Fragmen
DUAPULUHENAM
Inilah malam pertama yang kulewati setelah tak juga mampu menyesuaikan diri untuk tetap tinggal pada suatu keadaan, di mana orang-orang yang biasa mengisi keseharian tiba-tiba pergi meninggalkanku. Mbah Mat, seorang kyai yang sangat kuhormati, seorang pengasah, pengasih, dan pengasuh, tidak hanya pada diriku, namun seluruh santri di pesantren itu telah wafat. Dan Hasbi, seorang yang telah begitu banyak mengenalkanku pada dunia yang sekarang kujalani, telah pulang ke kampung halaman. Entahlah, praktis sejak saat itu, aku hanya kelimpungan sendiri. Seorang diri. Merasa terasing dengan keadaan ini. Akhirnya, aku memutuskan pergi. Kepada Bu Nana, istri mendiang Mbah Mat, sore itu aku pamit.
Malam kian tinggi. Langit cerah, dengan taburan batu angkasa keperakan di belakang rembulan setengah purnama yang tampak melayang. Hawa berhembus sedang. Meskipun begitu, sepanjang jalan di depan tak pernah sepi. Begitulah. Setiap malam orang-orang duduk berkumpul memenuhi bangku batu-bangku batu yang melingkar di trotoar, di bangku-bangku warung angkringan yang berjajar, duduk bersila di antara sepeda motor-sepeda motor yang parkir di punggung trotoar, dan di bawah pohon beringin tua. Mereka saling bercengkerama bersama sembari menikmati segelas minuman hangat dan sebatang rokok. Sesekali terdengar olok-olok dan kelakar di antara mereka, menandakan bahwa sungguh senyap keadaan manusia yang tak berteman. Sementara di kejauhan, deru kendaraan terdengar jarang-jarang. Aku kira, kedatangan mereka kemari bukan sekedar untuk mencari segelas minuman hangat dan sebatang rokok, namun suasana yang begitu rileks dan damai. Ketenangan kawasan jantung kota yang mana di siang hari selalu hiruk oleh lalu-lalang orang dan kendaraan. Area perempatan kota yang dikelilingi bangunan-bangunan tua masa penjajahan.
Dulu, aku kerap kemari bersama Hasbi ketika waktu beranjak dini hari. Dengan suguhan segelas minuman hangat dan asap rokok, kami berbicara ke sana ke sini. Karena Hasbi seorang penulis, sastra khususnya, tentu saja pokok pembicaraan tak jauh-jauh juga dari profesinya. Tentang penulis-penulis besar, karya-karya masterpiece, dan sebagainya. Kemudian ketika pembicaraan sepertinya telah tertumpah semua, kami saling diam menikmati malam dengan pikiran sendiri. Lantas kembali pulang setelah waktu cukup lama berselang.
Ada satu peristiwa yang masih kuingat hingga sekarang ini. Malam itu, tiba-tiba saja aku ingin pergi kemari. Kemudian saat hampir melewati gerbang pesantren, Hasbi memanggil. Ia ingin pergi bersama. Tidak seperti biasanya yang selalu mengendarai sepeda motornya, dalam kesempatan kami berjalan kaki; membelah malam, menyusuri jalanan kota yang lengang. Memang, itulah yang kuinginkan. Dan pada suatu hari kemudian aku berpendapat, jika seseorang tidak sedang terburu-buru untuk tiba di tempat tujuan, maka, akan lebih baik jika ia menempuhnya dengan berjalan kaki. Padanya terdapat lebih banyak pengalaman yang bisa didapatkan daripada perjalanan dengan kendaraan. Diam-diam, aku menjadi terbiasa dengan hal itu. Menempuh perjalanan dengan berjalan kaki ketika sendiri dan tidak sedang terburu-buru.
Lebih kurang satu jam berjalan kaki, kami pun tiba di sini.
“Hasbi, malam ini kita duduk-duduk saja menikmati suasana. Diam. Dan tak usah mengadakan percakapan, ya?!” kataku setelah sejenak duduk di bangku batu.
