Kata orang, yang penting kamu yakin dengan dirimu! Sayangnya, itu nasihat usang yang kerap membuat Lisbeth terluka. Ia yakin dengan dirinya, tetapi banyak orang tidak yakin. Menyebalkan. Namun, yang paling menyakitkan bagi Lisbeth adalah ketika ia yakin, ia mencoba, dan ia tetap gagal. Rasanya tidak hanya menyebalkan, tetapi memilukan.
Lisbeth keluar dari kantor Pak Cipto dengan langkah gontai.
Bodoh! Kamu pikir bisa ketemu Pak Cipto tanpa membuat janji? Alih-alih bertemu Pak Cipto, ia hanya bertemu sekretarisnya yang bertanya mengapa ia tidak menelepon terlebih dahulu untuk membuat janji?
Menelepon? Lisbeth memasang senyum kecut, tetapi sebelum ia punya kesempatan untuk menjelaskan, sang sekretaris menyadari stiker di stoples lidah kucing dan buru-buru meminta maaf. Lisbeth segera undur diri setelah meminta sang sekretaris untuk tidak lupa memberikan undangan open house dan stoples lidah kucing kepada Pak Cipto.
“Pulang, Pak,” perintah Lisbeth yang disambut dengan anggukan sopir setianya. Setengah melamun, Lisbeth memutar ulang pengalamannya berada di kantor Pak Cipto. Ia merasa dirinya tak ubahnya tukang minta sumbangan yang mampir ke rumah-rumah membawa map, mengetuk pintu dengan wajah memelas. Lisbeth sadar, dirinya pun ada dalam posisi serupa. Ia datang meminta para donatur menghadiri open house Yayasan Sahabat Tuli dengan tujuan meminta dana.
Lisbeth tidak suka meminta-minta. Sambil menghela napas, ia membuka album foto di ponselnya, mencari foto anak-anak yang tersenyum cerah. Anak-anak yang seperti dirinya, tetapi tak seberuntung dirinya. Ia memperbesar foto untuk menatap wajah Bowo, anak laki-laki berambut ikal yang ditinggal mamanya mengadu nasib ke Taiwan sebagai TKW setelah diceraikan dan hanya pulang menemui Bowo dua tahun sekali. Lisbeth menggeser jemarinya untuk melihat Zara, si gadis pendiam dengan senyum malu-malu. Ayahnya sopir truk Pantura, selalu menengok Zara setiap minggu dan membawa sekantong besar kerupuk untuk guru-guru. Lisbeth pernah menolak, tetapi Ayah Zara menggenggam erat tangannya. “Abah orang kampung, cuma ada ini.” Lisbeth menatap wajah tua yang dipanggang matahari itu dan hatinya tak kuasa menolak lagi.
Untuk anak-anak seperti merekalah Yayasan Sahabat Tuli berdiri. Yayasan yang didirikan keluarganya di Sentul, terdiri atas Sekolah Luar Biasa B (SLB B) untuk anak-anak Tuli bertaraf internasional dan asrama. Ide yayasan muncul dari Livi yang geram karena keluarga mantan pacarnya keberatan anaknya menikah dengan Livi. Mereka khawatir Liona dan Lisbeth akan merongrong pernikahan mereka. Bukan Livi namanya kalau tidak mengamuk karena adik-adiknya dilecehkan.
“Siapa yang mau menikah dengan cowok gila seperti itu?” seru Livi geram. Ia memutuskan hubungan dengan laki-laki itu, lalu pergi ke Amerika untuk mengambil Master Bilingual American Sign Language (ASL) Education di UC San Diego. Sebelum berangkat, Livi berkata, “Kita bikin sekolah. Biar mereka tahu bahwa anak Tuli tidak bodoh! Anak Tuli bukan benalu!”
Wimharja, papi mereka, dengan segera menghibahkan lahan di Sentul sebagai tempat sekolah dan gedung asrama. Wim pula yang menyokong dana pembangunan gedung dan biaya operasional awal. Uang sekolah dan asrama dibuat sangat terjangkau. Itulah sebabnya mereka membutuhkan para donatur.
Rencana awalnya, Livi akan kembali dan memimpin yayasan. Lisbeth akan membantu di bagian pengembangan kurikulum. Setelah lulus kuliah, Liona juga akan bergabung. Mulanya, semua lancar. Dengan jaringan pertemanannya yang luas, Livi dengan mudah mengumpulkan dana sumbangan dan mengadakan open house di hotel. Masa depan gemilang ada di depan mata. Hingga, rencana rapi mereka terusik dengan kehadiran Simon yang melamar Livi.
Terusik? Lisbeth tak tega menggunakan kata itu untuk melukiskan kakak iparnya. Sebagai adik, ia bukannya tidak sadar akan luka hati Livi. Di luar, Livi menampakkan sikap tak peduli ketika hubungannya dengan mantannya berakhir, tetapi sebagai sesama perempuan, Lisbeth paham arti mata bengkak dan lingkaran hitam di bawah mata Livi. Pedih hati Livi juga kepedihan hatinya, karena ia sadar, dirinyalah alasan di balik putusnya hubungan Livi. Jadi, mana berani Lisbeth menghalangi Livi yang membuncah bahagia ketika Simon meminang dan mereka pindah ke Singapura?
Kini, tanggung jawab yayasan akan berada di tangannya. Padahal, ia tak suka berhadapan dengan banyak orang. Mata Lisbeth kembali menelusuri foto-foto kegiatan: anak-anak dengan seragam pramuka berbaris rapi, anak-anak membuat kue diajari Siti.
Setiap ia ingin mundur dan lari, ia akan membuka foto-foto itu.
Mereka butuh masa depan, dan masa depan butuh dana.
