kembali ke jalanan. Aku tahu bahwa malam ini Uma sendirian di rumah. Bapak dan Ibunya pergi selepas maghrib tadi. Dari pakaian yang dikenakannya, sepertinya mereka pergi kondangan.
Perlahan aku beranjak. Kemudian berjalan menembus remang. Menemuinya.
“Boleh kakak temani, Uma?” kataku. Ia diam saja. Tidak mengangguk. Sorot matanya juga tidak menolak kedatanganku.
Malam terus menambahkan malamnya. Suara anak bermain masih riuh dalam kegembiraan. Sementara kami, cukup lama tinggal dalam kebisuan. Lidahku kaku, melekat erat di bagian bawah mulutku Seperti ada sesuatu yang menahan untuk berkata-kata. Begitu juga Uma. Ia diam sembari pandangan matanya terus menerawang ke jalanan. Entahlah. Kami seolah-olah sedang mentaut-tautkan kembali benang yang putus di antara kami. Memang tidak mudah untuk mengembalikan keakraban setelah sekian lama berpisah. Hampir sepuluh tahun.
“Apa kabarmu, Uma?” kataku memulai. Ia diam dan tak menoleh kepadaku.
“Kenapa kau diam saja, Uma?” Ia masih diam.
“Uma?!”
“Kenapa kakak pergi begitu saja,” katanya tiba-tiba menatapku tajam. Aku diam tersentak. Tidak menyangka akan datangnya pertanyaannya itu. Sebentar aku membuka suara. Menceritakan tentang peristiwa itu, di mana sepeninggal Bapak, Kakek mengajakku tinggal di rumahnya. Memang, waktu itu aku tak sempat berpamitan kepada Uma.
“Kakak minta maaf, Uma. Selama ini tak pernah mengunjungi Uma,” kataku. Ia hanya diam saja. “Baiklah. Kakak minta maaf jika kedatangan kakak mengganggu Uma.”
Perlahan aku bangkit dari kursi. Pergi. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba Uma bangkit.
“Apakah kakak juga kini akan meninggalkan Uma begitu saja?” katanya. Kami saling bertatapan mata. Dalam remang kulihat matanya berkilauan saat tertimpa segaris cahaya dari dalam rumah.
“Entahlah. Tiba-tiba saja aku merasa takut tinggal sendirian di rumah. Duduklah, Kak, “pintanya. Aku kembali duduk.
Tidak lama waktu memberi jarak, percakapan di antara kami pun mengalir perlahan. Masing-masing kami berusaha mencairkan suasana. Dalam percakapan itu, aku tahu bahwa Uma kini duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama di kota. Selain itu, selama ini ia sangat merindukan masa kecil dulu. Saat kami bersama-sama.
“Tinggallah bersama kami, Kak!” katanya. “Masih ada kamar kosong di sini.” Aku tersenyum.
“Terima kasih, Uma. Bapak dan Ibu Uma juga mengatakan hal itu. Akan tetapi, kakak akan tinggal di rumah sendiri,” kataku.
Kami saling berdiam dalam kebisuan. Riuhnya anak-anak bermain di jalanan melingkupi suasana di sekitar. Kuperhatikan Uma. O, begitu jauh waktu melompat, melipat hari dan tanggal. Hampir sepuluh tahun berlalu. Uma telah menjadi seorang gadis lima belasan tahun. Entahlah, aku masih saja teringat tentang dirinya saat masih kanak-kanak dulu. Satu hal yang belum terhapus dari ingatanku adalah Uma yang tengah mengidap sakit bisul. Udunen. Aku tak bisa menahan tawa ketika teringat hal itu.
“Kenapa kakak tersenyum?” katanya mengagetkan.
“Hem, … tidak…, cuma…”
“Hayo, ada apa?”
“Tidak. Cuma, …. kakak teringat saat Uma udunen di bokong,” kataku tersenyum. Sejenak ia ikut tersenyum. Kemudian kami tertawa bersama teringat peristiwa itu.
Benar. Karena bisul di bokong itu, selama beberapa hari Uma tidak bisa berbuat apa-apa. Tidur pun ia tidak bisa berpindah posisi seenaknya. Ia seperti terikat dengan posisi menungging. Bila malam tiba, Ibu Marijan memindahkan Uma yang mengeluh kepanasan ke beranda depan. Kemudian Ibu Marijan mengangin-anginkannya dengan kipas dari anyaman bambu. Sementara Uma tak henti-hentinya mendesis tidak nyaman. Menahan rasa nyeri.
Malam itu Ibu Marijan memintaku untuk menggantikan tugasnya sebentar. Ia mau ke dapur untuk mengangkat air dari tungku. Kemudian sambil mengangin-anginkannya, sesekali aku menggoda Uma dengan menyentuh bisul yang besar menjulang dan berwarna merah kehitaman di bagian kiri bokongnya itu. Dan barangkali sebab saking kesalnya Uma karena aku yang tak berhenti menggoda, ia lantas menyepakkan kakinya. Aku terjerembab ke belakang bersama Uma yang menjerit. Ibu Marijan buru-buru datang, yang segera disambut dengan racauan Uma tentang bisulnya yang meletus. Bokongnya yang berlumuran darah campur nanah.