“Diam?!” katanya tersenyum.
“Ya. Karena itulah maksudku kemari. Diam; ingin mendengar lebih banyak suara daripada ketika berbicara. Barangkali dengan begitu kita bisa mendengar sesuatu yang …”
“Misterius?!” potongnya tiba-tiba seraya tersenyum.
“Ah, kau…. sesuatu yang tidak biasa kita dengar sehari-hari.”
“Oke, Jon. Baiklah. Itu juga yang kuinginkan,” katanya kemudian menyulut sebatang rokok.
Malam itu, setelah kurang-lebih satu setengah jam duduk bersama menikmati malam tanpa mengadakan percakapan, kami lantas pulang setelah adzan awal—sebelum adzan Subuh—terdengar di udara. Hasbi memutuskan pulang tidak berjalan kaki, namun dengan taxi.
Kini, Hasbi harus pulang ke kampung halamannya. Ada sebuah tanggungjawab yang harus diemban setelah ayahnya meninggal dunia. Menjadi salah seorang pengasuh pesantren. Maklumlah, ia anak pertama dari ayah-ibunya, dan tak heran jika selama ini, ia diharapkan untuk meneruskan perjuangan di pesantren. Ah, mengingat hal itu, terkadang aku tertawa sendiri saat membayangkan para santri menyebutnya Kyai Hasbi. Namun, itulah yang terjadi pada dirinya. Selain itu juga, aku masih ingat perkataannya pada pertemuan terakhir kami.
“Jon, jika kau sungguh-sungguh dalam berkarya, menulis, aku yakin kita pasti akan bertemu suatu kali nanti. Ingatlah itu!”
Dari bangku batu yang menghadap bangunan benteng peninggalan masa penjajahan, sejenak kuperhatikan keadaan di sekitar. Orang-orang yang berkumpul di depan telah berkurang. Entah, sudah pukul berapa. Hampir dua minggu ini, jam dinding yang menggantung pada bangunan di tengah perempatan kota terlihat rusak. Atau lebih tepatnya, jarum-jarumnya tidak cocok dengan hitungan waktu yang dikejarnya.
Benar. Hampir dua minggu, sejak Mbah Mat wafat dan Hasbi pulang, aku selalu mengisi malam di sini. Kelimpungan sendiri. Dalam diam memandang langit malam, kerap aku terpikirkan akan rumah. Menyuruh pulang. Entah, bagaimana kabar Bapak di sana. Aku tak tahu pastinya. Sudah dua kali lebaran aku tak pulang. Meskipun begitu, dari jauh aku memaafkannya. Bahkan sejak dulu, sebelum berangkat ke kota ini. Dalam batin, aku telah menghapus segala kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya sebagai seorang bapak kepada anaknya. Benar. Aku berharap dia tidak hanya baik-baik saja di rumah, tetapi juga berubah. Tidak cengeng, melainkan jantan. Itulah yang selalu kuharapkan darinya. Menjadi seorang laki-laki sejati, seperti juga yang kuinginkan pada diriku sendiri.
Sejak kecil aku selalu berpendapat bahwa untuk menjadi laki-laki sejati, seseorang harus mengawalinya dengan kemandirian. Meskipun demikian, aku berharap dia merasa khawatir ketika menemukan anaknya berhari-hari tidak ada di rumah. Kalang-kabut bertanya ke sana ke mari, mencari ke segala arah; tentang anaknya. Aku yang pergi ke kota ini tanpa pamit kepadanya satu setengah tahun yang lalu. Karena di saat seorang anak bertingkah, keberadaan orang tua—bapak—dipertanyakan tanggungjawabnya. Namun, barangkali dia telah berusaha mencari diriku. Semaksimal kemampuannya.
Yah. Hanya kepada Uma dan Kak Bambang aku menceritakan rencana kepergianku. Dan entahlah. Aku tak tahu keadaan Uma. Aku juga tak tahu apakah dia masih menungguku. Namun, aku berharap demikian. Aku mengerti bahwa cinta, rindu, sebagaimana juga iman; seperti suhu udara yang begitu mudah berubah. Dia sendiri yang merasakan apakah masih menunggu atau tidak.