Lisbeth sadar masalah terbesar anak Tuli bukan karena mereka Tuli, tetapi kurangnya akses dan kesempatan bagi mereka untuk bersaing sejajar dengan orang dengar. Karena itu mereka harus diperlengkapi supaya bisa memaksimalkan potensi anak Tuli. Selain itu banyak orang dengar yang memaksa anak Tuli menjadi seperti orang dengar. Ckck. Kenapa Tuli harus dipaksa menjadi seperti orang dengar?
Lamunannya terhenti ketika mobilnya berhenti di depan pagar besi karatan berwarna hijau lumut. Lisbeth mematikan ponselnya, sementara sopirnya membuka pagar besi. Iklan-iklan obat kuat dan panti pijat menempel di bagian luar pagar. Rumah keluarga Lisbeth terletak di daerah Kota, pusat pecinan yang penuh sesak. Tetangga kiri-kanan rumahnya adalah perkantoran, rumah makan Chinese food, jasa ekspedisi, dan deretan ruko. Dari luar, yang terlihat dari rumahnya hanyalah tembok abu-abu dekil. Tidak mencolok. Tak banyak orang sadar bahwa di balik tembok abu-abu yang dipenuhi iklan tukang pijat, obat kuat, dan tukang ledeng itu tersembunyi rumah besar dengan halaman luas.
Pagar besi terbuka. Mobil Lisbeth memasuki halaman yang bisa diisi enam mobil. Beberapa pohon pisang dan jambu tumbuh di ujung halaman. Rumahnya adalah rumah tua yang dibangun di awal tahun ‘70-an. Bentuknya persegi, dua lantai. Tanpa hiasan maupun arsitektur yang mewah nan megah. Rumah itu dibeli oleh engkongnya, papa Wimharja ketika ia merantau ke Jakarta dari Sumatra. Rumah, yang mengutamakan fungsi bukan estetika.
Lisbeth melepas sepatunya di teras. Telapak kakinya terasa dingin begitu menyentuh tegel Terrazzo yang berbintik-bintik. Setiap melihat tegel itu, Lisbeth teringat ketika mereka berjalan di Hall of Fame Hollywood. Ia dan Liona tertawa cekikikan ketika menyadari tegel yang dipakai sama persis dengan tegel kuno di rumah mereka.
Ia berjalan masuk ke ruang makan. Heni sedang duduk di meja makan sambil menonton CCTV8, saluran televisi dari Cina yang ditangkap melalui parabola.
“Sudah pulang?” sapa Heni.
“Masak apa hari ini?” tanya Lisbeth. Ia berjalan ke meja makan dan mengangkat tudung saji plastik biru dari meja. Di meja, tertata tiga piring bermotif ayam jago yang berisi tempe-tahu goreng, ikan asin goreng, dan telur asin.
“Telur asin! Tempe!” Mata Lisbeth membelalak memandang makanan kesukaannya. Heni menepuk bahu Lisbeth ketika tangan Lisbeth terulur untuk meraih sepotong tempe goreng.
“Cuci tangan dulu!” sentak Heni pura-pura marah. “Ganti baju, baru makan!”
Lisbeth menggelendot manja di pundak Heni sebelum ia berjalan menaiki tangga ke kamarnya. Di tembok sebelah tangga, tergantung empat tulisan kaligrafi Cina. Kaligrafi pertama berisi doa untuk keluarga yang rukun, kaligrafi kedua hingga keempat adalah nama Chinese Livi, Lisbeth, dan Liona. Keempatnya ditandatangani oleh seniman kaligrafi terkenal dari Hong Kong. Kamar paling kanan adalah kamar papi-maminya. Lalu berurutan kamar Livi, Lisbeth, dan Liona. Segala sesuatu di rumah mereka diatur dengan urutan yang tidak pernah berubah. Papi Mami, Livi, Lisbeth, dan Liona.
Di lantai dua, terpajang foto pernikahan Papi Mami, lalu foto pernikahan Livi dan dua spot kosong di sampingnya. Tak ada yang pernah mengatakan, tetapi semua tahu, foto siapa yang diharapkan terpajang di sebelah itu.
Lisbeth membuka pintu kayu dengan hiasan berukiran namanya. Aroma lembut perpaduan lavender dan green tea memenuhi hidungnya. Dari jendela kamarnya, Lisbeth melihat mobil Panther abu-abu Wim memasuki halaman. Buru-buru, ia mengganti bajunya dan turun ke lantai 1 untuk menyambut Wim.
“Lisbeth sudah pulang?” tanya Wim. Wajah pria paruh baya itu tampak lelah, tetapi senyum hangat terukir ketika Lisbeth menghampiri dan mencium kedua pipinya. Wim kembali ke meja makan setelah mengganti baju dengan kaus oblong putih dengan sablon merek ban terkenal, kaus gratisan yang didapat Wim entah berapa tahun lalu.
“Papi mau makan apa?” Lisbeth mengambil centong nasi dan menatap lekat-lekat wajah Wim. Kerut-kerut usia menghiasi ujung mata Wim. Sebagian besar rambut Wim sudah berubah warna seperti benang-benang putih halus.
“Sup dan telur asin. Tempe dua,” ujar Wim seraya menarik kursi makan di hadapannya.
Mata Lisbeth memelotot melihat lubang kecil di kaos Wim karena terlalu sering dicuci. “Papi, kaus bolong! Nanti kujahit.”
Wim terkekeh. “Bolong biar adem.”
“Ganti yang baru saja,” usul Lisbeth.
“Jangan. Ini kaus bermerek. Merek ban,” canda Wim sambil mengelus kaus kesayangannya. Lisbeth terkikik. Setelah puas tertawa, ia menggelengkan kepala tanda tidak setuju.