Apa keajaiban teknologi yang mengubah hidupmu? Setiap orang punya jawaban berbeda. Bagi Lisbeth, video call juaranya. Sedari kecil, Lisbeth dan saudari-saudarinya kerap bermimpi, suatu hari nanti telepon ada TV-nya. Manusia di tempat yang berbeda bisa terhubung tak hanya lewat suara, tetapi juga melihat lawan bicaranya. Dahulu, Livi suka sesumbar, “Nanti Cici bikin telepon yang ada TV-nya supaya Lisbeth dan Liona bisa pakai telepon.”
Lisbeth terkenang bagaimana adiknya, Liona, bertepuk tangan gembira. Namun, dari sudut matanya, Lisbeth menangkap wajah muram Heni, mama mereka. Lisbeth hanya bisa menerka kecamuk perasaan di hati Heni sebagai menantu di keluarga Chinese totok yang menganut paham bahwa dari sekian banyak hal yang tidak menunjukkan bakti kepada orang tua, yang paling besar adalah tidak punya keturunan”.
Heni punya keturunan, tetapi tak punya penerus marga. Jika memiliki tiga anak perempuan saja sudah dianggap aib, apalagi jika dua di antaranya Tuli sejak lahir?
Banyak keterbatasan membuat keluarga mereka dianggap berbeda. Bagi Lisbeth dan Liona, bercakap melalui telepon misalnya, menjadi hal yang mustahil. Telepon di pojok ruangan tampak seperti benda dari dunia lain. Ada, terjangkau, tetapi tak akan bisa mereka gunakan.
Bertahun-tahun kemudian, Livi mengirimkan iklan di YouTube tentang ponsel yang bisa melakukan video call. Kalimat Livi di pesannya singkat saja: our dream comes true! Namun, Lisbeth bisa membayangkan mata Livi berkaca-kaca ketika mengetik kalimat itu. Setelah menyaksikan Lisbeth memutar iklan itu berulang-ulang, ayah mereka memesan tiket ke Singapura dan kembali membawa lima ponsel yang waktu itu belum beredar di Indonesia. Mereka sekeluarga tertawa gembira ketika mereka bisa bercakap dari ruang yang berbeda, berbekal sebuah telepon genggam. Liona, yang paling kocak di antara mereka, menelepon Lisbeth hanya untuk menjulurkan lidah.
Dunia yang dahulu bagi Lisbeth begitu terbatas, terasa sedikit ramah.
Namun, hari ini, teknologi kesukaannya datang membawa berita yang tidak Lisbeth suka. Ia sudah menduga. Ketika firasatnya menjadi nyata, tak urung ia tetap kecewa.
Untungnya, ketika mendengar permintaan itu, Lisbeth sedang duduk bersila di atas ranjang sehingga ia tidak kehilangan keseimbangan. Di hadapannya, ada tumpukan bantal renda dengan sarung berwarna pink tempat Lisbeth menyandarkan ponselnya. Matanya memicing menatap Livi. Sekalipun matahari bersinar terik di luar sana, udara di kamar Lisbeth terasa sejuk karena AC menyala hampir 24 jam. Malah siang ini terasa agak dingin, hingga Lisbeth menyelimuti dirinya dengan selimut satin sutra berwarna senada dengan sarung bantalnya. Entah tiupan AC atau permintaan Livi yang membuat Lisbeth menggigil.
“Lisbeth bisa bantu?” ulang Livi. Jika dulu komunikasi Lisbeth dengan Livi yang di Singapura hanya terbatas teks, kini ia bisa membaca langsung emosi-emosi yang tersembunyi di wajah Livi. It’s a blessing … and a curse.
Ada rasa bersalah yang tebersit dari tindak-tanduk Livi. Mata Livi yang sipit mengerjap-ngerjap lebih sering daripada biasanya.
Seraya memaksakan senyum, Lisbeth mengangguk dan memberi tanda jempol.
“Sungguh?” Alis Livi naik.
“Bisa,” tukas Lisbeth.
Livi menjauhkan sedikit teleponnya, ia menaruh telapak tangan kanan di dada dan membuat gerakan memutar. Maaf.
“Tidak usah minta maaf.” Lisbeth tersenyum. Perut Livi yang mulai membesar tampak jelas. “Cici Livi hamil. Capek, kan?”
“Habis ini,” Livi berhenti, “Cici tidak bisa sering pulang.”
“Tidak apa. Aku saja yang urus yayasan. Ada Bu Euis juga yang membantu.”
Tidak apa? Dirimu makin pintar berbohong! Namun, Lisbeth tak ingin Livi khawatir. Apa susahnya mendatangi para sponsor dan donatur? Datang, berikan surat, bicara sebentar lalu pulang. Sederhana. Sayang apa yang sederhana bagi banyak orang sering membuat perut Lisbeth melilit.
Livi menaruh telapak tangan kanan di bibirnya dan membuat flying kiss. Thanks! Mendadak Livi memalingkan wajahnya ke arah lain. Sebuah wajah tampan tiba-tiba menyembul di sebelah Livi.
“Hai, Lisbeth!” sapa Simon, suami Livi seraya melambaikan tangan.