Ah, maafkan aku, Uma. Telah membuatmu menunggu. Berusaha untuk bertahan didera bosan. Padahal, tak semua orang akan mampu bertahan dengan penantian. Akan tetapi, kuyakinkan bahwa aku akan kembali. Tidak masalah; satu minggu atau satu bulan atau satu tahun atau sepuluh tahun atau dua puluh tahun, kesemuanya hanya sebutan manusia tentang hitungan waktu agar mereka lebih bertahan dengan penantian. Bahwa penantian mereka ada batasnya. Dan kebanyakan yang terjadi malah berputar seratus delapan puluh derajat, karena ada batasan waktu, mereka menjadi lebih gampang mengelak.
Aku akan kembali kepadamu, Uma. Nanti; ketika kemandirian telah kumiliki. Kemudian setelah kemandirian, hanya karena seorang perempuan, keberadaan seorang laki-laki akan dilengkapkan.
Malam. Kusandingkan kau dengan rembulan…, gumamku menggambar Uma di udara.
Aku tergugah ketika deru knalpot berhenti di depan. Seorang laki-laki tersenyum menyapa sembari men-standarkan sepeda motor. Dia adalah Syatha, seorang teman yang pernah dikenalkan Hasbi.
“Apa yang kaubawa itu, Jon?” katanya menunjuk pada tas yang kubawa. “Kuharap bukan barang-barang ilegal.”
“Ah, tidak. Hanya keperluan sehari-hari.”
Kami saling tersenyum. Syatha mengambil sebungkus rokok, menyulutnya sebatang, kemudian menaruh bungkusnya di sebelah sebungkus rokok milikku yang tergeletak di bangku.
“Keperluan sehari-hari, seperti seorang bohemian saja?! Memangnya kau hendak ke mana? Keliling dunia?”
“Tidak juga. Tapi, aku sudah keliling kota sejak tadi sore, dan berakhir di sini kira-kira satu jam yang lalu,” kataku tersenyum.
“Yah. Maklumlah, untuk seorang penyair. Berjalan sendirian, kemudian, meskipun berada di tengah keramaian, masih saja menciptakan suasana sendiri,” komentarnya. Sejenak kami tertawa.
“Kau sendiri dari mana?” kataku.
“Latihan teater. Kau tahu Rodli, bukan?” katanya. Aku mengiyakan kepala.
“Ia sedang menyiapkan pementasan teater sebagai tugas akhir kuliah,” lanjutnya.
Kami diam. Sebentar kuambil sebatang rokok, dan menghisapnya.
“Sudah pesan minuman?” katanya.
“Ehm, belum.” Aku beranjak.
“Sudah. Biar aku saja,” katanya kemudian melangkah menuju angkringan.
Dalam diam memperhatikan dirinya, aku teringat suatu malam setelah menyaksikan pementasan teater. Hasbi memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang terlibat dalam pementasan tersebut. Salah satunya adalah Syatha. Kemudian dari percakapan yang terjadi, aku tahu bahwa Syatha berasal dari kota yang sama denganku. Bahkan satu kecamatan. Maka maklumlah, jika di antara kami segera tercipta seutas benang yang segera mengikat kami. Akan tetapi dalam kesehariannya, kami tidak terlalu akrab. Kami jarang bertemu. Hanya beberapa kali saja aku dan Hasbi pergi mengunjungi rumah kontrakan Syatha beserta teman-temannya yang juga menjadi sekretariat kelompok teater mereka. Masih di daerah Krapyak, dan jaraknya sekitar setengah kilometer dari pesantren. Dan mereka, sebagian besar adalah alumni Madrasah Aliyah di pesantren Krapyak, termasuk Syatha sendiri. Di samping itu, mereka adalah para mahasiswa di beberapa kampus di kota ini.
