Dunia Lisbeth

Grace Suryani
Chapter #2

世上无难事 - Tak Ada yang Sulit

H-3 Debut Fashion Show

H-23 Open House

Ruang tamu rumah keluarga Tanuwiharja cukup besar, luasnya kira-kira setengah lapangan bola. Tak banyak hiasan selain sepasang vas dari Dinasti Ming setinggi dua meter di pojok ruangan, sebuah lukisan delapan kuda sedang berlari, dan dua buah foto studio keluarga yang diambil ketika Livi dan Lisbeth lulus kuliah. Namun, ruangan itu kini penuh sesak. Delapan maneken setinggi orang dewasa berjejer di sebelah vas Dinasti Ming. Sofa penuh dengan tumpukan baju, kain, dan gantungan baju. Di sudut lain, berbaris rapi dua buah mesin jahit, satu mesin bordir, satu mesin overlock, dan satu meja setrika.

Empat orang model hilir mudik mencoba berjalan dengan gaun rancangan Lisbeth. Last fitting. Perlahan, jemari Lisbeth meraba gaun beludru hitam halus yang dirancangnya selama tiga bulan. Dahinya berkerut ketika tiba di pinggang ramping sang model. Ia buru-buru membungkuk, dengan hati-hati memasang jarum pentul di pinggang modelnya. Ia pikir sudah pas, ternyata gaun ini masih sedikit kebesaran ketika dipakai.

Tema yang diusung adalah inspirasi pesta batik kawung. Dalam setiap gaun, ada aksesori yang selalu sama, pita-pita kain yang dijahit satu persatu hingga menyerupai pola batik kawung. Berbulan-bulan, ia membuat ratusan pita kain kawung dengan teliti.

Delapan gaun pesta yang akan diperagakan oleh para modelnya sudah hampir siap. Jantung Lisbeth berdegup. Akankah para kritikus menyukai karyanya? Di matanya, gaun-gaun itu sudah tampak sempurna. Ia merancang dua gaun beludru hitam yang menampilkan lekuk tubuh. Pada bagian punggung, ia menjahit kain tile berwarna kulit yang memberikan kesan backless. Di atas kain tile itu, ia menjahit pita-pita kain hitam kawung bak kupu-kupu yang terbang di punggung para modelnya. Lisbeth berjalan memeriksa tiga gaun pesta putih tulang dengan bawahan tile putih yang menjuntai panjang. Pada gaun-gaun ini, pita-pita kawung hitam melingkar seolah-olah ranting anggur memeluk erat tubuh pemakainya. Ia juga membuat dua gaun merah marun berpita emas dan terakhir, dua gaun beludru merah dengan pita kawung berwarna putih yang diberi bordir benang emas di ujung-ujungnya.

“Ayo semua minum dulu,” sapa Heni yang tiba-tiba menyeruak membawa nampan berisi gelas-gelas sirop dan sepiring pisang goreng. “Lisbeth, jangan kurang minum!”

Lisbeth hanya mengangguk. Meja tamu penuh dengan gunting, jarum, dan beberapa helai kain. Heni menggeser beberapa kain untuk memberikan tempat menaruh nampan di tangannya. Sudah berulang kali, Lisbeth mengatakan bahwa ia tidak minum ketika sedang bekerja. Apalagi sirop berwarna merah menyala seperti ini. Bagaimana jika siropnya tumpah dan meninggalkan noda di salah satu bajunya? Namun, Heni tidak mengerti. Bagi mamanya, ada tamu, harus diberi makan dan minum—minumnya harus sirop Marjan dingin.

Seperti dugaan Lisbeth, semua modelnya menolak dengan sopan. Tentu saja! Mana berani mereka makan pisang goreng berminyak ketika memakai gaunnya? Tekad Lisbeth makin bulat, ia harus membuka butiknya sendiri! Tak bisa selamanya ia menumpang di ruang tamu keluarganya.

Setelah memeriksa semua modelnya dengan saksama, Lisbeth mengangguk puas. Satu per satu para modelnya undur diri, berpamitan dengan Heni yang setengah memaksa untuk paling tidak mengambil sepotong pisang goreng dan menenggak sirop yang disajikan. Lisbeth menarik napas lega ketika bayangan model terakhir hilang di pintu rumahnya. Waktunya ia mempersiapkan presentasi untuk menjelaskan konsep desainnya.

Pita-pita kawung.

Batik kawung adalah model batik yang tak asing bagi rakyat Indonesia. Sejarah batik kawung dimulai pada era—  

Lisbeth berhenti mengetik. Ia membuka buku tebal berisi penjelasan dan filosofi motif-motif batik. Huruf-huruf di hadapannya terasa buram. Ia mengerjap-ngerjapkan mata yang letih. Kemarin, ia baru tidur pukul dua pagi. Kepalanya berat, tetapi Lisbeth pantang mundur sebelum ia menyelesaikan presentasinya. Apalagi kalender di depan matanya seolah-olah beker yang mengingatkan, tiga hari lagi!

Setelah selesai membuat presentasi, ia masih harus menghafalkannya, berlatih di depan cermin supaya ia tidak grogi. Kepala Lisbeth hampir terantuk ke meja tepat ketika ponselnya berpendar. Dari Siti.


Lisbeth, open house konsumsi apa? Ayam goreng?


Kepala Lisbeth hampir pecah. Open house! Ia lupa dirinya harus mengantarkan undangan ke beberapa donatur. Untungnya, Livi sudah memberinya instruksi detail bagaimana mendekati donatur-donatur mereka. Otaknya tidak sanggup kalau harus memikirkan juga menu untuk open house.

Ia menimbang sesaat sebelum mengirim balasan.


Terserah Siti. Jumlah 30 orang. Okay? 


Lihat selengkapnya