Dunia Lisbeth

Grace Suryani
Chapter #5

重温旧梦 - Mimpi yang Terkubur

Open House H-14

Toko Kintan, Pasar Baru

Bagaimana rasanya kembali ke tempat masa kecil yang penuh kenangan? Lisbeth selalu tersenyum ketika ia berada di Toko Kintan milik mendiang neneknya. Seperti sore ini, sekalipun keringat mengucur di kening, wajahnya semringah. Ia baru saja memindahkan beberapa gelondong kain ke dalam mobil pikap yang ia pinjam dari pabrik Wim. Hari ini, ia pindahan terakhir ke butiknya. Pagi tadi, Tini sudah membawa mesin-mesin, berkotak-kotak benang, aksesori, lemari payet, juga beberapa baju pelanggan yang sudah dan sedang dikerjakan. Lisbeth sudah menyebar kartu nama baru kepada semua pelanggan. Sore ini, Lisbeth tinggal membawa persediaan kain-kain yang selama ini ia titipkan di gudang Mak Kintan, mama Heni.

Lisbeth melayangkan matanya melirik gudang kecil tempatnya dulu bermain. Kios Mak Kintan tak berubah banyak. Maimunah, pedagang Teh Botol masih mangkal di depan kios. Rak-rak kayu yang penuh kain juga masih disusun seperti dahulu ketika Mak Kintan masih ada. Aroma kios ini masih seperti ketika Mak Kintan ada. Hal yang hilang hanya wangi minyak kayu putih yang selalu mengikuti sosok kecil berambut putih yang kerap berjalan mondar-mandir sambil berkacak pinggang. Bahkan, kipas angin Sanyo tua dengan beberapa jeruji yang sudah diikat dengan tali rafia hitam masih duduk manis di meja kasir.

“Kenapa tidak diganti?” Lisbeth bertanya kepada Surti, pegawai yang sudah bekerja di kios lebih dari 20 tahun.

“Kata Non Nala jangan diganti. Masih jalan.”

Lisbeth menggelengkan kepala sambil tertawa. Nala, sahabatnya sejak kecil itu sudah tertular sifat hemat Mak Kintan.

“Cici yang bicara sama Non Nala,” bujuk Surti. “Non Nala lebih pelit daripada Mak Kintan.”

Lisbeth tergelak lagi. Berada di toko Mak Kintan selalu membuatnya bahagia. Mengenang Mak Kintan yang suka memberinya Teh Botol, semangkuk bakso, permen White Rabbit ataupun manisan Sancha. Mak Kintan yang mengajarinya menjahit dan selalu berpesan. “Lisbeth pasti bisa. Perempuan harus bisa mencari makan dengan tangannya sendiri!”

Kecintaannya terhadap kain dimulai dari tempat ini. Dahulu, ia suka duduk di pojok dekat kasir, bermain dengan potongan kain. Ia paling suka memperhatikan Mak Kintan memotong kain. Gerakan Mak Kintan gesit, bahkan untuk kain-kain tertentu, Mak Kintan tak perlu gunting. Hanya dengan menarik kedua tangannya, kain itu terbelah dengan rapi.

Di pojok kanan, dulu ada mesin jahit Singer tua berwarna hitam yang harus digenjot dengan kaki. Lewat mesin jahit kuno itu, Mak Kintan membuka dunia baru bagi Lisbeth. Lisbeth menyaksikan neneknya membuat keajaiban, dari kain tak berbentuk menjadi baju yang punya cerita.

Di awal-awal belajar, Lisbeth sering frustrasi dengan benang yang tersangkut, jahitan yang tak lurus, jarum yang patah. Mak Kintan selalu menepuk lembut bahunya dan mengeluarkan kalimat saktinya, cheng ren bu zi zai, zi zai bu cheng ren. Orang sukses tidak bersantai-santai, orang yang santai-santai tidak sukses. Dengan tegas Mak Kintan berkata, “Kalau Lisbeth jatuh 7 kali, Lisbeth harus bangkit 8 kali, ngerti?”

Mak Kintan tidak pernah menerima alasan tidak bisa hanya karena ia Tuli. Lisbeth pernah secara tak sengaja membaca bibir para pelayan toko yang mengatakan Mak Kintan sadis, karena memaksa Lisbeth dan Liona untuk belajar keras. “Wis mben, cucunya cacat kenapa dipaksa!” Itu kata para pelayan toko. Namun, Lisbeth tak pernah merasa Mak Kintan sadis. Sebaliknya, Lisbeth berutang budi kepada Mak Kintan. Di balik tuntutan Mak Kintan yang Lisbeth baca hanya satu. Lisbeth bisa, dan pasti bisa.  

Kamsia, Mak. Ia hampir melihat bayang-bayang Mak Kintan duduk di meja kasir dengan sempoa di tangannya. Lisbeth kangen Mak.  

Kakinya hendak beranjak ketika lagi-lagi sesuatu menahan langkahnya. Ia masuk kembali ke gudang. Di pojokan, muncul benda putih yang tadi tertutup gelondongan kain. Lisbeth memekik gembira ketika melihat apa yang tersembunyi di situ.

“Bibi!” Lisbeth memeluk boneka kelinci tua yang ditemukannya. Ia sama sekali tidak peduli bahwa boneka itu penuh debu. Di ujung kanan telinga Bibi ada bekas jahitan dengan benang warna putih yang terlihat jelas.


***


Lampu-lampu di sepanjang Jalan Raya Sunter sudah menyala. Jalanan pun sudah tak semacet tadi. Sebagian besar orang sudah berada di rumah masing-masing bercengkerama dengan keluarga. Mobil BMW Bryan memasuki gerbang besi berwarna abu-abu tua. Di pos satpam, dua orang pria berseragam menghentikan mobilnya. Sopir Bryan menurunkan kaca dan berseru, “Malem, Pardi!”

Satpam yang dipanggil Pardi tersenyum dengan sigap memberi isyarat kepada rekannya untuk membukakan pintu gerbang. Jejeran rumah mewah berada di kiri kanan jalan. Mobil melambat sebelum berhenti di sebuah rumah, di pojok jalan, hook, ukurannya mungkin hampir 2 kali lebih besar dari rumah-rumah di sekitarnya. Pintu gerbang otomatis terbuka memberi jalan bagi mobilnya untuk masuk.

Lihat selengkapnya