Suasana di depan kian sepi seiring bertambahnya orang-orang yang pergi. Beberapa bangku batu telah kosong. Beberapa angkringan tampak telah mematikan lampu minyak, tutup ditinggal pembeli, sebab hari yang terus melarut. Hanya dua angkringan yang masih buka, menunggu para pembeli pergi. Entah, sudah pukul berapa sekarang. Jam dinding yang menggantung pada bangunan di tengah perempatan kota tak berkutik dengan waktu. Sementara di bawah pohon beringin tua, beberapa orang telah merebahkan tubuh dengan kepala bertumpu pada akar-akarnya yang kekar mencengkeram tanah. Aku teringat, di sanalah dulu aku dirampok tiga orang laki-laki di malam pertama di kota ini. Yah, barangkali sikapku yang waktu itu tampak tak wajar, sebagai pendatang baru atau turis domestik yang menjadikan diriku sebagai sasaran yang empuk. Akan tetapi, walaupun kini mereka bertiga masih berkeliaran di sekitar tempat ini, aku yakin pandangan mereka kepadaku akan berbeda daripada yang dulu.
Kembali kuarahkan pandanganku ke depan. Syatha berjalan dengan tangan mencangking bungkusan.
“Hei, kau tahu berita apa yang kudengar di angkringan sana?” katanya tersenyum selepas duduk kembali. Aku menggeleng.
“Kemarin malam ada operasi KTP. Kau punya tidak?” Aku tersenyum.
“Kalau tidak punya, lebih baik kita segera pergi.”
“Tenang saja. Meskipun tanpa tempat tinggal, aku punya KTP,” kataku tersenyum.
“Lho, memang kau tidak di pesantren lagi?”
“Tidak lagi, mulai malam ini,” kataku.
“Ada masalah?”
Aku diam. Kemudian bercerita tentang kepergianku dari pesantren. Syatha diam mendengarkan.
“Kalau begitu, mulai malam ini, untuk sementara kamu tinggal saja di sanggar,” katanya. Aku hanya diam.
“Memang tidak apa-apa?” kataku bercanda.
“Ah, kau ini, si penyair yang seperti berlagak tidak tahu saja,” komentarnya.
Bersama suasana yang merambat sepi, ditemani rokok dan dua bungkus minuman hangat, kami mengadakan percakapan lebih dari sekedar basa-basi. Lebih membuka diri kepada percakapan yang mengarahkan pada mempererat persahabatan di antara kami. Menjadi lebih akrab daripada waktu sebelumnya.
Ketika adzan awal berkumandang memenuhi udara, Syatha mengajakku pergi ke rumah kontrakannya. Meninggalkan keadaan kawasan jantung kota yang begitu tenang, yang tak lama lagi akan disegarkan oleh orang yang berlari pagi, berjalan pagi, dan lainnya termasuk mencari sarapan pagi, kemudian dilanjutkan dengan deru kendaraan yang memanas bersama meningginya matahari dari timur kota.
Rumah kontrakan itu cukup besar dengan empat kamar, ruang tengah, ruang depan, ditambah ruangan yang menjadi kantor sekretariat kelompok teater Syatha dan teman-temannya. Namun dalam kesehariannya, terlihat sempit dari keadaan sebenarnya. Barang-barang berserakan di mana-mana; buku-buku, alat-alat musik, bantal, kanvas-kanvas lukisan yang belum terselesaikan, dan sebagainya bersama aktifitas orang-orang di dalamnya. Maklumlah, setiap hari rumah kontrakan itu menjadi tempat berkumpul teman-teman dari kelompok teater tersebut, meskipun sebenarnya hanya empat orang yang mengontrak rumah yang terletak di kawasan yang cukup sepi itu. Di mana di kanan-kirinya terdapat dua petak sawah yang mengapitnya, yang mana pada malam hari suara katak dan jangkrik kerap mengiringi malam merayap dikikis matahari dengan gurat-gurat jingga sinarnya. Dan di depannya, terhampar halaman luas dengan dua pohon asam yang cukup besar yang tumbuh dekat ruas jalan, menjadikan rindang. Sungguh nyaman menikmati hari dengan duduk-duduk di beranda depan ditemani suguhan bubur kacang hijau atau berjenis-jenis minuman dari warung yang berdiri di seberang jalan, baik bersama-sama maupun sendirian; berdiskusi ringan, menyanyi bersama diiringi alunan irama gitar, membaca, menulis, dan sebagainya.