“Kakak tidak menolak jika disuruh Ibu mengipasi bisul di bokong Uma lagi sekarang,” godaku.
“Ee,… tapi Uma sudah tidak bisulan lagi. Nggak apa-apa kalau hanya dalam mimpi Kakak,” katanya tersenyum. Kemudian kami saling diam kembali.
Perlahan terdengar deru sepeda motor menambah derunya di udara. Semakin deru dan menenggelamkan riuhnya anak-anak bermain di jalanan.
“Bapak dan Ibu pulang,” kata Uma beranjak dari kursi. Sebentar kulihat Bapak dan Ibu Marijan memasuki halaman dengan sepeda motornya.
Setelah bercakap-cakap dengan mereka sejenak, aku kemudian pamit pulang. Dalam kesempatan itu, tidak lupa aku mengucapkan terima kasih atas tawaran agar aku tidur di rumah mereka.
Terhitung seminggu aku sudah tinggal di rumah peninggalan Ibu dan Bapak di Sanur. Selama itu aku merasa senang. Aku kerasan di sini. Dekat dengan keluarga Marijan. Khususnya Uma. Di samping itu, aku telah memulai hidup mandiri. Telah memeras keringat dengan membantu Bapak Marijan bekerja di tempat penggilingan gabah miliknya sepulang sekolah. Sebagai gantinya, aku mendapat makan tiga kali sehari. Juga uang untuk bayar sekolah.
Malam itu selepas maghrib. Paman dan istrinya lantas mengungkapkan keterkejutannya selepas turun dari sepeda motornya di halaman. Mereka tidak menyangka bahwa rumah peninggalan Ibu dan Bapak, rumahku, telah seperti rumah-rumah yang lain. Bersih dan tertata rapi. Juga terang. Ya. Hanya semalam saja rumah itu diterangi lampu pompa. Selebihnya, diterangi oleh lampu-lampu neon dengan saluran listrik dari rumah keluarga Marijan.
Kuperhatikan Bibi yang mengikuti langkah suaminya ke arahku. Sore itu, terakhir kali kulihat Bibi dengan raut muka yang marah. Syarat kebencian. Masih erat menancap di kepalaku baris-baris perkataannya tentang diriku yang seharusnya sudah bisa hidup mandiri. Tidak menggantungkan hidup kepada orang lain. Kini, ia telah kembali dengan keadaannya semula. Seperti dulu, senyum di wajahnya terlihat ramah. Memang, aku merasa aneh sore itu. Tidak pernah menyangka bahwa Bibi langsung berkata seperti itu saat pertama kali marah kepadaku.
“Tampaknya kamu kerasan di sini. Hingga Bibi perlu menyusul kemari dan mengajak pulang,” katanya tersenyum seperti telah lupa dengan kejadian sore itu. Aku berusaha membalas senyum.
Selepas bercakap-cakap seperlunya, mereka kemudian mengatakan maksud kedatangannya. Mengajakku pulang ke rumah mereka.
“Kamu tahu? Rupanya Bibimu kemarin itu dalam keadaan tidak normal,” kata Paman setelah menyulut rokok.
“Maksud Paman?” Sebentar mereka berdua tersenyum menatapku.
“Biasa. Perempuan hamil suka bersikap yang aneh-aneh. Apalagi kamu, Paman saja terkecoh olehnya….”
“Bibi hamil?” kataku terperangah. Seperti terlepas semua kekakuan yang seminggu ini bersarang di dadaku. Bibi tersenyum mengiyakan.
Aku senang mendengar kabar itu. Sudah lama mereka mengidam-idamkan seorang anak. Memang, sebelumnya sudah dua kali Bibi hamil. Akan tetapi, keduanya mengalami keguguran.
“Karena itu, kamu jangan tersinggung dengan sikap dan perkataannya. Apalagi sampai memutuskan untuk tidak pulang ke rumah lagi,” kata Paman kemudian menghisap rokok. “Yah, kalau malam ini kamu masih ingin menginap, tidak apa-apa. Tapi besok, kamu sudah tidur di rumah.”
Sebentar kami terdiam. Di udara, suara adzan perlahan menyelusup, menyentuh gendang telinga. Menandai waktu Isya’ telah datang.
“Ehm,… besok, sebenarnya saya ingin pergi ke Made. Tapi, saya hendak pamit kepada Paman, juga Bibi, untuk tinggal di sini,” kataku.
“Apa kamu tersinggung dengan ucapan Bibimu?” kata Paman menatap mataku.
“Bibi minta maaf, Nak. Entahlah. Namun, bukan maksud Bibi untuk menyakiti hatimu,” tambah Bibi.
“Tidak. Bukan masalah tersinggung atau tidak tersinggung. Akan tetapi,…. Seperti kata Bibi tadi, …. saya kerasan di sini. Entahlah, tiba-tiba saya ingin tinggal di rumah peninggalan Ibu dan Bapak ini,” kataku menatap mereka satu persatu yang saling berpandangan.
Sejenak Paman menghisap rokoknya dengan beberapa hisapan pendek, kemudian mengeluarkan asapnya dengan pendek-pendek pula.