Sementara di belakang rumah, terdapat halaman yang tidak terlalu sempit dan berbatasan petak sawah. Sehingga tampak luas oleh mata yang memandang. Di sanalah pada malam hari, teman-teman biasanya latihan teater. Olah vokal, olah tubuh, olah rasa dan sebagainya.
Hampir satu bulan aku tinggal di rumah itu. Dan selama itu, mereka baik kepadaku. Tidak pernah mempermasalahkan keberadaanku yang menumpang di sana. Bahkan sudah dianggap sebagai penghuni tetap. Aku bisa membaca buku-buku dari perpustakaan kelompok, menggunakan komputer, keluar masuk dari satu kamar ke kamar yang lain, dan sebagainya dengan bebas. Aku juga telah mengikuti kegiatan yang terjadwal di sana. Kelompok diskusi, latihan teater sekali seminggu, nonton dan bedah film, tak ketinggalan juga baca surat Yaasiin dan tahlilan bersama setiap malam Jum’at. Untuk yang terakhir inilah aku merasa aneh, tetapi juga merupakan salah satu yang aku suka dari mereka. Maklumlah, kebanyakan dari mereka adalah alumni pesantren.
Meskipun empat orang yang mengontrak rumah itu tidak mempermasalahkan tempat tinggal mereka dipakai untuk tempat berkumpul, proses bersama dalam komunitas, sesekali pernah juga terlontar kata-kata yang mengungkapkan kekesalan mereka. Terutama masalah kebersihan dan kerapian. Tentu saja, karena mereka yang setiap hari berkumpul—bahkan menginap—sepertinya kurang memiliki kesadaran dalam dua hal tersebut. Aku sendiri maklum. Aku berpendapat bahwa kekesalan mereka masih dalam kewajaran. Bagaimana tidak? Setiap kali kuperhatikan, mereka seenaknya sendiri menggunakan sesuatu dan menggeletakkan begitu saja. Membikin sampah dan tak pernah menyingkirkannya. Di samping itu, adalah masalah privasi. Aku yakin bahwa sekomunal-komunalnya, seseorang pasti punya keinginan untuk dirinya sendiri. Maka, aku menganggap lumrah ketika di antara empat orang penghuni tetap rumah kontrakan itu mengunci pintu kamarnya. Ingin menikmati kesendiriannya sebagai makhluk pribadi yang bertanggungjawab atas masalah-masalah hidupnya yang kompleks.
Benar. Tidak seperti mereka semua, aku sendiri yang tak punya tempat tinggal. Dan itu sama artinya kalau aku ingin sendiri, aku tidak bisa mengunci pintu kamar. Namun, harus berjalan ke sana ke mari mencari tempat untuk menyendiri. Yah, aku seperti tak punya privasi, seiring aku yang tak punya tempat sendiri. Berbeda dengan ketika aku tinggal di kamar belakang rumah Mbah Mat dulu. Selain itu adalah rasa kemandirian yang kerap menggejolak selama ini, menyuruhku pergi dari keadaan ini.
Akhirnya malam itu, ketika aku dan Syatha duduk-duduk di bangku batu menghadap bangunan museum peninggalan masa penjajahan, tempat kami bertemu pada malam hari satu bulan yang lalu, kuungkapkan apa yang menjadi kehendakku.
“Dengan tinggal di rumah kontrakan itu, apa kau merasa tak punya privasi? Tak bisa mengurung dalam kamar sendiri?” kata Syatha seperti menebak apa yang kupikirkan.
“Hem,….” gumamku. Ia tertawa sejenak.
“Aku dulu seperti itu. Bahkan bisa dikatakan hampir setengah tahun aku tak menghiraukan tentang privasi. Dulu, aku tinggal di ruang UKM teater bersama beberapa teman. Waktu itu, para mahasiswa masih diperbolehkan melakukan kegiatan UKM hingga dini hari. Sehingga kami hampir tiap malam selalu menginap di sana. Bahkan kami memutuskan tidak menyewa kost, namun bertempat tinggal di sana. Kami kemudian memboyong pakaian, buku-buku, dan peralatan sehari-hari ke sana. Namun setahun yang lalu, para mahasiswa sudah tidak diijinkan lagi tinggal di ruang-ruang UKM. Kau tahu kenapa?”
Aku menggeleng. Syatha tersenyum sejenak.
“Suatu malam, rektor kampus memergoki sepasang mahasiswa laki-laki dan perempuan tengah bermesum ria,” katanya disusul deraian tawa. Aku ikut tertawa.
“Ah, kacau-kacau,… beberapa hari kemudian, segala kegiatan di kampus dibatasi hingga jam sepuluh malam. Dan penjagaan di kampus diperketat dengan menambah personil satpam,” katanya tertawa kecil. Aku tersenyum. “Kau tahu apa yang dikatakan rektor saat mengundang semua pengurus UKM dalam sebuah pertemuan?”
“Hem..?” kataku menggeleng.
“Di sini adalah lembaga pendidikan. Bukan tempat mesum!” lanjutnya menirukan, yang disusul dengan suara tawa yang keluar dari bibirnya.
“Namun, meskipun tanpa adanya pembatasan kegiatan di kampus, aku tak yakin akan lebih lama lagi tinggal di sana. Ya, seperti yang tengah kaualami saat ini. Masalah privasi. Kebetulan saat itu, Hafidz, Bukhori, dan Taufiq menawari untuk kontrak rumah bersama,” katanya diam sejenak.
“Sekitar setengah tahun lagi kontrak rumah akan berakhir. Tapi, untuk sementara ini, teman-teman sepakat untuk diperpanjang,” lanjutnya. Kemudian ia meraih kopi dalam plastik.
Kuperhatikan orang-orang yang bercengkerama bersama di sekitar sembari menikmati minuman hangat dan asap rokok. Dalam diam aku berpendapat bahwa mereka semua juga masih peduli dengan privasi. Semua orang punya kesibukan sendiri seiring masalah-masalah dalam kehidupannya. Dan bila kini mereka bercengkerama bersama, aku yakin bahwa saat ini, mereka dalam jeda. Yah, hanya pada jeda orang-orang dimungkinkan untuk bersama. Dalam olok-olok dan canda.
“Kau sudah dapat kost?” kata Syatha selepas menghembuskan asap rokok yang baru saja disulutnya.
“Belum. Tapi kata Rully, di tempat kost-nya ada kamar kosong. Dan rencananya, besok pagi kami akan ke sana,” kataku.
“Bagus kalau begitu,” kata Syatha.
Pagi itu bersama Rully, aku menemui pemilik kost. Selepas beramah-tamah sebentar dengan pemiliknya, Bu Hartini dan menyelesaikan masalah administrasi; menyerahkan foto copy KTP dan uang sewa, Bu Hartini kemudian meminta Rully untuk mengantarku ke kamar yang baru kusewa. Ia minta maaf tak bisa mengantar sendiri, sebab ada keperluan yang harus segera diselesaikan. Memang waktu kami datang, Bu Hartini sudah berdandan rapi yang menunjukkan bahwa dirinya hendak pergi.
Bangunan kost itu terletak di belakang rumah Bu Hartini. Dilihat dari bentuknya, sepertinya bangunan itu untuk pertamakalinya bukan dimaksudkan sebagai tempat kost. Tidak berupa deretan kamar kost, melainkan sebuah rumah yang los seperti aula kecil. Temboknya pun tampak tua, namun masih kokoh. Kemudian lima kamar yang ada di rumah tersebut disekat dengan papan triplek, dan menyisakan sebuah ruangan sebagai ruang tamu lengkap dengan seperangkat kursi dan meja dari bambu.
Sebelumnya, aku kerap berkunjung kemari. Ke kost Rully. Dari beberapa kunjungan itu, aku rasa tempat kost ini cukup nyaman dan tenang. Selain juga murah. Sementara penghuni lainnya pun cukup ramah. Sepertinya, aku akan kerasan tinggal di sini.
“Kau jadi kost, tidak?! Kamar sebelah kosong,” kata Rully tiga hari yang lalu ketika aku berkunjung ke kamarnya.
“Ya?! Si Antok pindah ke mana?” kataku tentang penghuni kamar sebelah.
Sebentar Rully menceritakan bahwa ada sebuah rahasia besar yang terbongkar. Pacar Antok ketahuan hamil oleh keluarganya. Dan beberapa hari yang lalu, Antok diajak pulang oleh keluarganya untuk segera dinikahkan dengan pacarnya itu.
“Sebenarnya aku sudah curiga. Dua minggu sebelum rahasia itu terbongkar, ia pernah bertanya kepadaku tentang dukun bayi yang melayani aborsi,” kata Rully diam sejenak. “Tentu saja aku tidak tahu.”
Memang. Sebelumnya aku merasa aneh dengan Antok. Setiap kali aku berkunjung ke kamar Rully, Antok kerap membawa seorang perempuan, pacarnya, ke kamarnya. Dalam kesempatan seperti itu, kadang pintu kamarnya dibiarkan terbuka, kadang sengaja ditutup. Dalam beberapa kesempatan, pernah terdengar olehku suara cekikikan dari dalam kamar Antok yang tertutup. Saat itu, aku tak pernah berpikiran bahwa kejadiannya akan berlanjut seperti itu. Aku tahu bahwa Antok adalah teman satu kelas Syatha selama belajar di Madrasah Aliyah dulu. Lulusan sekolah pesantren. Namun, entahlah.
Seperti juga kamar Rully, kamar yang baru kusewa ini berukuran 4 x 4 meter. Dua dindingnya berbentuk tembok batu dan dua lainnya dari papan triplek. Langit-langitnya terbuat dari anyaman bambu. Lantainya adalah ubin yang dilapisi dengan karpet plastik. Di salah satu dinding tembok batu, terdapat jendela kaca yang memberikan pandangan beberapa meter keluar sebelum terhalang oleh tembok rumah tetangga. Sementara di dalam kamar terdapat lemari kayu, rak buku, dan kasur yang tak berseprei. Kata Rully, semua itu adalah barang milik Antok. Peninggalan. Meskipun begitu, bila mau, aku bisa memanfaatkannya daripada membeli yang baru.
Satu bulan berlalu sejak aku tinggal di kamar itu. Dan selama itu, keseharian berjalan seperti apa yang kuharapkan. Aku bisa melakukan sesuatu yang tak bisa kulakukan ketika masih menumpang di kontrakan Syatha dan teman-temannya; mengurung diri dengan pintu terkunci yang merupakan salah satu bentuk daripada privasi. Di samping itu, para penghuni kost di sini pun ramah, sehingga kami segera terlibat dalam pertemanan yang akrab.
Kasan, begitulah salah satu penghuni kost yang menarik perhatianku. Dan itu disebabkan dirinya yang tak pernah ikut bergabung bersama kami, bercengkerama di ruang tamu sembari menikmati kopi hangat dan asap rokok ketika malam tiba. Ia memilih menyendiri di dalam kamar dengan pintu tertutup. Aku menganggap kebiasaannya ini disebabkan oleh suatu keadaan yang tidak setara dalam pandangannya. Maklumlah, selain aku, semua penghuni rumah kost ini adalah para mahasiswa. Sementara Kasan adalah seorang pekerja dan umurnya delapan atau sembilan tahun lebih tua dari kami.
Keberadaanku yang bisa dikatakan sama dengan dirinya; bukan seorang mahasiswa, melainkan pekerja atau lebih tepatnya ‘pekerja yang lebih banyak menganggur ini’ yang menjadikan dirinya cukup akrab denganku daripada teman-teman yang lain. Aku kerap ke kamarnya dan mengobrol dengannya. Dari situlah, aku pun tahu bahwa Kasan sudah belasan tahun tinggal di kota ini. Selama ini dirinya bekerja sebagai loper koran dan menjadi asisten pelatih dari salah satu sekolah sepakbola anak-anak. Selain itu, ia mengerjakan apa saja yang menghasilkan uang. Menjadi distributor kecil-kecilan dari teka-teki silang, novel-novel stensilan, bahkan tembakau lintingan. Terkadang ia pergi mengunjungi tempat-tempat keramaian; seperti pengajian umum, pagelaran wayang kulit, orkes dangdut, pertunjukan campur sari dengan membuka lapak yang menjajakan gambar-poster para wali, kaligrafi, huruf hijaiyah, bintang lapangan sepakbola, artis bollywood, pahlawan nasional, pembalap MotoGP dan sebagainya. Maka tak heran kiranya jika kamarnya dipenuhi dengan barang-barang yang menjadi bisnisnya itu. Satu alasan yang masih kuingat dari semua yang dilakukannya itu bahwa waktu tidak selayaknya di-acuh tak acuh-kan begitu saja. Akan tetapi, harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Kedua orang tuanya telah meninggal dunia ketika Hasan masih semester 1 di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Sebagai anak sulung dari enam bersaudara, sudah semestinya ia merasa menjadi tulang-punggung dari kehidupan keluarganya. Apalagi beberapa adiknya masih kecil dan masih harus dicukupi kebutuhan hidupnya. Karena itu, ia pun berhenti kuliah. Ia memutuskan untuk bekerja. Dan realitisnya, hal itu yang sangat dibutuhkan oleh keluarganya. Uang. Kini, beberapa adiknya telah mandiri. Bahkan tiga di antaranya telah menikah dan mempunyai anak. Sementara adiknya yang paling kecil, yang masih dibiayainya, telah duduk di bangku kelas 3 di sebuah sekolah menengah atas di kota kampung halamannya.
Apa yang kuketahui tentang dirinya, diam-diam aku kagum kepadanya. Semangatnya. Apalagi, sudah tiga tahun yang lalu ia telah melanjutkan kuliahnya lagi pada jurusan manajemen yang sempat terputus, meskipun sekarang di universitas terbuka. Katanya lagi, setelah adiknya yang paling kecil lulus sekolah, ia berniat akan melangsungkan pernikahannya dengan teman kuliahnya, seorang gadis anak petani tembakau dari kota K.
Siang itu jam beker di kamarku menunjukkan pukul 14.35. Kasan datang ke kamarku dan mengajakku pergi ke pantai laut selatan.
“Ada apa di sana?” kataku sembari menaruh buku yang sebentar lalu kubaca ke permukaan meja.
“Mengajar anak-anak mengaji di TPA[1],” ujarnya tersenyum. Aku diam.
“Ayo! Nanti setelah itu kita jalan-jalan di pantai,” tambahnya.
“Baiklah. Aku ikut.” Aku beranjak berdiri.
Ya. Beberapa hari ini aku banyak berdiam diri di kamar. Tidak banyak melakukan aktifitas. Hanya membaca lagi buku-buku yang pernah selesai kubaca. Tidak mendapatkan satu tulisan pun, meskipun telah lama berhadapan dengan kertas kosong. Di samping itu, pergi ke mana-mana pun rasanya malas.
Dan sekarang, entahlah. Kenapa aku mengiyakan ajakan Kasan. Aku tak tahu. Ah, barangkali karena aku yang menemukan ada suasana baru yang tercipta di kepalaku dari ajakannya itu, pikirku. Selain itu, pantai dengan hembusan anginnya dan debur ombaknya, merupakan salah satu tempat yang kusuka selain wisata alam lainnya.